Saturday, June 6, 2020

Kekeyi dan Budaya Perundungan (bully)

Hari ini lagi-lagi aku harus meleraimu Basineng. Sikap tempramentalmu sepertinya harus sedikit dipangkas. Aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan, kau selalu membela seseorang yang bahkan tidak kau kenal. Aku acap kali menegurmu, berusaha menyadarkanmu bahwa kau bukan Robin Hood, bukan Oliver Queen di serial Green Arrow yang punya kemampuan untuk membela setiap orang yang kau temui atas dasar kemanusiaan.

"Kau harus realistis Basineng, ini bukan dunia drama yang seringkali kau tonton di Netflix." Ucapku kesal sambil mengelus pipiku yang terkena tamparan ketika meleraimu.

"Apasih untungnya kau menghardik mereka untuk tidak mencemooh Kekeyi. Kau bahkan tidak kenal dengan dia. Dan dia bahkan tidak ada disana." Sambungku, sambil menatapnya tajam kepadamu, yang bahkan sama sekali tidak mencoba untuk mendengarkan apa yang kukatakan.

Kau masih diam, sembari merapikan kemejamu yang jadi lusuh dan berdebu karena bergelut dengan dua orang remaja tanggung di cafe tempat kita diusir barusan.

"Sepertinya kebiasaanmu menonton karakter vigilante di film superhero harus di kurangi, itu sedkiti banyak memengaruhi cara kerja otakmu." Ucapku sambil berjalan berusaha mengikutimu yang ternyata sudah beranjak pergi.

"Aku bukannya mau sok bersikap pahlawan kawan. Perundungan menjadi hal yang lumrah sekarang, dianggap bahan bercandaan, dianggap sebagai tren yang keren bagi mereka yang melakukan. Sebuah ritual untuk membuktikan bahwa suatu pribadi atau kelompok lebih baik dari yang lainnya." Ucapmu setelah berjalan pelan di taman kota tidak jauh dari cafe tadi. Sembari menikmati angin yang menghempas lembut kala kau sandarkan punggungmu di bawah bayang teduh pohon rindang di pinggir taman.

"Apa kau tahu apa hal yang paling berbahaya dalam menggerus moral kawan?" Tanyamu padaku, tanpa memalingkan matamu, hanya berfokus memandang langit yang abu-abu, redup tanpa ada kilau biru dari langit.

"Aku tidak tahu." jawabku singkat, menolak untuk berpikir keras untuk menanggapi pertanyaanmu yang terlalu filosofis. 

"Hal yang paling berbahaya adalah ketika kita menganggap bahwa apa yang merusak sebagai sebuah candaan, sebagai hal lumrah yang tidak perlu untuk dikhawatirkan. Hal yang paling berbahaya adalah ketika kita lalai dan lagi abai untuk bisa memahami bahwa hal-hal kecil seperti itu bisa berdampak besar bagi kehidupan seseorang."

"Kita takut menegur karena tidak mau dianggap lebai. Kita tidak mau dianggap sebagai outsider karena tidak ikut-ikutan memberikan komentar sinis. Kita menganggap Kekeyi sebagai sosok yang seringkali mencari sensasi agar bisa terkenal kembali setelah meredup dari viral pertamanya dengan make up balonnya. Dan itu kita gunakan sebagai pembenaran untuk mencemooh dan memberikan komentar sinis dan negatif kepadanya. Dan itu tidak benar kawan. Itu bukan sesuatu yang bisa kita biarkan, sampai pada akhirnya generasi kita dimasa mendatang memandang bahwa itu adalah hal yang lumrah. Menghancurkan mental orang lain bukan lagi dianggap sebagai sebuah kesalahan, malah dianggap sebagai sebuah tindakan yang heroik." Lanjutmu. Ku lihat air mukamu berubah, air muka yang selalau muncul ketika kau menahan marah. 

"Kita mungkin bahkan tak menyadari bahwa, kebanyakan dari mereka mencemooh bukan karena sensasinya. Tapi karena penampilan fisik yang dianggap tidak sesuai dengan standar mereka, ditambah dia melakukan hal-hal sensasional untuk mencari perhatian, seperti menambahkan pembenaran untuk mereka berlaku seenakknya dengan mental seseorang. Kita lupa bahwa Kekeyi bukan boneka, yang tidak akan merasa sakit ketika dihujat." 

"Sepertinya bukan kebiasaanku menonton film superhero dan vigilante yang harus di kurangi kawan, tapi porsi video girlband dan boyband korea yang selalu memberikan gambaran bahwa menjadi tampan rupawan, cantik dan lentik sebagai sebuah standar dalam berkarya." 

"Aku tidak membernarkan caranya mencari sensasi kawan, tapi aku juga tidak pernah sepakat ketika kita menjadikan kekurangan atau sensasi tersebut sebagai pembenaran untuk mencemooh." Lanjutmu. Kau menghela nafas lalu berdiri dan membersihkan celanamu yang menjadi tempat rumput-rumput kering menggantung. 

"Sama seperti aku tidak sepakat kalau sesuatu harus diselesaikan dengan bergelut, apapun alasannya." Sambungku, mencoba menyadarkanmu bahwa aku sepakat denganmu bahwa perudungan bukan hal bisa kita biarkan dan anggap sebagai sebuah candaan, seperti halnya melawan segala sesuatu dengan kekerasan bukanlah solusi terbaik yang seharusnya kita ambil.


Foto diunggah dari Google




Share:

0 komentar: