Sepenggal Kisah

Table of Contents
“Setiap tahap harus dilalui dengan sabar, pencapaian yang terburu-buru tidak akan bertahan lama. Seperti pondasi sebuah menara, jika ada yang terlangkahi maka akan membuat rongga yang bisa menjatuhkan menara itu sendiri suatu waktu.”
Kau-bayang imaji-menasehatiku, itu kalimat bernada positif pertama yang keluar dari lidahmu. Tepat tengah hari, dalam gerah yang memanen peluh engkau kembali membuka pembicaraan dengan logat khas yang menjengkelkan. Tapi, ya baru kali ini kau memberikan sebuah kalimta positif kepadaku.

Aku dulu sepertimu, sebelum dikutuk untuk hidup abadi di dalam cermin. Aku seperti remaja yang lainnya, pernah merasakan pahit manis mencintai seorang wanita, ego dan arogansi yang tak terkendali, serta kenakalan-kenalakan konyol yang tak dapat kuhitung lagi. Kau tahu, dulu aku mencintai kesejukan, suka memandang awan, dan tak suka dengan hujan.” Kau-bayang imaji-melanjutkan kalimatmu, sembari menyusun menara dari kartu remi diatas meja.

“Kau tak pernah menceritakan itu sebelumnya ? kukira di awal perjumpaan kau bilang kau adalah refleksi rasa benci dalam diriku ? refleksi kekecewaan dan semua kesedihan yang selama ini terpendam ?.” Tanya ku heran.

Iya, memang seperti itu. Aku bisa hidup lewat kebencian dan rasa sedih dari manusia. Dan waktu itu kau yang memberiku wadah seperti itu, kebencian dan kesedihan yang mendalam.” Jawabnya.

“Aku tak ingat saat itu.”

Apa kau tidak penasaran kenapa kutukan itu terjadi ? kenapa aku harus menanggung penderitaan seperti ini, abadi namun mati.”

“Aku tak perlu tahu bukan ?”

“Iya, tapi kau perlu untuk belajar, agar sejarah tak berulang, agar kesalahan tak perlu lagi terjadi.”

“Aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk mendengarkan dongeng.”

“Baiklah kalau begitu, tapi aku akan tetap bercerita. Entah kau mendengarkan atau tidak.”

Ia-bayang imaji-menarik nafas pelan sembari merubah posisi duduknya, menara kartu reminya telah tersusun tinggi, hamper selesai rupanya.

“Dulunya aku adalah sosok pragmatis dan matrealis dalam memandang hidup, terlalu arogan untuk menerima orang lain. Dan selalu menganggap remeh manusia selain diriku. Harga diriku adalah jiwa keduaku, ia ku junjung terlalu tinggi sehingga menutupi empati dan simpatiku.”

Ia-bayang imaji-menunduk mengamati bumi, kemudian melanjutkan kalimatnya.

“Kau tahu, Arogan, pragmatis, dan harga diri yang terlalu tinggi adalah jerat yang tidak pernah membiarkanku melangkah jauh mencapai mimpi, ia membuatku jalan di tempat, bahkan jatuh semakin kedasar hidup. Tanpa makna, tanpa kenangan yang berarti. Lalu, aku sampai pada titik dimana aku betul-betul tak bisa lagi mengejar mereka yang dulunya ada disampingku, yang dulunya ada dibawahku. Aku dibutakan arogansi dan harga diri, dan pada kulminasi kondisiku, aku menggunakan cara curang untuk melampaui semuanya. Membuat rongga pada pondasi hidupku, menjadikannya sangat mudah di tumbangkan, sangat mudah dirubuhkan. Sekali lagi ku katakan ini, untuk menjadi pelajaran buat mu setiap tahap harus dilalui dengan sabar, pencapaian yang terburu-buru tidak akan bertahan lama. Seperti pondasi sebuah menara, jika ada yang terlangkahi maka akan membuat rongga yang bisa menjatuhkan menara itu sendiri suatu waktu.”

Aku diam mendengarkan ceritanya, menatapnya yang makin memudar dalam cermin, ia hilang bersembunyi dibalik cermin.


Post a Comment