Tuesday, May 23, 2023

Terjebak Syukur

Basineng, pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Padahal semburat jingga dari ufuk timur sudah mulai naik memenuhi tigaperempat langit. Kita sudah kembali duduk dibangku kecil depan rumah. Dengan setelan baju rapi yang baru saja disetrika subuh tadi. Kita sedang mengumpulkan asa dan rasa untuk kembali memulai dan menjalani hari.

Jalan masih sepi, dinginnya angin pagi yang semakin terasa bersamaan dengan laju motor yang semakin cepat menjadi sensasi yang setiap hari kita rasakan dalam perjalanan menuju tempat kita bekerja. Kita masih tak memulai pembicaraan pagi itu. Kita masih terjebak untuk mengingat mimpi apa yang telah kita alami selama tidur tadi. Kita adalah dua orang yang terjebak dalam kata syukur dan toxic dalam waktu yang bersamaan. Padanan kata yang menunjukkan dua kosakata lama dan kekinian. Terjebak dalam kalimat "Syukuri yang sedang kamu jalani, karena mungkin masih banyak orang di luar sana yang mau berada di posisimu, dan melakukan pekerjaanmu" serta kalimat "Jangan mau lama-lama kerja dikantor yang lingkungannya toxic, tidak bisa membuatmu berkembang." 

Kita bekerja. Lalu pulang, makan dan kembali tidur. Besoknya pun begitu. Hari-hari selanjutnya pun begitu.

Kita sedang berada dalam fase yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya Basineng. Fase dimana cita-cita dan mimpi yang dulu kita gembar gemborkan seakan menjauh dan mustahil untuk diraih kembali. fase dimana jalan yang dulu kita tapaki menjadi semakin asing dan mulai menghilang tertutupi alang-alang. 

Kita mungkin sedang diuji, agar bisa kembali menapaki jalan yang makin terjal. Agar kita bisa menjadi lebih kuat menghadapi apa yang nantinya akan kita hadapi ketika kembali ke jalur dimana mimpi kita sedang melaju bersamaan dengan bertambah kuatnya kita. Ataukah mungkin kita sebenarnya sudah berada dijalur tersebut, hanya saja kita tidak sadar, kita luput untuk menyadarinya.

Ataukan kita sedang terabaikan? frase ini kadang-kadang terbersit dalam pikirku, membuat ragu. Apakah kita benar-benar berusaha? Apakaha usaha kita betul memiliki arti? Atau ini hanya fase kosong yang tidak berarti apa-apa, selain kita melemah dan bertambah tua?

Katanya kita kuat. Bersedih dan mengadu bukanlah kita. Kita adalah sosok yang selalu bisa bahagia dengan hal-hal yang sederhana. Kita adalah sosk yang mengayomi. Tapi dalam pembicaraan terkahir kita, kita sempat tertawa kecut ketika bertanya, "Lalu ketika kita goyah, siapa yang akan ada dibelakang kita dan menjadi sandaran?" Aku tersenyum, dan berkata "Siapa lagi Basineng, cuma kita berdua yang ada disini." Kau lalu kembali tertawa, berbalik dan menghilang dibalik cermin.


Share:

Friday, September 30, 2022

Jiwa-jiwa yang berjuang

Basineng, kita adalah manusia-manusia yang berjalan dengan terseok dimasa lampau. Kita adalah jiwa-jiwa yang patah namun memaksa untuk berjalan jauh, kita adalah perahu dengan layar yang terkoyak namun bertahan melawan badai.

Kita selalu berjalan dan melangkah maju dengan harapan bahwa di persimpangan jalan kita akan dikejutkan dengan kehadiran sosok yang bisa mengantarkan kita pada kebahagian, pada sosok yang sekiranya akan menjadi orang yang mengajak kita pada satu frase bahagia tanpa syarat.

Kita sudah berjalan jauh, bahkan sudah terlalu jauh. Dan kita hanya bertemu dengan ketidakpastian dan rerumputan dengan daun bergerigi yang menyayat lengan kita yang terbuka, memberi luka-luka kecil yang perih karena terpapar keringat. Kita sudah sangat jauh dari titik awal kita mengulum senyum, dari titik awal dimana kita percaya bahwa kita akan bertemu dengan apa yang kita rencanakan.

Basineng, kita selalu tertawa sambil meneteskan air mata disetiap istirahat kita, merasa lucu dengan apa yang sudah kita lakukan, dan merasa terpuruk dengan apa yang sudah kita dapatkan. Kita kadang merasa bahwa keputusan yang telah kita ambil tidak pernah benar-benar tepat, dan selalu menyisipkan penyesalan.

Apakah kita benar-benar bukan pembuat keputusan yang baik?

Apakah kita adalah jiwa-jiwa yang sudah terlanjur patah tanpa bisa kembali tegak walau berusaha sekuat tenaga?

Kita hampir menyerah, kita bagaikan tubuh yang sudah remuk tak bertulang.

Lalu pada satu kesempatan, kita dipertemukan dengan satu kalimat yang kemudian mengubah cara kita memandang langkah yang sudah kita ambil.

"Jangan mencari seseorang untuk membuatmu bahagia, bahagiakan dirimu sendiri, lalu cari seseorang yang bisa menambahkan kebahagiaan itu."

"Segala luka dan tantangan ada dalam kehidupan kita untuk membentuk kita menjadi sesorang yang memenuhi tujuan kita diciptakan, dan kita tidak akan pernah jadi seseorang yang memenuhi tujuan tersebut jika kita berhenti dan menyerah untuk melewati semua luka dan tantangan yang dunia sediakan buat kita."

"Terkadang bukan kebahagiaan yang tidak ada disetiap jalan yang telah kita lalui, mungkin kita hanya terlalu fokus pada apa yang tidak kita miliki, terlalu fokus pada apa yang kita lewatkan, bukan pada apa yang kita miliki dan telah lalui."

Basineng, mungkin  dulunya kita adalah manusia-manusia yang berjalan dengan terseok dimasa lampau. Namun, kita secara tidak sadar telah terbentur dan terbentuk. Kita bukan lagi jiwa-jiwa yang sama seperti dulu. Kita sudah semakin dekat pada pemahaman akan arti sebenarnya kebahagian tak bersayarat.

Gambar oleh David Mark dari Pixabay



Share:

Wednesday, March 16, 2022

Pengalaman dan kematangan berpikir

Basineng, apa kau ingat saat kita berada di sungai di arah barat kebun cengkeh kakek. Kita selalu bermain disana, menangkap belut atau sekadar merendam kaki kita yang baru saja menginjak lumpur bercampur kotoran kerbau.

Kita selalu suka bermain disana, merasakan dinginnya air yang sudah mulai tercampur dengan pestisida dari sawah yang berada disisi lainnya, sungai yang jernih tapi tak lagi aman untuk kita minum seperti waktu-waktu dulu.


Kita selalu suka untuk menghabiskan waktu sore disana, lokasi kedua yang paling sering kita datangi selain teras musallah di kompleks sekolah. Tempat yang tenang untuk bercerita tentang banyak hal. 

Suatu ketikak kau berceletuk, tentang seorang yang tua di kampung kita, yang begitu senang memamerkan umurnya yang sudah mencapai kepala enam, kepintarannya dalam berbagai hal dan bagaimana ia punya banyak pengalaman selama ia hidup. 

Kau terkesan tidak suka dengan tetua itu, entah kenapa kau berlaku demikian.

Sore itu, aku coba bertanya kepadamu, mengapa kau tidak begitu senang dengan tetua itu.

Kau diam beberapa saat, lalu memandang rumpun pohon bambu yang bergoyang diterpa angin dari ujung sawah.

"Lama bekerja ataupun panjangnya usia tidak pernah bisa menjadi tolok ukur mutlak akan kematangan cara berpikir seseorang dan kedewasaannya dalam bersikap." ucapmu sambil mengaduk-aduk lumpur dipinggir sungai dengan kakimu.

"Aku pernah sekali melihat tetua itu menendang kucing, menghardik anak kecil yang tidak sengaja menabraknya ketika berlari, tidak mau menerima saran dari lawan bicaranya, baik itu dari yang lebih muda ataupun sepantaran dengan usianya." Katamu.

"Tapi itu tidak berarti dia tidak berpengalaman bukan? dan bukan berarti bahwa dia tidak pintar dalam banyak hal." timpal ku kepadamu waktu itu.

