Kesimpulan

Table of Contents

Basineng, kebanyakan dari kita, sayapun mungkin terkadang, selalu terlalu cepat mengambil kesimpulan tentang apa yang secara sekilas terlihat. Kemarin aku berjalan-jalan ke sebuah festival pendidikan tengah kota, melihat interaksi, antara mereka yang senang untuk berbagi pengalaman serta pengetahuan dengan mereka yang senang untuk belajar banyak. 

Diantara banyak hiruk pikuk di festival itu, aku tertarik mengamati dua orang beda usia yang sedang bercakap di bangku permanen yang terbuat dari semen. Satunya terlihat lebih tua dengan tampilan kasual yang terkesan sangat santai, satunya lagi anak muda dengan usia yang mungkin masih pertengahan dua puluhan, berpakaian dengan lebih rapi, memakai jas dengan rambut klimis dan kacamata ala anak muda kekinian.

Kudengar mereka berbicara tentang politik, tentang interaksi sosial bermasyarakat, tentang tata krama, tentang adat ketimuran. Si anak muda selalu beretorika dengan mantap dengan sesekali dalam kalimatnya terselip kata asing, literally, basicly, which is, dan lain-lain. Sedangkan Si Tua berbicara dengan lebih santai, logat lokal yang natural, tanpa embel-embel istilah-istilah keren. 

Tapi Basineng, Setelah ikut menyimak, perhatianku lebih tertuju pada kata-kata si Tua. Kata-kata sederhana namun mencerminkan betapa dalam pengetahuan dan matangnya pengalaman yang dia telah lewati, begitu mudahnya saya memahami apa yang dia katakan, runut dan langsung ke pokok permasalahan. 

Sebaliknya, aku tidak begitu paham dengan apa yang dikatakan oleh si Anak muda, terlalu retorik, terlalu banyak embel-embel yang tidak perlu untuk dikatakan, selipan-selipan bahasa asing kadang berlebihan, aku sama sekali tidak merasa mendapatkan informasi dalam kalimat-kalimatnya selain cara berbicaranya yang mirip motivator ditelevisi.

Sementara mereka berdua berbincang, datang beberapa anak remaja umur lima belasan, taksirku. Mereka datang sambil menyalami kedua orang yang tadinya tengah berdiskusi. Tapi, ada yang kulihat begitu kontras, ketika si Tua menolak untuk disalami dengan cara yang berlebihan, si anak muda menyodorkan tangannya untuk disalami dengan cara yang mewah. Ketika si Tua menolak dipanggil dengan sebutan guru, si Anak muda ingin dipanggil guru.

Ketika anak-anak remaja umur lima belasan tersebut berbicara, si Tua mendengarkan dengan sabar tak menyela sampai akhir, namun si Anak muda sedikit berbeda, setiap kali dia merasa tidak setuju, dia lansung memotong pembicaraan, dan menyisipi kalimat-kalimatnya pada Cerita anak-anak tersebut.

Basineng, aku belajar banyak melihat interaksi mereka, pertama, mewah tidaknya balutan pakaian ataupun bagus tidaknya retorika, tidak pernah bisa menjadi alat ukur valid tentang taraf keilmuan seseorang. Kedua, aku akhirnya tahu bagaimana menilai orang yang betul-betul berilmu, dan orang yang seakan-akan punya banyak ilmu. 

Kalau suatu saat aku berprilaku seperti si Anak muda, ingatkan aku Basineng, bahwa sederhana dalam bersikap dan bertutur, tidak haus kehormatan adalah sikap bagi mereka yang berilmu.

Post a Comment