Desember dan Hujan yang tak lagi sama

Table of Contents
Awal Desember, Hujan seperti jawaban akan rasa haus bumi yang jenuh pada kemarau. Sekarang, Hujan seperti air garam yang tumpah ruah pada bumi yang sedang luka.
Desember memang selalu punya cerita, tentang mendung, hujan, matahari yang malu-malu, dan tanah basah. Aku suka Desember dan semua cerita yang ada didalamnya, entah sudah berapa tulisan yang ku buat untuk menceritakan Desember, Dua, Tiga, Empat ? 

Entahlah... Aku suka Desember. Bulan dimana hujan menjadi sangat sejuk, bulan dimana dengan sengaja aku menengadah kelangit yang sedang hujan, membiarkan tiap tetes air membasahi wajahku, sambil tersenyum dan menutup mata. Merasakan setiap percikan airnya mengalir diwajahku, seperti merefleksi dan menghilangkan segala penat dan lelah yang melekat pada tiap-tiap kerutan wajahku.

Waktu yang relatif, begitu cepat berputar dari waktu yang sesungguhnya, Desember juga mulai menua. Mendekati masa hibernasi, lalu muncul kembali pada urutannya disiklus perputaran bulan. Mungkin Desember sudah benar-benar menua, lupa pada hujan dan semua sejuk yang ia tuang di awal kehadirannya. Ia mungkin lupa, iya, mungkin ia hanya lupa. Sampai akhirnya hujan Desember tak lagi sama.

Jika dulu ia seperti jawaban akan rasa haus bumi pada kesejukan, sekarang hujan Desember seperti air garam yang tumpah pada bumi yang sedang luka. Perih. Mungkin Desember akan berjalan seperti ini pada sisa hari ia menemaniku. Aku tak lagi berani menengadahkan wajahku kelangit ketika hujan, aku takut ia akan membuat perih luka-luka yang tiba-tiba muncul dalam waktu sehari, luka yang tiba-tiba membesar, luka yang tiba-tiba saja kembali.

Namun, walau mungkin Hujan Desember tak lagi sama, aku akan tetap ada dan menunggunya kembali.


Post a Comment