"Wujud dari banyaknya pengalaman dan luasnya pengetahuan adalah sikap rendah hati dan keterbukaan. Tak pernah ia berwujud keangkuhan dan sikap anti kritik, apalagi perasaan lebih baik dari orang lain." jawabmu.

"Lamamu bekerja tak pernah jadi ukuran apakah kau mahir dalam pekerjaanmu, karena angka pada hari dan tahun, bukan hal yang membuatmu mahir, tapi kerja keras, ketekunan dan rasa ingin belajar yang membuat kau mahir dan berpengalaman. Lamamu menjalani hidup tak pernah bisa jadi ukuran mutlak kau telah dewasa dalam bersikap dan bertutur kata, karena yang penting adalah bagaimana proses kita menjalani hidup. Kadang ada yang hidup sebentar, namun hidupnya diisi dengan kerja keras dan perbuatan baik kepada sesama. Ada juga yang umurnya panjang, tapi hanya diisi dengan hal-hal sia-sia dan bagaimana iya menyusahkan orang lain disekitarnya." lanjutmu.

Kau sedikit bergeser untuk mengambil batu sungai lalu menggosok-gosokkanya di telapak kakimu.

"Punya pengalaman yang matang, berarti bisa menerima perbedaan, memahami sudut pandang, dan mau mendengarkan orang lain dengan sabar." ucapmu, sambil kembali mencuci kakimu.

"Dan yang terakhir, mereka yang punya ilmu dan pengalaman yang banyak, tak akan pernah bercerita kebanyak orang dan menggembor-gemborkan betapa ia punya wawasan yang luas dan pengalaman yang banyak. Mereka yang punya ilmu dan matang pengalamannya cenderung tidak bercertia banyak, sebaliknya orang-orang yang akan banyak bercerita tentang betapa ia punya ilmu dan wawasan yang luas." Ucapmu menambahkan, sembari mengambil sendal jepit yang kau simpan diatas batu besar di pinggir sungai. 

Kau bergegas, aku mengikutimu dari belakang. Matahari sebentar lagi tertidur di balik gunung Lompobattang, sebuah isyarat untuk pulang dan membersihkan teras mushallah sebelum magrib menjelang. Dan sore itu, aku kembali kau buat berpikir, tentang perkataanmu, tentang bagaimana mengukur kualitas bukan hanya dari angka dan tuturan manis orang lain.

Share:

Saturday, December 25, 2021

Something is missing!

Basineng, hari ini aku kembali teringat beberapa kilasan masa-masa kecil kita. Masa ketika kita berkumbul bersama dalam satu lingkaran dengan perantau-perantau kecil yang juga tinggal di rumah kayu sederhana bersama kakek dan nenek. Aku teringat betapa kesederhanaan yang ada pada saat itu adalah hal yang acap kali kita keluhkan, betapa sayur bening dan ikan kering menjadi hal yang membosankan bagi kita. 


Aku ingat ketika pada masa itu kita sering ke pasar untuk membantu seorang kakak untuk berdagang, hanya karena kita sangat menginginkan makanan warung selepas berkemas dagangan saat jam pulang. Kita merasa bahwa itu adalah kemewahan yang jarang kita dapatkan.

Aku ingat ketika datang kerumah Naba, teman sekampung kita, dan disuguhkan dengan makanan yang kaya rempah dan sayur yang menggiurkan, meski malu ketika di panggil makan, tapi itu adalah momen yang paling kita tunggu. Mungkin itu salah satu alasanmu selalu mengajakku kesana mendekati jam makan siang.

Sudah lama masa-masa itu mengabur, menghilang bersama ribuan pikiran lain yang saling timpa tindih di dalam kepalaku. Namun, seminggu belakangan, aroma ikan kering dan sayur bening yang hanya dipadu garam sering kali terngiang-ngiang di ujung kecap lidahku. Aku tak tahu Basineng, namun rasa-rasanya jalan hidup yang kujalani semakin mengecil dan membosankan. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya menikmati kegembiraan yang muncul ketika makanan tersaji dan kita saling berebut tempat agar lebih dekat dengan lauk.

