Delphinium
Ku sebut ia Delphinium di cerita ini, yang pada cerita yang lain kusebut dengan nama Aphrodite. Bersanding dengan Gladiol, sosok sederhana yang meluluhkan. Pagi masih buta, hitam yang disisakan malam belum sempurna hilang, cahaya matahari masih pelan menyusup. Gladiol, betah mengamati tiap garis wajah yang tergambar dihadapannya.
Garis wajah yang mampu membuatnya melupakan bahwa malam terlalu sepi untuk dilewati seorang diri. Delphinium, masih terlelap dalam tidurnya, mencoba mengumpulkan keping-keping mimpi yang pudar bersama bias jingga cerah di ufuk timur, tak rela melepas semu mimpi yang membuatnya tersenyum sepanjang tidurnya.
Semakin lekat Gladiol memandang, semakin lekat rindu tak beralasan di dadanya. Rindu yang tak seharusnya ada melihat jarak antara dia dan Delphinium hanya sejengkal. Rindu yang terlalu mubazir untuk dinyatakan. Sedekat itu, mungkin membuatnya lupa bagaimana membedakan rindu dan degup bahagia. Jika waktu sejam menghabiskan waktu 60 menit, maka didunianya, Gladiol sdah menghabiskan lebih dari 600 menit dalam sejam untuk memandang sosok indah dsampingnya. Sebuah logika mustahil yang menjadi nyata dialiran waktu yang mereka berdua lewati.
Delphinium perlahan membuka matanya, ia tak berhasil mengumpulkan keping mimpi yang sedari tadi ia kejar. Sedikit kecewa. Namun, ketika matanya menangkap banyangan dihadapannya, bayangan yang pertama kali ia lihat ketika membuka mata. Kekecewaannya tak bersisa, menguap bersama sungging senyum yang lengkung tercetak di bibirnya yang merah.
Usahanya yang tak berhasil mengumpulkan keping mimpi indahnya, tergantikan oleh nyata yang ada dihadapannya. Tergantikan dengan usap lembut laki-laki yang kini melemparkan senyum kepadanya.
"Good morning sweety"
"Good morning"
Dan lagi-lagi kehangatan kembali merebak dari rekah senyum mereka berdua.
Post a Comment