Mimpi yang terlunasi, Adelaide [1]

Table of Contents


Basineng, maaf aku baru mengabarimu sekarang. Ada banyak hal yang menjadi alasanku untuk menunda kisahku untuk kuceritakan padamu. Waktu sudah lewat enam bulan, waktu yang cukup lama untuk tak berkabar, namun absenku dalam bercerita bukan tanpa alasan. Aku punya alasan yang tepat, yang mungkin tak akan kujelaskan disini karena aku takut ceritaku akan lama sekedar untuk menjelaskan satu persatu alasan tersebut. 

Sekarang aku sudah siap untuk bercerita lagi, tapi sebelumnya, aku ingin tahu bagaimana kabarmu? Semoga kau baik-baik saja, bagaimana dengan pohon-pohon cengkeh di kebun belakang rumahmu? Agustus sudah lewat, bulan dimana buah cengkeh memerah dan siap untuk dipetik. Ku harap hasil panenmu banyak, seperti pada saat kita bersama memetiknya menggunakan tangga bambu yang diikat kebadan pohon, masa yang indah untuk dikenang Basineng, tapi jujur sedikit enggan untuk kuulang, aku ngeri ketinggian. 

Aku ingin bercerita, tentang hal-hal yang dulu sering kita perbincangkan sembari memetik, kita duduk dianak tangga dengan sarung yang terpasang mengelilingi pundak, tempat kita menyimpan cengkeh-cengkeh yang sudah terlepas dari rantingnya. Baunya khas, harum. 

Aku ingat pernah menyebut astronot sebagai cita-citaku dulu, cita-cita yang terlalu muluk buat kita anak-anak desa yang bernaung dibawah bayang gunung Lompobattang, dan memang setelah tahu bahwa jadi astronot terasosiasi dengan matematika dan fisika, aku menciut. Kau tahu hubunganku dengan hal-hal berbau numerik tidak pernah baik, walaupun akhirnya takdir mempertemukanku dengan mereka di bangku kuliah. 

Pun setelah selesai aku tak pernah berkeinginan untuk melanjutkan bidang yang sama. Setelah astronot, aku menceritakan cita-cita lain kepadamu, keinginanku untuk bisa menapakkan kaki di benua lain, diluar Indonesia. Kau cuma cekikikan mendengarnya, karena kau tahu mendatangi ibu kota provinsi saja sudah merupakan prestasi luar biasa yang bisa diceritakan sampai berminggu-minggu lamanya kepada kawan-kawan yang lain. 

Akupun, dulunya menertawai diriku karena punya pikiran seperti itu, yang kusadari muncul karena kebiasaanku duduk berlama-lama di dalam perpustakaan sekolah kita semasa SD, perpustakaan yang hanya buka dua kali seminggu, perpustakaan yang berisi buku-buku lama, yang bahkan beberapa buku punya umur yang jauh lebih tua dariku. Meski demikian, entah mengapa aku suka berlama-lama disana, membaca majalah-majalah anak yang seringkali menceritakan dunia luar yang sama sekali tidak kukenal, dunia yang bahkan ketika aku berjalan-jalan ke ibukota provinsi tak bisa kubandingkan sama sekali kemegahannya. Basineng, kau sangat paham, bahwa sedikit banyak khayalanku berasal dari buku dan majalah tua di perpustakaan itu. 

Perlahan-lahan, seiring beranjaknya usia kita mendekati pubertas, cita-cita manis tentang dunia luar sedikit-demi sedikit mengabur, tergantikan dengan sensasi baru tentang rasa dan fantasi melankolis kisah romantis anak remaja. Kita sibuk membicarakan hal-hal tentang penampilan dan gadis-gadis mana saja di sekolah kita yang memiliki paras manis dan cantik, yang bisa diajak bertemu saat pasar malam. Kita sibuk merangkai kata-kata indah dan manis sebagai senjata andalan, yang sebenarnya hasil paraphrase dari kata-kata di internet yang kita akses lewat HP nokia tipe jadul. 

