Dosa Era Modern

Table of Contents


"Kenapa menjadi tidak berpihak adalah sebuah dosa, Basineng?" Tanyaku. 

"Kau butuh sekutu didunia yang sudah semakin menggila ini, dan berpihak adalah salah satu mata rantai yang bisa membuatmu tetap berada pada peredaran siklus sosial bermasyarakat, tak berpihak berarti kau telah memutuskan mata rantai itu, kau menjadi orang asing yang terasing, meski sesuku, seagama, sebangsa, berpihak sekarang adalah sebuah kemutlakan." Jawabmu dengan masih meletakkan jemarimu pada laptop, mencoba menyelesaikan tugas sekolah yang kemarin-kemarin terus kau tunda. 

Kau menyalahkan cuaca, musim penghujan membuat orang-orang malas katamu, dingin terlalu baik untuk dilewatkan dengan hal-hal serius seperti tugas dan urusan sekolah. Hujan, menurutmu, adalah hal indah yang lebih cocok dilewatkan dengan teh dan kue kering sisa lembaran sebulan lalu. 

"Tapi dengan tidak berpihak pada siapapun, aku sebenarnya sudah berpihak pada kepercayaan yang kupegang, keyakinan yang tanpa perlu alasan panjang dan logis, membuatku berani mengatakan bahwa, membeci, menghina, membuka aib dan saling hasut bukanlah jalan atau metode yang baik untuk mendamaikan keadaan, layaknya kau ingin menyaring air keruh menggunakan kain yang berlumpur. Sia-sia Basineng. Kaupun tahu itu." Lanjutku. 

"Dunia tidak bekerja seperti dulu kawan, butuh lebih dari sekedar berpihak pada keyakinan untuk bisa membuat dunia ini menjadi lebih baik, atau seperti yang kau bilang, mendamaikan keadaan. 

Dulu, kata-kata dan syair perdamaian masih merupakan salah senjata paling ampuh dalam menggoyahkan sebuah bangsa, karena masyarakatnya matang akan ilmu, dan informasi masih begitu sulit diputar balikkan, walaupun ada juga banyak kejadian tentang fitnah yang beredar, tapi tidak secepat sekarang, dimana kebenaran hanya sejarak satu ketukan lembut pada tuts keyboard laptop ataupun handhone. 

Sekarang adalah jaman dimana kebenaran bukan dilihat dari sisi objektif proses kejadiannya, tapi seberapa banyak like dan seviral apa informasi itu. Pengetahuan dan informasi tak semurni dulu kawan." Katamu lagi, dahimu masih berkerut, kau sedang berpikir, tapi bukan tentang apa yang kita bicarakan sekarang, tapi tentang tugas sekolah yang dua jam lagi harus dikumpul. 

"Jadi, apakah menurutmu, tak berpihak adalah betul-betul sebuah dosa?" tanyaku lagi, 

"Semua tergantung sudut pandangmu, ketika 'kebiasaan' dalam tatanan sosial masyarakat kita adalah sebuah hukum mutlak, bisa jadi ketidak berpihakan adalah sebuah 'dosa' dimata masyarakat, tapi diluar itu, kau punya keyakinan lain. Dan itu bukan sebuah dosa." Kau menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopmu. 

"Tapi, apakah kau yakin bahwa ketidak berpihakanmu adalah murni karena keyakinanmu itu, ataukah karena kau lebih memilih apatis agar tidak menjadi sosok yang dianggap tidak baik oleh salah satu pihak yang tak ingin kau dukung?" Kau melanjutkan percakapan dengan bertanya balik padaku. 

Aku terdiam sesaat, berusaha mencerna dengan baik apa yang kau maksudkan, dan apa tujuan sebenarnya dibalik pertanyaanmu itu. 

"Ketidak berpihakanku murni karena apa yang aku yakini, pun kalau aku terasing karena tidak memihak siapapun, aku tak peduli, apalagi kalau hanya dianggap tidak baik oleh salah satu dari mereka, ataupun oleh mereka semua, aku juga tidak peduli." Jawabku. 

"Kalau kau sudah begitu kukuh dengan apa yang kau yakini, kenapa kalimat tidak berpihak adalah dosa, kalimat yang lahir dari proses interaksi tidak sehat dari masyarakat membuatmu bimbang?" Kau kembali melempar pertanyaan setelah aku menyelesaikan kalimat terakhirku pada percakapan kita pagi itu, pagi yang mendung beberapa tahun silam. 

Dan seingatku, setelah itu, aku duduk dan mencerna lama apa yang baru saja kita perbicangkan.

Post a Comment