Memahami sudut pandang orang lain
Table of Contents
Sudah hampir 7 bulan saya bergabung dengan salah satu NGO (Non Governtment Organsation) yang menangani anak-anak imigran, atau yang dalam ruang lingkup kerja, kami menyebutnya Unaccompanied Migrant Children (UMC).
Saya bekerja sebagai staff pengajar yang bertanggung jawab untuk mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa inggris kepada para migrants ini, sebagai modal dasar mereka dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat lokal.
Diawal bergabung dengan NGO ini, saya merasa bahwa hal ini merupakan salah satu jalan untuk bisa melakukan kegiatan sosial dan merasakan bagaimana keseruan dan tantangan dalam berinteraksi dengan anak-anak dari berbagai negara yang harus meninggalkan negara mereka karena adanya ancaman bahaya dari baik dari segi agama, ras, atau perang di negara mereka.
Sebelum berinteraksi, saya dan staff lainnya diberikan sebuah pelatihan sekaligus pengenalan tentang kondisi dan situasi yang kemungkinan muncul pada saat kami berinteraksi dan melakukan kegiatan bersama para anak-anak imigran.
Pelatihan ini menjadi sangat penting karena sebelum berada ditengah-tengah mereka kita harus terlebih dahulu memahami bahwa perbedaan budaya dan kebiasaan serta bahasa menjadikan masalah dan konflik sangat mudah terjadi. Gesekan-gesekan akan sering muncul jika kita tidak bisa memahami kondisi bahwa kita memiliki budaya dan kebiasaan yang sangat jauh berbeda dari mereka.
Ada tiga tantangan besar yang harus saya hadapi dalam mengajar anak-anak imigran. Yang pertama adalah bahasa, saya harus bisa dengan fluent mengajarkan mereka bahasa indonesia dalam bahasa inggris yang mana sebagian dari mereka hanya bisa berbahasa parsi dan belum lancar berbahasa inggris. Sebagai analogi, sama halnya jika saya ingin belajar bahasa parsi, namun proses belajarnya menggunakan bahasa jepang.
Kedua adalah mengisi motivasi belajar, mengajarkan materi pelajaran kepada mereka yang tidak memiliki motivasi belajar seperti halnya mengisi air dibotol yang tertutup, it doesn’t work. Karena kebanyakan dari mereka telah patah arang dengan apa yang mereka alami, dan menjadikan proses belajar mengjar dikelas hanya sebagai sampingan dalam mengisi kekosongan kegiatan mereka selama berada di Indonesia.
Ketiga adalah pengontrolan perilaku temprament, dari apa yang telah mereka alami dan hadapi, sikap temprament dapat sangat terlihat dari mereka ketika proses belajar mengjar berlangsung, terutama dengan interaksi sesama mereka. Hal yang wajar ketika kita berada dalam lingkungan asing dimana kita bertemu dengan orang-orang baru yang kita sama sekali tidak tahu.
Pada triwulan pertama proses penyesuaian menjadi sangat berat untuk bisa menghadapi tiga tantangan tersebut, metode belajar mengajar yang hampir tiap minggu diubah demi menyesuaikan mood mereka, merekrut tutor sebaya dari imigran yang sudah lancar berbahasa inggris, serta pemberian award bagi mereka yang aktif dan komunikatif didalam kelas.
Namun, sejauh yang saya alami pada triwulan pertama, belum berhasil. Saya sempat merasakan pressure yang sangat besar, karena merasa belum bisa secara maksimal menghidupkan suasana belajar aktif dikelas, ditambah lagi persentasi kehadiran yang semakin berkurang, padahal variasi treatment dan metode sudah diterapkan.
Kemudian saya menyadari bahwa different perspective, menjadikan pola komunikasi kadang tidak berujung pada satu pemahaman yang sama. Dari hal inilah kemudian saya bertolak dari yang sebelumnya fokus pada metode balajar mengajar serta proses pemeberian award and punishmentberalih pada pendalaman pemahaman tentang bagaimana cara mereka berpikir dan memandang sesuatu, juga tentang apa yang menjadi landasan berpikir mereka.
Alhasil, walaupun persentasi kehadiran mereka meningkat dengan lambat, namun tekanan yang kemudian saya hadapi berkurang karena sudah memahami dan mengetahui tentang bagaimana mereka berpikir dan apa yang menjadi landasan mereka dalam bersikap.
Dari hal ini kemudian saya berpikir bahwa memaksa seseorang untuk berada pada sudut pandang kita hanya akan berujung pada kata tidak sepaham, namun memposisikan diri pada teleskop berpikir mereka akan menjadikan kita mampu berkomunikasi secara baik. Dan itu adalah kunci dalam proses berinteraksi dengan mereka.
All in all, different perspective can be solved with putting our perspective to theirs.
Post a Comment