Aku bekerja dengan sangat keras Basineng. Selalu berusaha melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin yang ku bisa. Dalam banyak kesempatan, aku selalu bisa menraih dan mencapai tujuan yang telah ku catat dalam buku agenda bersampul biru dengan lapisan kulit sintetis. Pun kadang ada kegagalan-kegagalan yang mengetuk di akhir usahaku, namun sejauh ini, aku bisa bertahan dan berdamai dengan itu. Namun akhir-akhir ini, aku merasa lelah Basineng, bahkan beberapa kegagalan mampu menutupi euforia pencapaian yang sebenarnya masih tehitung lebih banyak.  Terkadang aku berpikir, ada sesuatu yang hilang, Basineng. Ada sesuatu yang kulupakan. Namun semakin aku berpikir, semakin aku lupa, dan itu menyiksa.

Aku selalu ingin membangun percakapan lagi denganmu sehabis subuh di pelataran mesjid, sembari menyeruput teh manis dan pisang goreng yang sedikit gosong. Untuk sekadar membicarakan hal remeh yang akan kita lakukan hari itu.

Aku harap kau baik-baik saja disana, tak merasa lelah dengan apa yang sedang kau jalani sekarang. Semoga kau tak pernah merasa sendiri menjalani keseharianmu. 

Share:

Thursday, December 16, 2021

Siren, sang dirigen yang menyaru si rupawan

Basineng, Ia bak dirigen yang memainkan sebuah orkestra diatas panggung tak bertuan. Ia memainkan peran dengan sangat lihai, mengarahkan mereka, para pemain yang dengan antusias memainkan instrumen yang mereka pegang. Ia sangat lihai mempermainkan emosi dan perasaan penonton lewat gerak jemarinya yang bergerak bagai sihir dimata para pemusik.

Foto oleh Nayla Charo dari Pexels

Dalam balutan melodi yang melenakan, mereka-pemain yang mendekap instrumennya, penonton yang mempersembahkan telinganya- tidak sadar bahwa apa yang mereka dengar adalah buah hasut dari kebencian yang tependam yang dimainkan oleh sang dirigen. 

Ia adalah siren yang menyaru dalam paras rupawan, yang memancingmu dengan irama dan suara yang melenakan, lalu menenggelamkanmu kedalam palung terdalam laut dimana kau tidak akan pernah lagi melihat cahaya.

Basineng, aku kira mereka hanya mitos yang diceritakan turun temurun olah para tetua sebagai pelengkap acara keluarga untuk anak-anak kecil yang terjaga ditengah malam. Ternyata mereka adalah nyata yang terselip diantara hingar bingar aktivitas kita, dalam ritme cakap bersama di dunia kita berpijak.

Mereka nyata walau tak merujuk fisik, mereka nyata menggambarkan sifat dan perangai manusia yang terbungkus rasa iri, dengki dan hasut. Sebuah kombinasi kata sifat yang mematikan dan mampu membuat utuh menjadi terpecah, mampu membuat ragam menjadi tunggal, mampu membuat damai menjadi gelisah.

Basineng, tak pernah aku takut dengan berbagai mitos mahkluk mengerikan yang mungkin tetiba muncul dihapanku dan mengejarku dengan cakar dan taringnya yang panjang. Aku lebih takut kepada mereka yang rupawan dengan lidah dan bibir yang menyimpan racun, dengan mereka yang mampu bersandiwara untuk mengenggalamkanmu dalam lumpur yang paling kelam. 

Aku takut dengan mereka yang datang dengan wajah kawan, mendengar ceritamu, lalu memilin cerita itu menjadi tali jerat yang siap menggantungmu disaat lengah. 

Baru kali ini padaku tampak makhluk serupa Basineng, dan akhirnya aku percaya, makhluk mitos kadang diceritakan bukan hanya pemberi pesan tentang fisik dan tampilan yang menyeramkan, namun wajah rupawan yang kadang menyimpan buruknya hati yang jauh lebih berbahaya dibanting belati yang nyata ditenggorokanmu, namun sekumpulan jarum yang siap iya minumkan padamu.

Basineng, jika kau bertemu dengannya, ku sarankan larilah, menjauhlah, karena dekat ia akan menikammu, jauh ia akan melemparmu. Jika kau sedikit tidak beruntung, maka ia akan mengajak dan menghasut orang-orang yang kau panggil teman untuk mengejarmu dan membuatmu tak berdaya.

Ini bukan lagi sebuah mitos Basineng.

Share:

Tuesday, April 6, 2021

Untuk kamu yang sedang kehilangan cinta

Hai kamu yang sedang kehilangan cinta, atau mungkin kehilangan cara untuk mencinta.

Kau butuh jeda, berikan dirimu waktu untuk sendiri. Berikan hatimu ruang yang lapang buat bernafas, menghirup kekosongan yang tenang.

Jangan kau paksa rasamu untuk berlari mencari tautan yang baru, cinta bukan mangsa yang harus kau kejar untuk mengenyangkan ekspektasi tentang hubungan yang sempurna, jangan berlebihan.

Duduklah, nikmati harimu yang kosong. Bebaskan pikiranmu dari segala hal yang membuatmu nestapa karena ditinggal cinta. Biarkan hatimu merasa kebas dan tak bisa lagi merasakan kasih yang setiap waktu kau nantikan dan harapkan.

Biarkan.

Terkadang ada masa kau merasa muak dengan segala cerita yang berkaitan dengan kisah kasih asmara. Kisah yang tak melulu indah, kisah yang tak sejalan dengan film putri Disney yang selalu bahagia diakhir.

Biarkan air matamu jatuh, biarkan ia menyapu pipimu, membasahi ujung bibirmu. Kau terkadang butuh merasakan aliran tangismu yang membawa rasa asin dilidahmu yang kelu karena hati yang sakit. 

Foto oleh Thiago Matos dari Pexels


Jika kau ingin meraung, berteriak, menumpahkan segala kata yang tertahan ditenggorokanmu, lakukanlah. Lepaskan segala ucap serapah yang ingin kau lontarkan. 

Kau adalah manusia yang kadang tak punya kuasa akan hati yang tersakiti, walau kau mengaku kuat, hatimu tetap butuh penerimaan. Penerimaan bahwa kita, di dalam banyak episode hidup, butuh menangis, meraung, menumpahkan segalanya dalam kalimat yang mungkin akan kau sesali, namun biarkan, kau butuh itu. 

Berpura-pura kuat hanya akan membuat pikiranmu semakin kalut dan leceh. Lepaskan cerita yang selalu kau jadikan patokan kisahmu, itu hanya menyiksa dan menambah bebanmu.

Kau bukan lakon pada kisah yang ditulis orang lain. Kau punya alurmu sendiri, kau punya plotmu sendiri. 

Hai kamu yang sedang kehilangan cinta, atau mungkin kehilangan cara untuk mencinta.

Setelah tangismu redah, setelah tenggorokanmu sekat, duduk dan pikirkan. Kau sedang tidak kehilangan cinta, kau tidak kehilangan rasa untuk mencinta. Kau hanya beristirahat dari rasa yang salah tempat, kau hanya memberi jeda buat hatimu untuk merasakan kekosongan.

Kau butuh jeda. 

Share:

Monday, April 5, 2021

Jiwa yang merugi

Basineng, aku akhir-akhir ini semakin takut mengingat perkara umur. Kita sudah berada pada masa pertengahan jalan hidup rata-rata umat Rasul. Kita sudah jauh menapak tangga usia, namun masih belum yakin arah langkah yang kita pijak, menuju awan mendekati langit, atau kebawah terkubur lumpur.

Kita sering luput. Sering jauh dari garis pembatas yang harusnya bisa menuntun kita semakin dekat dengan Sang Pencipta. Namun bebal dan merasa tak terganggu dengan setiap peringatan yang seringkali menggutik.

Aku dan kau belum uzur, namun entah mengapa malam ini, malam yang baru saja menumpahkan hujannya membuatku terduduk dan memenungkan setiap episode dari perjalanan yang telah kita tapaki. Seberapa sering jalan kita mengarah pada kebaikan, atau seberapa sering jalan itu membuat kita semakin jauh dari hakikat kita diciptakan.

Kita pernah berlomba untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Memimpikan nama besar dan bisa dikenal oleh orang banyak. Mencoba mengejar tujuan-tujuan yang telah kita tulis di dalam buku catatan dengan gambar artis sinetron yang kita beli di warung samping sekolah seharga lima ratus rupiah. Tapi kita tidak pernah benar-benar serius dalam menuliskan rencana kita dalam mengejar hari setelah raga kita membusuk termakan tanah menyisakan belulang. Kita luput.

