Kenangan Tak Berulang

Table of Contents
Aku berhalusinasi, masih disubuh yang sama dan lintasan kenangan yang sama. Kau datang dan membawa seulas senyum dengan lesung pipi yang selalu ingin ku lihat,
Ada yang mengusikku subuh ini, sebuah lintasan kenangan yang tiba-tiba terbangun dalam alur mimpiku. Panjang, sangat panjang lintasan itu dan cukup untuk menghadirkan semua rasa dan kenangan yang terkubur rapat dalam dasar hati. Ia kembali hadir, dalam rupa yang sama dan senyum yang sama, sebuah kenangan yang menguras logika untuk tak lagi memikirkan apa yang telah lalu, namun gagal, bukan untuk yang pertama kalinya, ini untuk yang kesekian kalinya. 

Sosok lucu dan manja yang pernah ku kenal, sosok yang pernah menangis karena cemburu, sosok yang perhatiannya melebihi siapapun, sosok yang suka mencibir dengan candaanku yang tak pernah lucu menurutnya, sosok yang selama ini kurindukan. Ia gadis yang pernah menuliskan tentang diriku dalam sebuah catatannya betapa ia mencintaiku, betapa ia merindukanku saat jarak menjadi sangat nakal memisahkan kami, betapa ia tak mau melepas genggaman tanganku yang mengisi celah disela-sela jemarinya. 

Begitulah waktu yang misterius yang mampu merubah segala sesuatu dengan sangat cepat. Ia telah bermetamorfosis, menjadi sosok yang lebih dewasa, menjadi sosok yang lebih mandiri, sosok yang tanpa bayangku tak lagi menjadi sebuah ketakutan buatnya. Ia sekarang menjadi gadis yang lebih kuat dari sebelumnya, yang tanpa dirikupun mampu berdiri dengan tegar.  

Ia tak lagi cengeng seperti dulu, tak lagi suka mencibir, dan aku rindu itu. Ada sebuah catatan doa yang masih kusimpan sampai sekarang, catatan doa yang kau tujukan untukku untuk mengiriku dalam sebuah perjalanan yang membuat kita tak bertemu dalam selusin hari yang berjalan lambat.

Masih disubuh yang sama, masih dilintasan kenangan yang sama, gelas teh, lesung pipi, kerudung hijau zamrud,  rengek manja, puisi, tangis cemburu, kepingan-kepingan yang berputar bergantian mengisi relung mimpi yang terus menerus memaksa untuk menjadi nyata. Aku tak pernah bosan mengatakan rindu, satu kali, dua kali, tiga kali, bahkan berkali-kali, aku punya banyak cadangan dalam kamarku, ia tak akan habis, mungkin dalam sepuluh atau dua puluh tahun kedepan aku masih punya cadangan rindu yang akan ku berikan kepadamu.

Aku berhalusinasi, masih disubuh yang sama dan lintasan kenangan yang sama. Kau datang dan membawa seulas senyum dengan lesung pipi yang selalu ingin ku lihat, kau memakai kerudung hijau zamrud yang selalu kusukai ketika kau memakainya, membawa segelas teh yang kau gengam ditanganmu sungguh aku merindukan yang satu ini, walaupun tak lagi merengek namun cibiranmu masih sama. Iya, aku berhalusinasi. 

Tentang segelas teh, tentang semua kenangan yang ingin ku ulang. Apa kau tahu, aku tak lagi minum teh, bukan karena tak suka, namun karena aku tak lagi bisa mengecap rasa yang sama dengan teh racikanmu, karena aku tak lagi bisa menikmati rona merah wajahmu ketika kukatakan tehmu enak. Aku tak mau ada yang membuatkan teh untukku, aku takut aku akan merindukanmu lebih dari yang kurasakan sekarang. Iya, aku takut.

Hari tak lagi subuh, mentari sudah meracik embun di ujung-ujung daun, berbagi hangat yang dibasuhkan diwajahku. Membangunkanku dari halusinasi panjang, membuka mataku. Namun ada yang luput dari basuhan hangatnya, hatiku, yang masih menggigil karena rindu.

Makassar, 7 Juli 2013
untukmu dan kenangan kita.


Post a Comment