Dan ternyata, berhasil. Ketika pulang, kau sudah siap dengan selusin cerita tentang pengalamanmu di pasar malam, kau bercerita bagaimana kau berbicara lama dengan Irma, salah satu bunga desa dikampung. Walaupun aku tahu pasti yang kau maksud dengan berbicara adalah kau dan dia sejarak tiga meter, dimana kau sendiri dan Irma diapit oleh dua teman dekatnya, kalian berbicara hanya sepatah dua kata, dengan banyak jeda dan spasi. Jalan kita semakin mengambang, dibumbui dengan kenakalan-kenakalan khas anak kampung, cerita kita tentang cita-cita dan mimpi dimasa depan semakin jarang. 

Ketidakjelasan itu berlangsung hingga kita harus berpisah ketika masa SMA sudah terlewati, kau harus menetap dikampung dan mengurus kebun orang tuamu yang kecil. Dan aku, sedikit lebih beruntung karena masih bisa melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Aku tahu pasti, kau lebih pintar dariku, kau lebih sering menduduki rangking atas dibanding aku. Melihatmu harus tinggal mengurusi pohon cengkeh yang hanya beberapa di kebun belakang rumahmu membuatku sedih. 

Kau dengan ringannya berkata bahwa kita punya jalan masing-masing, bukan jenjang pendidikan yang membuat seseorang menjadi seutuhnya manusia, tapi bagaimana orang tersebut bisa terdidik dalam melewati setiap proses belajar adalah jalan untuk menjadi sesungguhnya manusia. Kau melanjutkan perkataanmu dengan sedikit berat, ketika kau kembali dan tidak mampu menjadi manusia terdidik, bukan sekedar terpelajar yang kumaksud, maka aku yang seorang petani cengkeh bisa saja lebih bernilai dari kau yang nantinya seorang sarjana. 

--- 

Adelaide, South Australia

Basineng, aku sedikit tergesa-gesa memasuki pintu pesawat, lamunanku tentang kisah sembilan tahun lalu membuatku tak begitu jelas mendengarkan panggilan keberangkatan dari microphone bandara. Dua pramugari menyambutku dengan tersenyum, entah itu senyum murni karena mereka memang suka tersenyum, atau karena itu sudah menjadi tugas mereka. Aku akan terbang ke benua tetangga Basineng, Australia. Kau mungkin tidak percaya, pun aku beberapa waktu lalu, tapi sepertinya Tuhan menjawab cekikikan akan ketidakmungkinan yang kita bicarakan di kebun cengkehmu bertahun-tahun lalu. 

Sepertinya Tuhan sedang menunjukkan kepada kita, hamba yang pernah meragukan kekuatan doa dan ketekunan, bahwa doa terkadang dikabulkan pada saat yang tidak disangka-sangka, walaupun doa tersebut hanya berupa percakapan ringan kala itu. Sekitar satu jam dua puluh menit kemudian aku akan mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali. Pemberhentian pertama sebelum perjalanan 6 jam menuju Melbourne, Australia, yang masih akan berlanjut sekitar empat puluh menit penerbangan ke Adelaide, South Australia. Tempat aku akan tinggal selama dua tahun, untuk melanjutkan pendidikan dijenjang magister. 


Oh iya, aku belum memberitahumu, September 2014 lalu aku sudah menyelesaikan sarjanaku. Lalu memberanikan diri belajar di Kampung Inggris Pare, Kediri sebulan setelahnya. Setelahnya, jatuh bangun aku berjuang agar bisa lulus beasiswa. Mewujudkan mimpi memang tidak pernah mudah Basineng, apalagi untuk kita anak desa yang tak punya modal banyak dari segi materi, hanya motivasi dan keinginan besar yang menyeretku sampai sejauh ini, dan Tuhan selalu punya jawaban atas doa yang terselip disetiap istirahat dalam berjuang. Aku lulus Basineng. 

Ini baru awal dari kisah-kisah yang akan kubagikan padamu, yang seharusnya sampai padamu 6 bulan lalu. Aku harap kau tak keberatan dengan keterlambatan yang terlampau terlambat ini. Aku akan menemuimu lagi, satu persatu akan kuceritakan, tentang kota dimana aku menuntut ilmu, dikelilingi suasana dan orang-orang yang asing, dengan budaya dan kebiasaan yang juga berbeda. Semoga kau masih disana menerima ceritaku ini. 

Dari kawanmu, yang terlampau lambat dalam memberi kabar.


Post a Comment