Jiwa yang merugi

Table of Contents

Basineng, aku akhir-akhir ini semakin takut mengingat perkara umur. Kita sudah berada pada masa pertengahan jalan hidup rata-rata umat Rasul. Kita sudah jauh menapak tangga usia, namun masih belum yakin arah langkah yang kita pijak, menuju awan mendekati langit, atau kebawah terkubur lumpur.

Kita sering luput. Sering jauh dari garis pembatas yang harusnya bisa menuntun kita semakin dekat dengan Sang Pencipta. Namun bebal dan merasa tak terganggu dengan setiap peringatan yang seringkali menggutik.

Aku dan kau belum uzur, namun entah mengapa malam ini, malam yang baru saja menumpahkan hujannya membuatku terduduk dan memenungkan setiap episode dari perjalanan yang telah kita tapaki. Seberapa sering jalan kita mengarah pada kebaikan, atau seberapa sering jalan itu membuat kita semakin jauh dari hakikat kita diciptakan.

Kita pernah berlomba untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Memimpikan nama besar dan bisa dikenal oleh orang banyak. Mencoba mengejar tujuan-tujuan yang telah kita tulis di dalam buku catatan dengan gambar artis sinetron yang kita beli di warung samping sekolah seharga lima ratus rupiah. Tapi kita tidak pernah benar-benar serius dalam menuliskan rencana kita dalam mengejar hari setelah raga kita membusuk termakan tanah menyisakan belulang. Kita luput.

Kita memang sibuk Basineng, mencari dunia. Mencari cara agar kita bisa bebas finansial di hari tua. Mencari cara agar kita bisa hidup tenang dan layak dimasa dimana anak-anak kita sudah sibuk dengan pekerjaan dan urusan mereka masing-masing.

Kita sadar, bahwa dunia yang kita pijak ini hanya sementara, hanya sebatas pesinggahan pengembara. Kita mahfum bahwa kehidupan kekal bukanlah disini. Namun entah mengapa hati yang mengingat itu, tak berdaya dihadapan dunia, raga kita tak kuasa mengikuti kebenaran yang dititipkan Tuhan pada nurani. Pikiran kita tak sanggup beriringan dengan kata hati.

Usia kita bertambah tiap harinya Basineng, yang artinya umur kita semakin berkurang.

Aku takut ketika jiwa kita perlahan ditarik, kita masih dalam keadaan merugi. Shalat yang belum sempurna, puasa sunnah yang belum rutin, sedekah hanya sebatas ada, tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tanah suci, semua itu adalah bentuk kerugian kita sebagai umat yang disayangi oleh Rasulullah.

Basineng, aku tak mau melepas jiwaku dalam keadaan merugi. Aku tak ingin memaksamu, tapi sebagai sahabatmu, aku ingin kita saling mengingatkan, kembali berpegang kepada wasiat agama, menyerahkan dunia pada Yang Kuasa, tidak menghina tuhan dengan mengkhawatirkan rezeki, menjadikan shalat sebagai yang utama, menjadikan pekerjaan dan segala usaha sebagai wadah mendekatkan diri pada Sang Pencipta.



Post a Comment