Pantulan Itu Adalah Perilaku

Table of Contents

Pagi itu kau beberapa kali tersenyum di depan cermin. Berusaha memperbaiki senyum yang agak nanggung tersulam di wajahmu. Aku tidak tahu undangan apa yang ingin kau hadiri siang ini. Tapi kau begitu rapi berdandan layaknya diplomat yang akan kedatagan tamu penting. Kau kembali berpose, di depan cermin seukuran tinggimu. Kau bisa melihat pantulan dirimu dari ujung kaki sampai ujung rambut, sambil sesekali memperbaiki rambut klimis yang sudah kau poles dengan pomade.

Aku duduk di samping meja yang berhadapan dengan cermin yang tadi kau gunakan. Aku akhirnya juga melihat dan memandang diriku di dalam cermin tersebut. Aku tersenyum kecut melihat diriku dengan kaos oblong dan celana pendek, sedang mengunyah biskuit ditemani dengan hangatnya teh blueberry yang ku pesan dari toko online tempo hari.

Aku terdiam sejenak. Lalu tersadar ketika kau mengeluarkan kalimat panjang untuk mengajakku berbicara. 

"Kita sering tertipu kawan. Tertipu dengan kata-kata lembut dan manis orang-orang, tertipu dengan apa yang membungkus di luar. Kita sudah sering kali terpedaya dengan ucap halus tanpa berpikir bahwa ada jerat dibalik untai kalimat yang mereka perdengarkan. Kita seperti itu bukan karena bodoh, tapi terlalu naif dalam mengartikan kalimat yang disulam dengan rapi oleh lidah yang tak bertulang." Ucapmu sambil masih menata rambutmu dengan sisir kecil yang sering kau simpan di saku belakangmu.

"Kita selalu berpikir bahwa setiap orang itu baik. Tidak sepenuhnya salah, namun perjalanan akhirnya menyadarkan kita, tidak semua kata-kata manis yang keluar adalah untuk menyenangkan kita, kadang kata-kata itu keluar untuk membuat kita terlena lalu luput dengan apa yang seharusnya kita perhatikan." Ucapmu dengan tersenyum tipis sambil memiringkan sedikit kepalamu di depan cermin.

"Kita seringkali tertipu kawan. Ketika berpapasan, mereka menyapa dengan ramah, mereka mendekati kita dan berbicara layaknya mereka berada dalam satu perahu dengan kita. Namun, ternyata mereka datang untuk melubangi tempat kita berpijak, dan tanpa sadar perlahan tenggelam tanpa sama sekali kita berprasangka." Lanjutmu kepadaku, setelah kau panjang lebar bercerita tentang rekan kerjamu yang sangat pandai memintal senyum di hadapanmu, namun menebar racun di belakangmu. 

"Kita memang tidak akan pernah bisa melihat warna sesungguhnya seseorang yang pandai menukar topeng, yang pandai menata kata." Ucapku sambil memperhatikan kau membersihkan cermin di hadapanmu.

"Lalu bagaimana kita seharusnya bersikap kawan? Bagaimana kita bisa membedakan mana yang harus kita percaya mana yang tidak?" Tanyamu kepadaku.

"Basineng, seperti yang sering kita dengar dari pesan-pesan bijak, yang kita baca dari buku-buku motivasi, bahwa hati adalah cermin, dan perilaku adalah pantulannya. Seperti cermin di hadapanmu, kau bisa dengan jelas melihat siapa dirimu, dan betapa klimis gaya rambutmu, karena kau berdiri di depan cermin yang jernih tanpa debu yang menempel. Kata-kata mungkin bisa menipu, mimik wajah mungkin bisa dipalsukan layaknya topeng yang dengan mudahnya diganti sesuai kepentingan. Namun, perilaku adalah pantulan dari hati, jika hatimu dipenuhi debu, maka pantulannya pun tak akan indah terlihat. Jadi jika kau bingung, jangan menaruh perhatian pada kata-kata mereka, lihat bagaimana mereka berperilaku. Karena perilaku mereka adalah cerminan dari hati mereka." Jawabku dengan agak sedikit panjang.

Kau hanya tersenyum kecil, lalu kembali bergaya di depan cermin, kembali menata pakaianmu. Berdiri beberapa saat lalu melangkah pergi. 



Post a Comment