Foto oleh Ali ArapoÄŸlu dari Pexels

Kita memang sibuk Basineng, mencari dunia. Mencari cara agar kita bisa bebas finansial di hari tua. Mencari cara agar kita bisa hidup tenang dan layak dimasa dimana anak-anak kita sudah sibuk dengan pekerjaan dan urusan mereka masing-masing.

Kita sadar, bahwa dunia yang kita pijak ini hanya sementara, hanya sebatas pesinggahan pengembara. Kita mahfum bahwa kehidupan kekal bukanlah disini. Namun entah mengapa hati yang mengingat itu, tak berdaya dihadapan dunia, raga kita tak kuasa mengikuti kebenaran yang dititipkan Tuhan pada nurani. Pikiran kita tak sanggup beriringan dengan kata hati.

Usia kita bertambah tiap harinya Basineng, yang artinya umur kita semakin berkurang.

Aku takut ketika jiwa kita perlahan ditarik, kita masih dalam keadaan merugi. Shalat yang belum sempurna, puasa sunnah yang belum rutin, sedekah hanya sebatas ada, tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tanah suci, semua itu adalah bentuk kerugian kita sebagai umat yang disayangi oleh Rasulullah.

Basineng, aku tak mau melepas jiwaku dalam keadaan merugi. Aku tak ingin memaksamu, tapi sebagai sahabatmu, aku ingin kita saling mengingatkan, kembali berpegang kepada wasiat agama, menyerahkan dunia pada Yang Kuasa, tidak menghina tuhan dengan mengkhawatirkan rezeki, menjadikan shalat sebagai yang utama, menjadikan pekerjaan dan segala usaha sebagai wadah mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Share:

Friday, March 26, 2021

Perkara lain tentang keputusan

Basineng, sudah berapa tahun berlalu semenjak terkahir kali kita bermain kartu kwartet? Atau bermain bola takraw dilapangan sekolah, dimana suara shalawat mesjid yang menjadi batas waktu kita harus kembali pulang?

Waktu berlalu sangat cepat Basineng, kita sudah lama tak bersua untuk sekadar bercerita panjang tentang omong kosong dan hal sia-sia yang sudah kita lakukan beberapa tahun terkahir ini. Waktu yang cukup untuk rumput liar bertumbuh dihalaman rumah kayu nenek disudut lapangan kampung kita, tempat menghabiskan lebih dari satu dekade umur kita.

Kita sekarang sedang berada dijalan yang telah kita pilih masing-masing. Aku memilih untuk merantau, kau memilih untuk menetap. Aku ingat ketika itu, kita berdebat tentang pilihan kita masing-masing. Kau tinggal bukan tanpa alasan, bukan karena tak mampu atau karena takut menghadapi dunia luar yang seringkali di gambarkan begitu keras di televisi hitam putih nenek dirumah. Begitupun aku pergi bukan sekadar ingin mencari tahu seperti apa dunia di luar dari desa kita.

"Ada yang ingin aku capai, ada hal ingin kucoba, ada mimpi yang ingin kuraih." kataku diakhir debat panjang disiang yang panas waktu itu.

"Aku tak pernah menghalangimu untuk tujuanmu itu." katamu menimpali.

Foto oleh HARUN BENLİ dari Pexels

"Aku hanya ingin kau memahami bahwa hal paling penting dalam memutuskan sesuatu adalah bertanggung jawab dengan keputusan tersebut. Tidak sedikit yang begitu percaya diri memutuskan sesuatu, merasa bahwa mereka telah mempertimbangkan baik dan buruknya keputusan tersebut, tapi lupa bahwa bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil bukan sekadar tentang 'mengetahui' baik dan buruk. Tetapi bertanggung jawab dengan keputusan yang telah diambil berarti secara mental kita siap menghadapi perkara-perkara yang akan muncul diluar apa yang telah kita pertimbangkan. Karena mengambil keputusan bukan sekadar tentang pertimbangan terkait hal-hal yang telah kita ketahui, tetapi juga hal-hal apa yang kemungkinan akan menyambut kita, diluar apa yang kita ketahui." katamu.

