Ritme yang Aneh

Table of Contents
Sinar matahari di balik bukit-bukit di Bumi Batara Guru memberikan sensasi lain pada nuansa sore yang kulewati kali ini. Sejumput rasa aneh kembali menyusup diam-diam dalam pembuluh darahku dan memberikan tekanan lebih dalam tiap degup jantungku. Kembali aku mengecap rasa ini, rasa yang kukira telah hilang selama dua bulan terakhir ini. Entah kenapa ia tiba-tiba muncul, dalam semilir perjalananku di bumi Sawerigading, angin tipis diam-diam menerpa badanku, memberikan sensasi dingin yang menambah kontradiksi drama hati pada awal senja hari ini.

Aku berhenti sejenak, ditanah lapang jantung kota ini. Berusaha menenangkan jantungku yang semakin bedetak tidak karuan, sembari menikmati perpaduan warna jingga, biru dan sedikit warna kelabu pada langit. Sebuah pertanda malam akan menjelang. Satu menit, dua menit, tiga menit… tidak ada perubahan, detaknya masih sama, melebihi ritme detik jarum jam. Aku pasrah, dan lamat-lamat mengabaikannya, berusaha mengalihkan perhatian dengan memandang sekumpulan anak-anak yang sedang bermain dilapangan, saling berkejaran dengan peluh yang terlihat  mengalir ditengah tawa senang mereka. Salah satu dari mereka menatapku sembari melempar senyum lalu berlalu tanpa menoleh lagi. Aku tersenyum sendiri.

Aku berdiri dan berjalan-jalan kecil mengelilingi lapangan, sambil tetap menata detak jantung yang semakin tak terkendali. Riuh tawa dan suara derap kaki yang saling berkejaran di tengah ramainya lapangan ini membuatku semakin linglung, semakin merasakan akan pompa jantung yang semakin aneh. Aku bingung ? Apa yang sebenarnya terjadi. Kuhentikan langkahku pada ayunan besi di ujung lapangan, duduk dan berusaha menenangkan diri. Kupejamkan mataku, berharap rasa aneh yang menyeruak ini dapat hilang. Aku salah. Bayang-bayang desir darah yang mengalir dalam diriku semakin jelas, membawa rasa gelisah dan cemas yang bercampur aduk.

Aku menyerah untuk melawan, kubiarkan degup ini, desir ini, dan ritme tak beraturan ini menjelajah badan dan pikiranku. Kubiarkan mengalir, mengisi tiap ruang kosong di otakku.

Aku berjalan kembali, pulang.

Terduduk di dipan kecil depan rumah, membuka lembar demi lembar buku agenda yang seharian penuh tak kusentuh.Lama aku membaca kegiatan-kegiatan yang telah kutuliskan dalam agenda tersebut, sampai aku berhenti pada sebuah lembaran yang terselip satu foto didalamnya.

Aku tertawa kecil.

Rupanya ini, akar rasa aneh yang dari tadi menggerogotiku.

Aku kembali tertawa. Rupanya aku sedang rindu.

***

Post a Comment