Dekat dengan Langit

Table of Contents
Aku ingin menjadi malam untukmu, yang datang disaat kau telah bosan berjalan dibawah cahaya yang terlalu menyilaukan.
Kau tahu, disini aku semakin dekat dengan langit, seakan-akan bintang dapat kudekap dengan sekali lompat. Malam disini lebih dingin, dengan jejeran pinus yang menebar harumnya yang khas. Malam-malam seperti ini sudah berlalu selama dua perputaran matahari terbit dan terbenam, siklus yang akan terus berulang sampai pada kulminasi dimana arah akan berubah. 

Aku selalu merindukan langit yang jernih seperti ini, malam yang menyajikan titik-titik bintang dengan sangat jelas, malam yang memberikan keindahan pada gelap, memberi sebuah makna pada kanvas hitam tak berujung.  Aku selalu ingin menjadi malam untukmu, menjadi tempat untukmu berlari dan menjauh dari rasa lelah dan penat, sebuah tempat dimana semua jenuhmu berlabuh. 

Aku ingin menjadi malam untukmu, yang datang disaat kau telah bosan berjalan dibawah cahaya yang terlalu menyilaukan. Menjadi malam yang tanpa dimintapun akan selalu ada, selalu menungguimu untuk tertidur dan mengawalmu dalam dekapnya bersama mimpi yang ia selipkan dibawah bantalmu.

Walaupun mungkin sekarang jarak menjadi sebuah jurang untuk bisa menatap dua mutiara hitam dibalik matamu, namun kutahu tak ada bayangan lain yang terpantul dari dua mutiara itu selain bayangan diriku. Aku selalu mempercayai malam tak pernah terlambat untuk membungkus penat siang dalam menemani rasa jenuh dan lelah yang terakumulasi dalam 12 jam perjalanan matahari. Seperti kau yang tak pernah terlambat untuk sekedar memberikan senyum terbaikmu kala kerutan di dahiku terpilin yang menandakan ada masalah yang berputar dikepalaku.

Malam ini, aku mendapati diriku menggigil, bukan karena dingin yang dibawa oleh angin malam ditengah kampung berkabut ini, tapi karena rindu yang sudah menembus kulit dan menggerogoti tulang. Ya, rindu.

Sebuah catatan malam, ditengah desa tanpa penerangan. Benteng, 2013


Post a Comment