Iya, Kau yang memintanya.

Table of Contents
Dibalik kaca bangunan berlantai dua, ia memeluk lutut dan berupaya menangkis dingin dengan melilit selimut diseluruh badan, dan kembali menggigil sambil memandangi hamparan rumput yang masih meneguk bulir-bulir embun yang enggan untuk merubah fase menjadi uap dalam sapuan sinar mentari di ufuk timur. Tak ada kicau burung pagi ini, mati tertelan kabut gelap mungkin.

"Kapan kau akan pergi ?" ucap laki-laki itu kepada semburat wajah pucat yang tergambar kabur dalam jendela dihadapannya.

"Entahlah, ..."

"Aku terganggu dengan kehadiranmu, sangat terganggu !" sambungnya.

"Aku tak bermaksud seperti itu, maaf."

"Untuk apa kau disini, dihadapanku, dihadapan pagi, dihadapan semua cerita yang telah kurangkai sesempurna mungkin, dalam harapku, dalam mimpiku ?" kembali ia bertanya.

"Aku tak tahu, sungguh !"

"Kau aneh !"

"Mungkin, .."

"Menyebalkan !"

"Sungguh ?"

"Iya, sangat menyebalkan !"

"Maaf, aku tak pernah sedikitpun bermaksud seperti itu, aku datang karena dirimu yang meminta."

"Aku tak pernah meminta."

"Tidak, kau selalu memintanya ! Dalam tangismu, dalam butir bening di pelupuk matamu kala sepi sedang menggerogoti tiap inci saraf di otakmu, kau selalu memanggilku."

"Aku tak pernah ingat meminta hal seperti itu."

"Kau salah, memang kau tak pernah mengucapkannya, tapi bukan berarti kau tak pernah menginginkannya."

"Benarkah ?"

"Iya, kau kesepian ! Sangat kesepian !"

Laki-laki itu menunduk, menghapus bulir embun dikaca jendela tempat ia bercakap dengan bayangannya sendiri, disudut kamar, bersama udara dingin yang tak kunjung berhenti berhembus disela-sela jendela. Ia kembali menggigil.

ooo

Post a Comment