Rindu dibalik Etalase

Table of Contents
Membuncah juga akhirnya, letupan-letupan yang sering tertutup dalam bejana besi diatas perapian hati. Lama juga ia tersimpan dan berputar ditempat yang sama selama beberapa waktu pergantian detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke bulan. Pantas ia semakin memanas didalam bejana, sering ia bergesekan dengan dinding-dinding hati yang tak sabar untuk mengecap penawar, rindu.
 "Rindu punya cara sendiri untuk berbicara"
Kau tahu, bagaimana caraku merindu ? Aku yakin kau belum tahu pasti. Aku punya cara, memelihara rindu, agar ia tak selalu menggigit hati, agar ia tak me-ngilu-kan dada. Caraku merindu mungkin aneh, berbeda dengan caramu, cara mereka. Aku tak selalu harus memaksa diri untuk segera berlari dan menemuimu ketika ia sudah tak terbendung, tak pula perlu menghabiskan waktu berlama-lama untuk sekadar menelpon mengerus rindu. Aku punya cara sendiri. Dulunya aku masih belum tahu jika ia-rindu- yang selalu datang menggelitik hati, kadang ia ku artikan lain, bahkan kadang ku artikan buruk, tapi semakin aku mengenalnya aku akhirnya bisa berbincang-bincang dengannya. Dan aku akhirnya tahu siapa dia.

Selalu ada spasi disetiap jengkal langkah kaki yang kita pijakkan bersama, ia bukan pembatas, bukan pula pemisah, mungkin bisa kusebut ia sebagai etalase saja, transparan, walau tak tersentuh tapi masih terlihat. Untuk saat ini, biarlah dinding kaca itu yang menjadi tempatku menyentuhmu, atau sekedar melihat cekungan di pipi kananmu. Itu sudah cukup untuk saat ini. Jika ia-rindu-kembali datang, aku sudah tak takut lagi karena aku punya cara sendiri untuk berbicara padanya-rindu-, kuyakin ia akan mengerti.



Post a Comment