Dialog Cermin

Table of Contents


“Bukankan iya masih sama, sosok yang selama ini kau temui dalam tiap keping mimpi yang tersusun seperti puzzle di dalam tiap malammu ? Bukankah tak ada yang berubah ? lalu kenapa ?”

Sebuah kalimat yang ia layangkan padaku malam ini, dimalam yang seharusnya riuh dengan sinar purnama sempurna, namun sayang malam ini langit tertutup awan. Jadilah remang-remang malam yang menemani.

“Betul, iya masih sosok yang sama.”


“lalu kenapa?”

“Apanya yang kenapa ? bukankah sebelum kita mulai membicarakan ini kau sudah tahu pasti jawabannya ? bukankah tanpa kuucapkan sepatah katapun kau sudah mengerti?”

“Kau gila”

“bukan, kita yang gila”

Ia terdiam, masih memandang lusuh. Memandang langit yang meredup, seperti sinar matanya malam ini. Ia masih terus mempertanyakannya, mempertanyakan pertanyaan yang sama berulang kali, setiap malam-malam yang sunyi ia selalu datang. Menemani. Bayang Imaji yang muncul didalam cermin yang malam ini kembali kupandangi.

“Seharusnya kau tahu membedakan, antara naif dan tekad, antara usaha dan kesia-siaan”

“Dan seharusnya kau juga tahu, mana pesimis, mana optimis. Kapan saatnya menyerah dan kapan saatnya berkata, iya masih ada jalan.”

“Apa kau tidak kasihan dengan dirimu ?”

“Aku justru kasihan pada diriku jika menyerah sekarang.”

“Apa yang kau harapkan dari hal yang biasa-biasa saja, dari diam, dari perhatian semu yang bahkan mungkin tidak pernah ada.”

“Dan apa yang kau harap dari sesuatu yang berlebihan ? terlalu dipaksakan ? biarkan ia mengalir, tumbuh dengan sendirinya. Sampai pada titik ia betul-betul tak bisa lagi memandangku dengan mata sayunya. Bahkan terkadang ia selalu memberikan kejutan, dalam diamnya. Itu yang kupercaya, saat ini. Aku masih dengan jawaban yang sama, masih dengan perasaan yang sama. Aku mencintainya, iya, mencintainya.”

“Aku lelah berdebat denganmu, kau selalu menyanggah saranku.”

“Aku bukannya mau berdebat, aku tak sedikitpun menyanggahmu, aku hanya ingin kau memandang dari sudut pandangku.”

“Bagaimana bisa kau memandang dari kebutaan perasaanmu.?”

Aku tak menjawab, membiarkan ia menggantung dalam pertanyaannya untuk beberapa saat. Kualihkan pandangan ku ke ujung langit melihat awan yang berarak pelan mengikuti angin. Ia selalu begitu, ngotot dengan semua argumennya.

“Dengar, sekali lagi aku mengulangnya. Aku tetap dengan perasaanku. Aku dan dia.”

“Kau munafik, sudah sifat alamiah dari manusia melakukan sesuatu dengan mengharap balasan. Tidak mungkin tidak, sama halnya dengan perasaanmu.”

“Iya, aku akui itu sifat alamiah manusia, tapi beda dengan apa yang sedang kurasakan. Dengar, inilah yang membuat apa yang kurasakan berbeda dengan yang lainnya, karna ia tanpa pamrih. Ia tulus.”

“Kau aneh, langka”

“Mungkin karena itu, perasaan seperti ini juga langka.”

Aku tersenyum, meninggalkannya. Ku lihat mukanya cemberut, kemudian samar-samar menghilang dalam silau cermin yang kemudian kembali meredup, ia kembali, kedalam rumahnya, dalam cermin.

Post a Comment