Lupa Monolog

Table of Contents
Tapi kurasa aku bukannya lupa cara bercerita, aku hanya lupa kepada siapa seharusnya aku bercerita. 
Basineng,

Entah ini bulan keberapa aku lupa bagaimana cara menumpahkan luapan perasaan yang selalu mengaduk-aduk di ruang amygdala otakku. Mungkin itu salah satu alasan aku tak pernah lagi menulis surat padamu Basineng. 

Aku lupa caranya bercerita, luapan perasaan selalu mendahului ritme kerja jemariku untuk menulis, menjadikannya kebas dan lumpuh. Menjadikan aliran perasaan itu berputar dan menumpuk didalam diriku. Menunggu waktu yang tepat untuk menciptakan lubang-lubang kecil yang berujung pada pecahnya pertahanan diriku Basineng. 

Aku selalu berkata kepada diriku sendiri bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja pada waktunya, kita hanya perlu bersabar dan bersyukur. Seperti yang selalu kau katakan padaku, bersyukur dan bersabar. Aku tak pernah ingkar dengan dua kata ini Basineng, tapi terkadang, aku menemukan bahwa segala kata dan kalimat penenang yang kau berikan padaku, termasuk kata sabar dan syukur ini menjadi antibiotik tanggung yang tak lagi berguna pada porsi sedikit, buncah perasaan ini layaknya bakteri yang terus berevolusi dan menginfeksi ruang rasa di hati dan otakku, semakin kuat menyerang sejalan dengan semakin kuatnya tameng rasa yang kubangun. 

Aku tak tahu dimana rasa ini akan bermuara, Basineng. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, bahwa bendungan yang kubangun untuk menampung segala perasaan yang tertumpah dari emosi negatif yang hadir karena ketidakpuasan ekspektasiku akan bisa terhadang. 

Nyatanya, aku sedang tidak baik-baik saja Basineng. Terkadang aku menemukan diriku berada disebuah rawa hitam yang siap menelan dan menenggelamkanku kedalam gelap dan dinginnya kedalaman air keruh. Aku sedang tidak baik-baik saja Basineng. 

Kamis, dipenghujung bulan.
Teman Baikmu, AL.

"Kau hanya lupa dimana harusnya bercerita kawan" Tulismu dalam pesan singkat yang kau kirimkan padaku pagi ini. Pesan yang kau tulis setelah membaca surat digital yang kukirimkan untukmu.

"Seperti yang kutulis disuratku Basineng, aku tidak lupa untuk bercerita padamu, aku hanya lupa caranya bercerita, luapan perasaan selalu mendahului ritme kerja jemariku untuk menulis" Balasku.

"Aku tidak berbicara tentang diriku kawan, aku hanya alternatif, aku bukan balasan atas pernyataanku sebelumnya" 

"Maksudnya?" Tanyaku singkat, tidak paham dengan kalimat yang baru saja kau kirimkan padaku. Aku selalu bercerita padamu Basineng, tentang keluh kesahku, tentang bahagia yang sedang singgah atau tentang rasa makanan yang kucibiri di kedai-kedai yang kita singgahi di waktu yang lalu.

"Aku hanya fana yang kau ajak bercerita, yang hanya bisa menjadi pelepas penat sementara dari luapan perasaan yang sedang mengaduk-aduk hati dan kepalamu, aku hanya jembatan yang menyulam kata untuk menunjukkan padamu kepada siapa kau seharusnya bercerita.

Di cerita-cerita sebelumnya, kau selalu bisa tenang dengan kalimat-kalimat yang kusampaikan, tanpa harus mencari lebih jauh kepada siapa seharusnya kau bercerita tentang semua keluh kesahmu, tentang semua luapan emosi yang membuatmu tidak baik-baik saja." Kali ini kau membalas dengan sangat panjang Basineng, butuh waktu bagiku untuk mencernanya. 

"Kau lupa dari mana aku mengutip setiap kata penenang yang kusuntikkan ke dalam telingamu" Lanjutmu.

Aku tertegun membaca sambungan pesan yang kau kirim agak berjeda dari pesanmu yang sebelumnya. 

"Kau lupa Tuhanmu kawan, kau lupa bercerita kepada-Nya. Kau selalu menjadikanku pilihan pertama dalam berbagi rasa dan resah, dan lupa bahwa aku hanya manusia yang tidak punya kuasa atas hatimu. Percakapan kita hanya bersifat sementara, karena aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bisa menjadi pendengarmu, dan sesekali menghibur dan memberikan petuah atau kalimat motivasi yang membuatmu tenang. 

Namun, hatimu, dan segala buncah dan riak didalamnya, kau harus memercayakannya kepada Dia yang memberimu kuasa untuk merasa. Berceritalah padanya, kau mungkin tak akan mendapatkan timbal balik layaknya ketika kita sedang berbagi cerita, namun, hatimu akan merasakannya. 

Mungkin ini terlalu abstrak bagimu kawan, tapi percayalah, tidak ada percakapan paling hidup dibanding percakapan satu arah antara kau dan Tuhanmu. Mungkin kau lupa bahwa monolog di sepertiga malam bisa menjadi jawaban atas semua resahmu, atas semua masalah yang kau hadapi." 

Aku tertegun untuk kesekian kalinya Basineng. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar membaca potongan terakhir pesan yang kau kirim. Aku lupa, kadang kau bisa menjadi sangat tidak tertebak. Kudapati ada genangan diujung mataku Basineng, sedikit memalukan. Tapi kurasa aku bukannya lupa cara bercerita, aku hanya lupa kepada siapa seharusnya aku bercerita. 


Foto oleh Ainun Najib

Post a Comment