Badai dan Anak Kecil yang Beku
Table of Contents
Badai itu selalu datang dalam tiap perputaran musim, selalu kecil, dengan lapisan dingin dan air hujan yang sama. Sejak awal aku selalu berpikir bahwa badai sekecil itu adalah hal yang mampu untuk ku kuasai, badai yang bisa dicegah tanpa persiapapun apapun, badai yang bisa ku hentikan tanpa usaha yang besar.
Namun, dia yang kecil tak pernah bisa kuatasi, tak pernah bisa ku cegah. Ia datang dalam sekejap, lalu pulang dengan menyisakan retakan yang lama untuk bisa ku perbaiki kembali.
Aku hampir menyerah Basineng. Aku hampir menyerah pada kenyataan bahwa, bahkan badai sekecil itu tak bisa kuatasi. Namun, kali ini aku merasa bahwa keraguan yang lama tidur di dalam diriku bangkit untuk mengingatkanku. Mengingatkan bahwa apakah badai itu yang terlalu kecil atau kah kau yang tidak pernah mau untuk bersiap menghadapinya? Apakah badai itu yang terlalu kuat atau kau yang sengaja melemahkan diri karena merasa badai itu bukan apa-apa?
Akupun lalu bertanya kepada diriku, pada sisi lainku yang sudah sejak lama diam dan menutup mata disudut ruang imaji dalam kepalaku. Apakah kita masih selalu berjalan ditempat yang sama selama bertahun-tahun? Apakah kita sebenarnya telah meraih banyak hal namun tetap melihat diri kita sendiri sebagai anak kecil yang masih suka menangis karena tergores duri tanaman liar? Apakah kita selalu meremehkan diri sendiri?
Dia, sisi yang lain, perlahan membuka mata, menyulam senyum, lalu tertawa kecil. Bukan aku tempatmu bertanya. Seharusnya bukan aku yang kau suguhkan dengan pertanyaan itu. Aku adalah sisi lain dirimu yang telah lama beranjak dari kejadian-kejadian pahit masa lalu. Aku sudah berdamai dengan semua rasa sakit yang telah kita lalui bersama. Kau mungkin ingin mengirimkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada anak kecil yang sedang terpaku dalam beku di sudut lain kepalamu. Dia yang harusnya kau tenangkan, dia yang harusnya kau jadikan tempat untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan tadi. Tapi aku ragu kau akan mendapatkan jawaban yang kau inginkan. Dia hanya anak kecil, pertanyaan-pertanyaan itu terlalu berat.
Aku terdiam dan membiarkanmu melanjutkan kalimat-kalimatmu. Tak perlu kau banyak bertanya kepadanya, cukup kau ada disampingnya, duduk sesekali bersamanya, terima bahwa ia ada, terima bahwa setiap dari kita memiliki sisi "itu" di bagian dalam dan paling sudut kepala kita. Dia dulunya sendiri, menghadapi badai dan rasa sakit, menghadapi masalah yang jauh lebih besar dari badannya yang ringkih. Dia adalah kita, yang menanggung beban dan sakit paling banyak dibandingkan kau dan aku. Ia di sana, tanpa kau sadari selalu muncul untuk melindungimu ketika pola keadaan yang dulunya membawa luka kembali terjalin. Dia tidak pernah tahu bahwa kau telah beranjak dewasa dan kuat. Yang dia tahu bahwa dia harus melindungimu, melindungi dirinya.
Jadi, badai kecil itu bukannya terlalu kuat, ia hanya pola yang sama dimasa yang lalu, yang membuatmu tak berkutik dan takut. Terima bahwa badai itu akan selalu ada, dan terima pula bahwa anak kecil yang sedang beku di sudut kepalamu itu adalah kita yang sedang berusaha melindungi dirinya dari rasa sakit yang terulang dalam pola yang sama. Dengan menerima dual hal tersebut, kau akan tahu, bahwa tak ada badai yang bisa membuatmu goyah, kau akan melihatnya seperti hujan pertama pada bulan Desember.
Post a Comment