George Floyd dan Teori Evolusi Darwin

Table of Contents
Siang ini terik. Tak ada satupun awan yang berkejaran di langit. Kau sedang duduk terdiam di bawah pohon rindang di sudut lapangan kompleks sekolah. Berberapa hari yang lalu kita memutuskan untuk mengunjungi kembali sekolah ini, sekolah yang menyimpan banyak kenangan tentang bagaimana kita bertumbuh dan memperbaharui diri. 

Tempat yang mengajarkan kita bahwa menjadi manusia terdidik lebih dari sekadar duduk diam dibalik kursi dan menurut apapun yang dikatakan oleh guru. Kau selalu bilang, proses belajar adalah proses dua arah, belajar bukan hanya mendengar dan mengiyakan. Belajar adalah meragukan, kebingungan, bertanya lalu sepaham. Jika hanya manut tanpa bertanya, kita tidak sedang belajar, kita sedang didikte. 

Aku masih ingat kalimat itu, kalimat yang keluar ketika kita berdiri di lorong sekolah, dihukum karena kau bertanya keabsahan teori evolusi Darwin. Kau kekeh mengatakan teori itu tidak benar kepada pak Amin, guru sejarah kita waktu itu, 

"karena jika kita berasal dari kera dan berevolusi mejadi sebaik-baik manusia yang sekarang, kenapa setelah jutaan tahun ada pada wujud ini, kita berhenti berevelosi?" Ucapmu kala itu. 

Aku hanya diam, dan bertanya-tanya kenapa aku juga harus dihukum berdiri di lorong sekolah hanya karena menyuruhmu berhenti berdebat dengan pak Amin.

"Aku ingat kita pernah menghabiskan banyak waktu di sini." Ucapmu ketika kusandarkan bahuku di sisi lain pohon tempatmu berteduh.

"Ya, terasa seperti kemarin." Balasku singkat.

"Iya, seperti waktu kita dihukum berdiri di lorong sekolah." Lanjutmu.

"George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun. Ia tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis yang menahannya." Ucapmu lirih. Aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba mengucapkan hal itu, potongan kalimat dari berita yang beberapa hari ini menjadi perbincangan hangat dunia, bahkan memicu banyak protes dan kericuhan di Amerika sana.

"Dia berkali-kali memohon untuk dilepaskan, dia kesakitan karena lehernya tertindih lutut polisi yang menahannya. Ia bahkan sempat menangis dan memanggil ibunya sesaat sebelum tewas. "Lututmu di leherku. Aku tidak bisa bernapas... Mama. Mama," Ucapmu mengikuti perkataan George sebelum ia tewas.

Aku tahu kau sangat sensitif dengan berita-berita seperti itu Basineng. Aku ingat kau pernah memukul anak kepala desa karena dia mengerjai anak baru disekolah, anak papua yang baru pindah kesekolah kita. Matanya lebam dan menangis pulang kerumahnya. Kau tak datang kesekolah selama dua minggu karena dihukum. 

"Kenapa agama, suku, latar belakang keluarga, strata sosial, warna kulit selalu menjadi kotak pemisah bagi kita satu sama lain. Menjadi pembatas yang selalu berhasil menjadi pemicu kebencian. Kenapa kita harus merasa berhak atas orang lain hanya karena hal-hal seperti seperti itu? Kenapa kita mudah merasa lebih baik dari golongan lain?" Suaramu bergetar, kau sedang menahan tekanan amarah yang kembali terusik karena berita kematian George Floyd, seseorang nun jauh disana yang bahkan kau tidak kenal.

Orang lain mungkin akan merasa heran melihatmu marah seperti itu Basineng, bahkan mungkin akan mengatakan kau terlalu berlebihan menanggapi berita. Tapi aku paham kenapa reaksimu seperti itu. Tidak banyak yang tahu, bahwa kemarahanmu itu berasal dari pengalaman hidupmu, dari perlakuan yang kau dapatkan sejak kecil. Menjadi anak albino dan hidup dilingkungan yang masyarakatnya berpikiran sempit membentukmu menjadi sosok yang sangat sensitif dengan isu agama, suku, latar belakang keluarga, strata sosial, dan warna kulit.

"Mungkin manusia tidak benar-benar berevolusi sepenuhnya kawan, mungkin yang berevolusi hanya fisik dan penampilan kita saja, dari kera berbulu tak berakal, menjadi sapiens seperti kita sekarang. Tapi, hati dan insting liar kera itu masih ada di sudut hati dan pikiran kita. Yang dengan mudahnya muncul ketika bersinggungan dengan warna kulit, agama dan latar belakang suku." Lanjutmu, sembari berdiri dan berjalan menuju gerbang. Kau sudah ingin pulang rupanya.

***



Post a Comment