Hamba

Table of Contents

Basineng, kulihat kau sedang duduk sambil mempermainkan pensil di ujung jemari-jemarimu. Kau mungkin lupa dengan apa yang ingin kau tulis, sebab sudah lebih dari dua puluh menit kulihat kau tak menggoreskan sesuatu apapun pada kertas dihadapanmu. Kau masih berusaha mengingat, kutandai dari kerut dahimu yang semakin mendekatkan dua pangkal alismu. Apa yang ingin kau ingat untuk kau tuliskan?

Kau lalu menoleh dan bertanya, “Apakah kita sudah betul-betul beriman? Apakah Neraka atau surga yang akan jadi tempat terakhir kita kekal di dalamnya?” Aku diam untuk beberapa saat, pertanyaanmu kali ini sangat berbeda dari banyak pertanyaan yang telah kau lontarkan padaku. 

Biasanya kau akan menghindar dari segala pertanyaan atau diskusi tentang keyakinan, agama, dosa, pahala, ataupun tentang surga dan neraka. Dan sekarang kau bertanya tentang iman, pertanyaan yang sama sekali tak dapat kujawab melihat kadar keilmuanku yang seujung kuku.

"Aku tak tahu" jawabku singkat.

Kau terdiam beberapa saat, “Apa yang membuat seseorang betul-betul yakin bahwa ia adalah pribadi yang beriman dimana surga adalah tempatnya untuk kembali? Dan apakah pendosa juga meyakini diri mereka bahwa mereka tak memiliki iman dimana neraka adalah tempat mereka akan abadi? Sebab pernah kudengar kisah, pendosa yang mati namun di ujung hayatnya ia beriman, dan mendapat surga sebagai tempatnya kembali, lalu ada juga ahli ibadah yang kemudian meninggal dalam kekafiran, dan meringkuk di neraka” kau menyerangku dengan lebih banyak pertanyaan. 

Seperti sebelumnya, aku tak bisa berkata banyak. 

"Aku tak tahu, sekali lagi. Paling tidak sebagai makhluk yang paling bodoh dalam menebak apa yang terjadi di masa depan, dan juga paling buta dalam meramalkan kematian, aku hanya sanggup berdoa agar meninggal dalam kondisi sebaik-baiknya hamba Tuhan.“ 

Lagi-lagi kau terdiam, lama…

Post a Comment