Aku lama mencerna apa yang kau katakan. Hingga lima tahun pertama setelah perdebatan kita, akhirnya aku bisa memahami arti dari kalimat panjang yang kau lontarkan waktu itu. Dimana pada akhirnya aku berada pada posisi dimana keputusan yang telah kuambil menyerangku dengan berbagai perkara yang tidak pernah terlintas dalam perencanaan terburukku sekalipun. Aku berada pada posisi, dimana aku terjebak dalam kotak yang setiap sisinya menggambarkan hal-hal buruk dari setiap keputusan yang kuambil.

Aku bahkan sudah berada dianak tangga terakhir untuk menyerah dengan keputusan yang kuambil. Dengan turun selangkah dan aku sudah tidak lagi memegang tanggung jawab terhadap keputusan yang telah kuambil.

Namun, mengingat kata-katamu telah membantuku untuk membuka kotak itu, membebaskan beban yang ada didalam pikiranku, tentang benar tidaknya, salah tidaknya, atau tepat tidaknya keputusan yang telah kuambil. 

Ini semua tentang mental dan kesiapan akan hal-hal diluar dari apa yang telah kupertimbangkan, dari hal-hal yang kurasa telah kupahami dan siap untuk kuhadapi. Lari dari keputusan yang telah kuambil bukanlah jawaban yang betul-betul bisa menyelesaikan apa yang kuhadapi. Selama dampak dari keputusan itu tidak menjauhkanku dari Tuhan, jauh dari kebaikan, aku harus bisa bertanggung jawab dan siap dengan segala resiko dari keputusan tersebut.

Semoga kau baik-baik saja di sana Basineng, dan semoga kita bisa kembali bertemu, di rumah kayu nenek di sudut lapangan. 

Baca juga: Perahu Kayu

Share:

Tuesday, March 16, 2021

Perahu kayu

Mereka terduduk di atas perahu kecil tanpa layar. Sekiranya bisa kayuhan itu berirama, menembus gemericik air yang pelan-pelan mengiringi tiap hasta laju perahu kayu. Namun mereka masih berputar, mencetak lingkar maya di atas riak sungai yang pelan-pelan mulai menguning diterpa bias matahari yang tenggelam diujung hari. 

Tak bisa laju kapal membawa mereka jauh, jika satu mengayuh ke barat, dan yang lain mengayuh ke selatan. Tak akan pernah mereka melihat Seihan, yang ada Tartarus menanti di bawah terik dan angin panas.

Mereka pulang ke titik awal. Mencari pecahan yang mungkin masih tersisa disela rerumputan setelah badai yang mengoyak satu persatu rajutan yang telah mereka buat selama bertahun-tahun.

Mereka tinggal di ujung dunia, di rumah mungil berbentuk setengah lingkaran, dibawah langit yang selalu tertutup awan kelabu. Kadang mereka menyebutnya kutub utara, tapi kebanyakan mereka berdua akan memanggilnya kampung yang dingin.

Di awal cerita mereka merasakan kehangatan di dalam rumah tersebut, saling bertukar binar di tengah gelap awan kelabu yang menggantung tinggi dilangit. Masa berlalu, waktu berputar dengan cepat, membuat mereka mual dan terhuyung karena tidak siap dengan cepatnya waktu berlari meninggalkan mereka. Tak sanggup mengejar, mereka terduduk.

Angin berganti, dingin yang mengigit seketika berubah menjadi panas yang menyengat, tak satupun dari keduanya menjadi nikmat untuk dipilih. Mereka saling memandang, mencoba mencari makna dari tiap gerak pupil mata yang tak lagi berani menatap dalam. Mereka saling berandai, mencoba mempermainkan takdir dengan khayal yang tak akan pernah mereka dapatkan. 

Kembali ketitik awal, mereka menyerah dengan khayal dan andai-andai yang begitu melenakan. Mereka terduduk, tanpa sengaja saling bersandar karena perjalanan yang begitu menguras tenaga. Lelah mendekatkan mereka, lalu lelap menyatukan mereka. Menangis dalam satu pelukan dingin, mereka tersadar. Andai-andai yang mereka kejar, semua khayal yang mereka inginkan, tak lebih dari sekadar jerat Lucifer yang penuh muslihat. 

Mereka lupa, jauh sebelum titik awal, mereka adalah dua entitas yang saling melengkapi satu sama lain, mereka adalah mimpi yang menyatu dan perlahan menjadi nyata.




Share:

Wednesday, March 10, 2021

Free Bike Adelaide

Basineng, sekarang aku punya hobi baru, bersepeda.

