Masih tentang-Rindu-

Table of Contents

“Bagiku satu kata itu-RINDU- tak akan pernah cukup mewakili semuanya.”

Aku masih ingat senyum di kala pertama kali kita bertemu, itu setahun yang lalu. Selalu ada ruang yang besar untuk menyimpan memori tersebut. Sebuah ruang yang tidak boleh diisi oleh kenangan lain selain kenangan itu, kenangan saat pertama kali kita saling bertukar kata. Aku tak pernah menyangka rasa ini akan berovolusi begitu cepat melampaui siklus ulat yang bermemamorfosis menjadi kupu-kupu. Satu senyum yang tersimpul ketika itu mampu mengikatku di bangku tempat kita berdua duduk, tak ingin lepas waktu itu.

Moment itu memang sudah berlangsung setahun yang lalu, tapi masih berputar dengan jelas di dalam kepalaku, di layar raksasa yang sebagian besar menampilkan potongan-potongan gambarmu, senyummu dan lesung pipimu. Menampilkan wajah manis yang dibalut kerudung merah, dengan rona yang sama pada kedua pipi putihmu. Kenangan itu selalu menjadi tempatku kembali, tempatku bersandar, ketika gelisah dan rindu menghampiriku pada rentang jarak yang jauh memisahkan.

Kau terlalu berlebihan dalam memaknai rindu, dalam menyampaikan rindu. Apakah harus seperti itu ?”

“Berlebihan ? apa satu kata -RINDU- bisa mewakili seutuhnya rasa yang sedang bergemuruh didalam hati ? apa ia sudah bisa menjelaskan semuanya ?”

Ia, cukup satu kata itu saja.”

“Bagiku satu kata itu-RINDU- tak akan pernah cukup mewakili semuanya.”

Bagiku tak ada kata yang berlebihan dalam menyampaikan rindu, seaneh apapun kata itu, ia tetap mewakili sebuah buncahan rasa yang tak sanggup lagi dipendam oleh hati. Seperti halnya pilinan kalimat yang sedang kutuliskan, sebuah goresan yang mewakili tiap tetes rindu yang meluap dari kuali hati.

Tak perlu rindu itu terbalas, walau pada hakikatnya ia menuntut rasa yang sama dari sipenerima rindu. Namun itu bukan sebuah kemutlakan, kalau memang rasa itu sampai, tanpa dimintapun ia akan hadir dengan frekuensi yang sama, iya, layaknya gelombang yang saling terhubung satu sama lain.

“Bagaimana jika ia tak menyukai rindumu ? ia tak menyukai setiap kalimat rindu yang kau tuliskan ?”

“Aku tidak tahu. Paling tidak inilah aku dalam menyampaikan rindu.”

Tak perlu pula prasangka muncul, ketika memang ketulusan yang menjadi dasar setiap tulisan ini terangkai. Ia-ketulusan-menjadi balutan pengawet yang menjaga rasa ini tetap sama seperti pada pertama kali kita bertemu, pertama kali kita saling melempar senyum. Aku merindukanmu.

Post a Comment