Guru itu...

Table of Contents
“Pendidikan adalah usaha sadar dan disengaja untuk mencapai tingkat kedewasaan” ucap pak Imran pada saat beliau menjadi pembina upacara delapan tahun lalu di SD Inpres Malakaji Kecamatan Tompobulu Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Sebuah kalimat yang masih terngiang sampai sekarang ditelinga saya, menjadi sebuah stimulus dalam merealisasikan setiap tujuan yang telah saya canangkan dalam buku agenda kecil.
Sekolah bukan sekedar tempat belajar tentang sains dan perhitungan, bukan tentang bagaimana siswa dapat mencapai KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah, bukan tentang bagaimana siswa dapat meraih predikat terbaik dikelas. Sekolah lebih dari itu, sekolah adalah tempat mencetak pribadi-pribadi penerus bangsa yang berjiwa dan bermental kuat, pribadi yang siap menjadi penerus dan pembangun bangsa dimasa depan. Dan hal itu tidak Cuma bisa diukur dari segi kognitif peserta didik, sesuatu yang selama ini cendrung di fokuskan oleh sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.

Guru itu …
Guru bukan sekedar pengajar, tetapi seorang pendidik. Mengajar sangat berbeda definisinya dengan mendidik, mengajar dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai memberi pelajaran sedangkan mendidik didefinisikan sebagai memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari dua definisi diatas dapat kita lihat bahwa sebagai seorang guru kita harus menyeimbangkan antara proses mengajar dan mendidik, dimana mengajar hanya pada proses pemberian materi yang hanya menyentuh aspek kognitif dari peserta didik, sedangkan mendidik lebih dari itu, ia menyentuh aspek afektif dan psikomotorik.  Dan membentuk seorang peserta didik yang siap membangun dan mengharumkan nama bangsa tidak dapat dibentuk hanya dari proses “mengajar” tetapi dikolaborasikan dengan proses “mendidik”. Sehingga peserta didik yang terlahir tidak hanya matang dari segi kepintaarannya dalam suatu disiplin ilmu tetapi juga dari segi akhlak, sikap, serta kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat disekitarnya. Guru seyogianya menjadi sosok yang dapat mengarahkan peserta didiknya lebih dari sekedar mengajarkan bahwa 1 dikali 1 itu sama dengan 1.

Yang sekarang dan yang dulu…
Saya pernah mendengar cerita dari salah seorang pensiunan guru yang mengatakan bahwa dulu orang-orang malu untuk pergi melamar dengan status mereka sebagai guru, ini menunjukkan bahwa dulu pekerjaan guru bukanlah pekerjaan yang dapat menghasilkan materi berlebih, guru belum dipandang sebagai sebuah pekerjaan yang mumpuni. Padahal peran mereka dalam mendidik dan mencetak generasi bangsa yang unggul sangat besar. Idealisme dalam mendidik dan mencerdaskan bangsalah yang membuat mereka bertahan dalam menjalani kehidupan mereka sebagai guru, sebagai tenaga pendidik bagi anak-anak yang membutuhkan, sebuah idealism yang didasari pada keihlasan dan ketulusan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam mensejahterakan hidup para guru. Dan akhirnya lahirlah tunjangan-tunjangan untuk para guru sampai pada kebijakan sertifikasi.
Pada saat sekarang ini dimana para guru mendapatkan fasilitas yang memadai serta gaji yang lebih dari cukup, mengapa tenaga pengajar sekarang cenderung dianggap tidak berkualitas dibandingkan tenaga pengajar terdahulu yang notabene kelengkapan proses belajar mengajarnya lebih minim dibandingkan dengan yang ada sekarang ? jika dianalogikan seperti kapur tulis yang bersanding dengan  laptop. Dari kacamata penulis, hal ini terjadi karena pribadi guru yang ada sekarang tidak lahir dari rahim keikhlasan dan ketulusan dalam mengabdi, segala sesuatunya diukur dengan materi. Justru gaji yang lumayan besar jika menjadi sebagai seorang guru yang banyak mendasari niat banyak orang untuk menjadikan guru sebagai pekerjaannya, inilah yang kemudian mengikis idealisme para tenaga pendidik.

Jadi…
Untuk bisa menjadi seorang tenaga pendidik yang bisa mencetak peserta didik yang memiliki pengetahuan luas serta sikap yang baik, hal pertama yang harus dilakukan adalah tidak hanya mengfokuskan proses belajar mengajar hanya pada sisi kognitif saja, tetapi juga menyeimbangkannya dengan memperhatikan afektif serta psikomotorik peserta didik. Hal ini dapat ditempuh dengan jalan menyeimbangkan antara proses “mengajar” dan proses “mendidik”. Kemudian, idealisme seorang tenaga pengajar harus bisa dibangun kembali, dimana ketulusan serta keikhlasan dalam mengajar yang menjadi pondasi yang membangun idealisme tersebut, bukannya jaminan hidup enak yang menjadi alasan utama seorang tenaga pendidik memilih menekuni pekerjaan sebagai guru. Materi hanya efek/akibat dari proses kita dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga pendidik, bukan tujuan.



Post a Comment