Perahu kayu

Table of Contents
Mereka terduduk di atas perahu kecil tanpa layar. Sekiranya bisa kayuhan itu berirama, menembus gemericik air yang pelan-pelan mengiringi tiap hasta laju perahu kayu. Namun mereka masih berputar, mencetak lingkar maya di atas riak sungai yang pelan-pelan mulai menguning diterpa bias matahari yang tenggelam diujung hari. 

Tak bisa laju kapal membawa mereka jauh, jika satu mengayuh ke barat, dan yang lain mengayuh ke selatan. Tak akan pernah mereka melihat Seihan, yang ada Tartarus menanti di bawah terik dan angin panas.

Mereka pulang ke titik awal. Mencari pecahan yang mungkin masih tersisa disela rerumputan setelah badai yang mengoyak satu persatu rajutan yang telah mereka buat selama bertahun-tahun.

Mereka tinggal di ujung dunia, di rumah mungil berbentuk setengah lingkaran, dibawah langit yang selalu tertutup awan kelabu. Kadang mereka menyebutnya kutub utara, tapi kebanyakan mereka berdua akan memanggilnya kampung yang dingin.

Di awal cerita mereka merasakan kehangatan di dalam rumah tersebut, saling bertukar binar di tengah gelap awan kelabu yang menggantung tinggi dilangit. Masa berlalu, waktu berputar dengan cepat, membuat mereka mual dan terhuyung karena tidak siap dengan cepatnya waktu berlari meninggalkan mereka. Tak sanggup mengejar, mereka terduduk.

Angin berganti, dingin yang mengigit seketika berubah menjadi panas yang menyengat, tak satupun dari keduanya menjadi nikmat untuk dipilih. Mereka saling memandang, mencoba mencari makna dari tiap gerak pupil mata yang tak lagi berani menatap dalam. Mereka saling berandai, mencoba mempermainkan takdir dengan khayal yang tak akan pernah mereka dapatkan. 

Kembali ketitik awal, mereka menyerah dengan khayal dan andai-andai yang begitu melenakan. Mereka terduduk, tanpa sengaja saling bersandar karena perjalanan yang begitu menguras tenaga. Lelah mendekatkan mereka, lalu lelap menyatukan mereka. Menangis dalam satu pelukan dingin, mereka tersadar. Andai-andai yang mereka kejar, semua khayal yang mereka inginkan, tak lebih dari sekadar jerat Lucifer yang penuh muslihat. 

Mereka lupa, jauh sebelum titik awal, mereka adalah dua entitas yang saling melengkapi satu sama lain, mereka adalah mimpi yang menyatu dan perlahan menjadi nyata.



Post a Comment