Aku selalu ingat ketika kita masih duduk dibangku sekolah, waktu itu kita masih kelas tiga SD, dan kita baru saja selesai menghabiskan satu pasta gigi rasa strawberi yang akan kita gunakan untuk praktik sikat gigi pada jam ketiga. 

Kau bercerita tentang keinginanmu untuk bisa membeli sepeda, barang mahal yang pada masa kita dulu adalah hal mengagumkan untuk dimiliki. Aku hanya tersenyum sembari menimpali perkataanmu dengan ejekan. Bukannya tidak mungkin, tapi dengan uang hasil jualan bakwan yang kita kumpul setiap hari sekolah paling tidak kita akan butuh waktu setahun untuk bisa membeli sebuah sepeda, itupun kalau kita tidak punya kelas praktik yang mengharuskan kita membawa pasta gigi lagi.


Dan lagi, mungkin kau lupa bahwa salah satu kekurangan kita tinggal di Malakaji adalah akan sulit bagi kita untuk melakukan beberapa aktifitas tertentu, dan salah satunya adalah bersepeda. Kita tidak pernah bersepeda, bukan tentang sepedanya yang memang tidak kita miliki, tetapi tinggal di daerah perbukitan berarti jalan mendatar akan lebih sedikit dibandingkan jalan terjalnya.

Satu jalan mendatar berbanding sepuluh jalan menanjak. Mungkin bisa menjadi analogi sekaligus penggambaran bagaimana kondisi jalanan di Malakaji. Dan itu berarti jika kita ingin bersepeda, kita harus mempersiapkan betis besi paha baja untuk bisa mengayuh sepedanya di jalan yang menanjak. Mungkin ini juga menjadi salah satu alasan kenapa tidak ada satupun becak yang bisa kita temukan di Malakaji. 

Aku hanya berharap suatu saat nanti aku bisa bertemu kembali denganmu dengan membawa sebuah sepeda untuk bisa kau pakai di Malakaji. Tapi sebelum itu, aku ingin menceritakan pengalamanku disini Basineng.

Basineng, di Adelaide, aku bisa sepuasnya bersepeda tanpa harus membeli sepeda. Tak jauh dari Victoria Square, tepatnya di Carrington Street, terdapat tempat dimana kau bisa menggunakan sepeda dengan gratis yang bisa digunakan untuk berkeliling Adelaide. 


Namanya Bicycle SA, terletak di jalan Carrignton street no. 53. Fasilitas yang memudahkan turis atau pelajar yang ingin berkeliling Adelaide dengan lebih santai. Dan untuk meminjam sepeda disini, syaratnya cuma satu, titip pasport atau SIM. Sangat mudah bukan? kita tidak perlu lagi menabung selama setahun dari uang hasil jualan bakwan Basineng. 

Tapi, disini kita harus berhati-hati dalam bersepeda Basineng. Mulai dari perlengkapan seperti helm sampai pada jalur sepeda yang tidak boleh kita langgar. Kau tahu, denda untuk pengguna sepeda yang tidak menggunakan helm disini bisa sampai AUD 98, kalau di hitung-hitung sekitar satu juta lebih. Jadi kita bisa kena denda sebanyak satu juta lebih hanya karena tidak menggunakan helm. Belum lagi jika lupa menggunakan lampu sepeda pada malam hari atau cuaca yang buruk, kita bisa kena denda sekitar AUD 58, atau sekitar enam ratus ribu rupiah.  Berapa ratus bakwan yang harus kita jual untuk bisa membayar denda itu Basineng.


Ada banyak aturan yang harus kita patuhi disini Basineng, tidak seperti di Malakaji, satu-satunya peraturan adalah kau tidak merusak tanaman atau ladang labu siam warga, dengan itu kau sudah aman menggunakan sepeda dimanapun. 

Aku sangat berharap bisa bersamamu disini, berkeliling menikmati rimbunnya dedaunan yang memerah saat musim gugur, atau menikmati luasnya langit Adelaide dikala musim panas. Ada banyak spot yang instagramable untuk kau masukkan dalam instagrammu yang isinya cuma promosi sirup markisa.

Semoga suatu saat nanti, kita bisa disini bersama. Mewujudkan satu lagi keinginan masa kecil kita.

Share: