Monday, June 22, 2020

Pantai di Adelaide

Malakaji itu ada di bawah kaki gunung Lompo Battang. Terkenal dengan sebutan kota sejuk, suhu ideal untuk menikmati aroma khas pohon pinus tanpa harus menggigil kedinginan walau hanya memakai baju kaos untuk berjalan-jalan disore hari.

Kita menghabiskan masa-masa sekolah kita di sini Basineng. Masa-masa dimana kita banyak melakukan hal-hal konyol hanya karena rasa penasaran. Kau banyak menghabiskan waktumu membaca buku di bawah pohon kecapi samping musallah komplek sekolah. Sesekali kau akan memanjat satu dua dahan dan berbaring di atasnya, menikmati bacaanmu sembari menggigit buah kecapi yang asam. Aku selalu heran kenapa kau bisa tahan dengan rasanya.

Suatu ketika kau bertanya bagaimana rasanya bermain di pantai, sebuah pertanyaan yang juga tak bisa ku jawab. Waktu itu kita memang tak pernah ke pantai. Batas kecamatan adalah jarak terjauh yang bisa kita jelajah kala itu, selain kita memang masih anak-anak, nenek tak akan pernah memberikan kita izin untuk pergi jauh tanpa dia. Dan kita tahu, nenek tidak pernah mau pergi jauh dari rumahnya.

Buku-buku di perpustakaan sekolah tidak pernah bisa menjawab pertanyaan kita tentang pantai. Selain karena terbatas, buku-buku di perpustakaan sekolah kebanyakan berisi kumpulan buku-buku sejarah tua yang berisikan penjelasan tentang Pithecanthropus Paleojavanicus.

Kita selalu mendengar cerita tentang Bira, salah satu pantai terindah yang ada di Sulawesi Selatan. Namun lagi-lagi, kita hanya bisa membayangkannya lewat kata dan membangun sendiri gambaran pantai Bira di dalam kepala. Yang aku yakin, akan sangat berbeda dengan pantai Bira yang sesungguhnya.

Dan sampai akhirnya kita berpisah, kita tidak pernah menginjakkan kaki di tanah berpasir untuk sekedar melihat ombak yang saling berkejaran. 


***

Pantai Adelaide

Basineng, aku kembali menuliskan surat untukmu. Ku ingat waktu kita di masa lalu, waktu ketika kau berbicara banyak tentang pantai, tentang pasirnya yang putih, tentang ombak yang berkejaran, juga tentang perahu-perahu kecil yang bisa kita lihat dari kejauhan. Aku selalu percaya kau pandai bercerita, dan juga sangat detail dalam menyampaikan ceritamu. Namun, ketika kau berbicara tentang pantai, kulihat lidahmu tak seluwes itu.



Kita berteman sudah sangat lama, dan kita punya peran kita masing-masing. Aku selalu jadi pendengar dan kau yang bercerita. Kali ini biarkan aku yang bercerita, bukan untuk membuatmu cemburu ataupun mengambil peranmu dalam ruang pertemanan kita. 

Hari ini aku menemukan lagi satu hal yang membuatku jatuh cinta dengan Adelaide, pantai.


Salah satu berkah yang kudapatkan melanjutkan kuliah di Adelaide adalah pantainya yang eksotik serta aksesnya yang sangat mudah dari kota. Di surat ini aku akan menceritakan enam pantai yang sangat aku sukai di Adelaide. Semoga kau menyukainya.


Glenelg

Glenelg adalah pantai yang paling sering kudatangi Basineng, aksesnya sangat mudah. Hanya dengan naik tram atau bus dari city ke arah barat daya, kurang dari 30 menit kita sudah akan sampai tepat di depan pantai dengan pemandangan yang eksotis. Kau bisa berjalan-jalan di jetty Glenelg untuk menikmati deru ombak pantai atau sekadar melihat ikan di yang saling berkejaran di pantai.



Di kelilingi kafe yang meyajikan banyak pilihan makanan, menjadikan Glenelg adalah pilihan paling tepat untuk menghabiskan waktu lowong di tengah-tengah kesibukan kuliah. Selain tempatnya asik, aksesnya juga sangat mudah dan cepat.

Brighton

Brighton adalah pantai yang mirip dengan Glenelg, jaraknya juga hanya sekitar 10 menit dari Glenelg. Pemandangan yang di sajikan di Brighton juga kurang lebih sama dengan Glenelg. 

Yang membuat Brighton istimewa adalah War Memorial Archnya. Sebuah simbol yang tiap tahun digunakan sebagai lokasi untuk mengadakan Dawn Services pada perayaan Anzac Day untuk menghormati para pejuang yang gugur pada misi militer di Galepoli, Turki.

Selain itu, Brighton Jetty merupakan Jetty yang telah berdiri lebih dari 100 tahun, didirikan pada tahun 1886 dan mengalami perombakan setelah mengalami kerusakan parah karena badai pad atahun 1994.

Henley

Basineng, jika kau ingin menikmati pantai di daerah barat Adelaide, datanglah ke Henley beach. Suasana yang nyaman, lapangan berumput yang luas untukmu berbaring dan menatap langit, kafe dan restoran berkualitas, kentang goreng dan es krim adalah hal-hal yang akan kau temui begitu menjejakkan kaki di Henley beach.

Akses ke Henley sedikit lebih lama dan hanya bisa menggunakan bus dan kendaraan pribadi. Belum ada jalur tram terakhir kali aku ke pantai ini Basineng. 

Semaphore

Pantai Semaphore adalah salah satu pantai yang sering kudatangi Basineng, terutama pada saat kite festival di musim panas. Pada saat fesitval kau akan melihat ratusan layang-layang dengan berbagai warna, ukuran dan bentuk yang terbang tertiup angin menghiasi langit biru di semaphore. 

Pantai di arah Barat Laut city ini merupakan pantai yang juga menyajikan pemandangan eksotis kolaborasi pantai dan bangunan-bangunan tua yang mengelilinya. Menjadi salah satu destinasi terbaik jika menyukai panorama dan pemandangan gedung-gedung tua dengan latar pantai dan senja.

Port Noarlunga

Selanjutnya adalah pantai Port Noarlunga. Pantai yang berada di selatan barat daya city ini menyajikan pemandangan yang eksotis. Kau bisa menikmati indahnya pantai yang biru di atas bukit di sekitar pantai. Setiap tahun di sini akan ada fesitval sand sculpture, festival yang menyajikan puluhan patung pasir yang dibuat oleh para seniman psir di Adelaide.


Aku tahu kau tidak pandai menyelam Basineng, tapi ku harap kau mau melakukannya di Port Noarlunga ini. Lokasi menyelam di Port Noarlunga merupakan salah satu yang menurutku sangat indah.



Port Willunga

Jika kau tanya pantai apa yang menjadi pantai favoritku Basineng, maka aku menjawab akan menjawab Port Willunga. Ini merupakan pantai yang juga berada di selatan barat daya city, namun memakan waktu yang sedikit lebih lama, sekitar 1 jam 30 menit dari city jika menggunakan bus. kau bisa menghemat 30 menit waktumu jika menggunakan kendaraan pribadi. 



Port Willunga in di kelilingi bukit putih yang eksotis Basineng. Kau akan menyaksikan pemandangan yang begitu spektakuler ketika menginjakkan kaki di pantai ini. Datanglah menjelang senja Basineng. Nikmati kilau emas jingga di pintu gua-gua kecil di bawah bukit-bukit kecil di sekitar pantai. Aku selalu suka dengan pantai ini. 



Basineng, ku harap kau sekarang bisa sedikit lebih tahu tentang pantai kepada teman-teman kita di Malakaji. Aku akan kembali bercerita padamu tentang Adelaide. Nanti.

Share:

Monday, June 15, 2020

Anzac Day Adelaide

Kemarau di Malakaji selalu berbeda di bulan Agustus. Bulan itu pohon-pohon cengkeh terlihat indah dengan warna hijau kemerahan yang memanjakan mata. Bunga cengkeh yang bertebaran di tanah, aroma khas dari cengkeh yang mengering, hingga gradasi warna merah di pohon-pohon cengkeh adalah hal yang selalu kita sukai ketika bulan Agustus menyapa.

Namun ada satu hal yang selalu kita hindari saat Agustus, Basineng. Panen. Kita memang penyuka keindahan gradasi warna cengkeh dan wangi khasnya. Tapi memanen cengkeh di atas pohonnya yang tinggi bukanlah kegiatan favorit kita. Selain karena kita berdua tidak pernah suka dengan ketinggian, memanen cengkeh berarti kita harus berada di kebun seharian. Dan itu juga berarti, kita akan kehilangan momen untuk menikmati perayaan hari kemerdekaan di lapangan desa dekat rumah. 

Perayaan hari kemerdekaan di Malakaji seperti halnya di desa atau kelurahan lain. Semarak permainan tradisional, anak-anak pramuka berkemah di lapangan desa, pawai dan lomba gerak jalan adalah sederet kegiatan yang tidak pernah mau kita lewatkan. 

Basineng, kau sangat suka riuh sorak di lapangan ketika permainan tradisional sudah dimulai. Kau akan tergelak melihat tingkah konyol bapak-bapak berkumis mengejar bola sambil memakai daster, atau para remaja yang saling jatuh tindih sambil berusaha memanjat pohon pinang yang telah diolesi pelumas, berlomba untuk memperebutkan hadiah di ujung pinang.

Aku ingat Basineng, semua semarak hari perayaan kemerdekaan di bulan Agustus. Bulan dimana kita selalu diam-diam keluar malam agar bisa ke lapangan desa, menghabiskan uang yang kita tabung sekeping dua keping untuk membeli kacang rebus dan sebutir telur asin, lalu duduk di pinggir lapangan sambil memperhatikan orang-orang berlalu lalang dengan semua kesibukan mereka.


***

Anzac Day in Adelaide

Basineng, hari ini salah satu hari tercerah Adelaide di bulan April. Aku dan Randi akan pergi ke city untuk melihat perayaan Anzac Day, sebuah perayaan yang tiap tahun dilaksanakan setiap tanggal 25 April. 



Anzac Day ini merupakan hari yang menandai pendaratan pasukan Australia dan Selandia Baru di Gallipoli, Turki. Ini merupakan aksi militer terbesar yang melibatkan tentara Australia dan Selandia Baru pada saat Perang Dunia Pertama.

Sebenarnya hari ini merupakan hari berbelasungkawa Basineng. Ribuan orang kehilangan jiwanya. 60.000 tentara Turki dan 50.000 pasukan sekutu, termasuk 8.709 tentara Australia dan 2.7000 tentara Selandia Baru pada aksi militer ini.

Basineng, apa kau tahu bahwa aksi militer ini merupakan kekalahan yang besar bagi militer Australia dan sekutunya. Dan ini tentunya menjadi kerugian yang besar bagi Australia karena pada saat itu Australia masih termasuk negara yang baru. 

Tapi peristiwa tersebut tetap memainkan peranan penting bagi Australia dan Selandia Baru, terutama untuk menentukan identitas nasional keduanya. Seperti yang selalu kau katakan Basineng, kadang kekalahan bisa menjadi cerminan bagi kita, sejauh apa kita telah melangkah, dan sejauh apa kita akan melangkah kedepannya.

Apa kau ingat malam renungan yang tiap Agustus kita lakukan di tanggal 17 dini hari? Itu semacam tradisi dan kita rutin melakukannya ketika ikut kegiatan perkemahan sebagai seorang anak pramuka. Ini sebagai salah satu kegiatan untuk menghormati jasa-jasa pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan kita.

Seperti halnya kita yang melakukan tradisi tersebut. Di sini, di Adelaide, mereka juga punya tradisi mereka sendiri.

Dawn Service


Dawn Service ini seperti halnya malam renungan yang sering kita lakukan di tanggal 17 dini hari. Pada saat subuh hari atau fajar orang-orang berkumpul untuk mengenang para tentara yang terlibat dalam peristiwa Anzac dan melakukan hening cipta selama kurang lebih satu menit.

The Last Post


Pada akhir kegiatan dawn service, akan ada terompet yang dibunyikan sebagai simbol bahwa bahwa tugas orang yang meninggal tersebut telah selesai, dan saatnya mereka beristirahat dengan tenang. 

Minute of Silence


Setelah The Last Post, ada Minute of Silence. Kita menyebutnya mengheningkan cipta Basineng. Ini merupakan moment satu menit yang menjadi pengingat bagi mereka yang hadir pada perayaan ini dan menunjukkan rasa hormat dan syukur akan pengabdian para tentara.

Gunfire Breakfast


"Gunfire" merupakan istilah yang sering dipakai dalam militer Basineng. Merujuk pada sajian teh yang diberikan kepada tentara di pagi hari.

Pada hari Anzac Day ini, banyak organisasi atau komunitas yang mengadakan sarapan bersama setelah rentetan kegiatan Dawn Service dengan menyajikan menu tradisional seperti bacon, telur, sosis, kopi, teh atau susu dengan rum.

Pawai Anzac

Basineng, apa kau ingat kegiatan pawai gerak jalan yang sering diadakan setiap tanggal 15 aatu 16 Agustus di Malakaji? Setiap peringatan Anzac Day mereka juga punya pawai. Dan aku sangat suka melihatnya, dan aku yakin kau pun begitu andai saja kau ada disini.




Pada awalnya pawai ini hanya untuk mereka para veteran perang dunia pertama, namun dengan berjalannya waktu, mereka yang pernah berjuang di daerah konflik dan membantu operasi perdamaian atau kegiatan kemanusiaan juga bisa ikut berpawai.




Permainan Two Up


Kau tidak suka berjudi Basineng. Tapi apa kau tahu bahwa salah satu tradisi perayaan Anzac Day yang banyak digemari adalah permainan Two Up? 

Sebuah permainan judi Australia yang bisa di lakukan di luar tempat permainan judi. Aku tak tahu persis cara mainnya Basineng. Mungkin kau bisa mencarinya di internet.

Biskuit Anzac


Dahulu istri para tentara membuat biskuit menggunakan gandum atau tepung tanpa menggunakan telur agar tahan lama. Dan hasilnya adalah biskuit keras dan susah untuk dikunyah. Bahkan dahulu katanya para tentara harus menumbuknya atau membuatnya menjadi bubur agar bisa dimakan. 

Dan pada perayaan Anzac Day, banyak organisasi veteran perang yang membuat biskuit ini dan menjualnya untuk penggalangan dana.

Rosemary


Basineng, rosemary adalah bunga yang tumbuh secara liar di semenanjung Gallipoli, Turki. Sebuah bunga yang menjadi pengingat para pejuang aksi militer di Turki. Pada saat Anzac day, banyak veteran atau peserta pawai yang menggunakan rangkaian rosemary di kerah baju mereka. 

Footy (Sepak Bola ala Australia) dan Siarah


Selain kegiatan di atas, pada perayaan Anzac Day masyarakat Australian melakukan siarah ke berbagai tempat yang terkait dengan sejarah perang. Dan pergi menonton Footy yang khusus di adakan untuk hari Anzac Day ini. Footy ini merupakan pertandingan footy terbesar diluar musim kompetisi.

Basineng, aku sangat senang berada di perayaan ini, bukan hanya karena Anzac Day adalah budaya yang baru aku temui di Australia ini. Tapi karena ini mengingatkanku kembali pada masa beberapa tahun silam, ketika kau dan aku tenggelam dalam sorak riuh perayaan hari kemerdekaan di Malakaji. Aku merindukan masa itu. Dan semoga kita bisa bertemu kembali, menikmati perayaan yang sama, dengan suasana yang lebih baik.


Referensi: Republika.co.id
Share:

Tuesday, June 9, 2020

Sunday Market Adelaide

Kita paling benci diajak ke pasar Basineng.

Dulu kita selalu diam-diam lari dan bersembunyi di kebun cengkeh belakang rumah jika akan diajak ke pasar. Kau selalu benci tanah becek, dan aku tidak suka bau ikan yang bercampur bau tembakau. Di beberapa kesempatan kita bisa lari dari kewajiban kita untuk membantu nenek membawakan barang belanjaannya, namun di banyak kesempatan lain kita pada akhirnya akan mengekor di belakangnya sambil menggendong dua atau tiga kantong kresek yang biasanya berisi ikan kering, sayur labu, lammang dan kebutuhan dapur lainnya.

Kita selalu senang ketika lewat di jajaran penjual mainan yang berada di lorong ketiga arah kanan dari gerbang timur pasar. Kita hanya bisa melihat-lihat, sesekali memegang sembari tersenyum kecut kepada penjualnya yang memasang muka sinis melihat kelakuan kita. Dia mungkin sudah tahu, bahwa kemampuan kita hanya sebatas melihat mainan-mainan itu, membeli mainan tidak pernah masuk kedalam agenda kita ke pasar.

Aku ingat kita pernah nekat mencuri sekeping dua keping dari tabungan Sabanong, teman sekamar kita di rumah nenek. Kita sangat ingin membeli mainan robot berlampu warna warni, dengan stiker bertuliskan Voltron di badan mainan robot itu. Yang pada akhirnya, uang tersebut kita gunakan untuk membeli buku Juz Amma karena takut masuk neraka. Sayangnya, buku Juz Amma itu tidak pernah sekalipun kita baca, yang ku ingat malah Sabanong yang tiap subuh membacanya.


***



Basineng, hari ini aku ingin bercerita tentang rutinitasku setiap hari minggu.

Sunday Market Adelaide

Bulan ini sudah awal musim semi di Adelaide, tapi sisa-sisa musim dingin masih melekat di setiap inci kulitku. Tapi mau tidak mau aku harus bangun dan berbenah Basineng. Aku dan Randi, teman satu unitku, akan pergi ke daerah Brighton untuk mengunjungi Sunday Market, pasar tradisional ala Ausie yang selalu menjadi tempat perburuan kami setiap hari minggu. Tapi jangan bayangkan pasar di sini akan sama bau dan beceknya dengan Pasar Malakaji yang selalu kita datangi bersama nenek di masa yang lalu. Disini tak ada bau amis ikan kering bercampur tembakau. Suasana pasar disini bersih, tidak ada genangan air keruh bercampur sisik ikan dan potongan pelepah daun pisang sisa bungkus tempe.




Sunday market ini selalu menjadi favorit bagi mahasiswa Indonesia yang ada di Adelaide, karena selain harganya yang jauh lebih murah di bandingkan berbelanja ke mini market, disini kami bisa melakukan kebiasaan ibu-ibu legend Indonesia, membeli pakaian bekas yang berkelas dan menawar harga, walaupun untuk hal menawar harga jangan sering-sering dilakukan karena orang sini sangat tidak suka jualan mereka ditawar. Di Sunday Market ini tersedia banyak jenis jualan, mulai dari sayur mayur dan kebutuhan dapur sampai pada buku-buku bekas berkualitass dengan harga miring. Sebagai mahasiswa penganut "save your money for next year road trip" garis keras, berbelanja di Sunday Market untuk kebutuhan seminggu adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh terlewatkan. 

Di South Australia, khususnya di Adelaide ada banyak lokasi Sunday Market yang bisa menjadi pilihan kalian. Main North Road (Gepps Cross), Rose Terrace (Adelaide Showground), atau Fullarton Rd -dan masih banyak lagi- merupakan pilihan tempat yang bisa kalian kunjungi. 

Aku paling suka berburu buku bekas di Sunday Market, Basineng. Hanya dengan $5 dollar aku bisa mendapatkan banyak buku dalam satu kardus. Aku bahkan pernah membeli tujuh seri Novel Harry Potter dengan harga kurang dari $15. Aku ingat kau suka dengan Harry Potter, film masa kecil kita yang sangat ingin kau baca novelnya. Yang pada waktu itu membelinya adalah hal mustahil, selain karena harganya yang sangat mahal, di Malakaji tidak ada toko buku. Mungkin itu alasan kenapa pengetahuan kita hanya sebatas buku lusuh yang ada di perpustakaan sekolah.

Selain buku, aku sangat suka berburu buah di Sunday Market, terutama cery dan anggur tanpa biji (Seedless Grape). Buah kelas atas yang ketika di Indonesia kita harus menabung untuk membelinya karena harganya yang mahal. Kau tahu Basineng, setelah mencoba buah cery disini, aku semakin yakin bahwa buah cery di kue ulang tahun yang sering kita makan dulu bukanlah buah cery, sepertinya itu hanya gula berbentuk cery.

Harus kuakhiri ceritaku sampai disini Basineng, kami sudah akan berangkat, aku harus menyiapkan keranjang belanja untuk ke Sunday Market. Akan ku temui kau di cerita selanjutnya.


Share:

Saturday, June 6, 2020

Kekeyi dan Budaya Perundungan (bully)

Hari ini lagi-lagi aku harus meleraimu Basineng. Sikap tempramentalmu sepertinya harus sedikit dipangkas. Aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan, kau selalu membela seseorang yang bahkan tidak kau kenal. Aku acap kali menegurmu, berusaha menyadarkanmu bahwa kau bukan Robin Hood, bukan Oliver Queen di serial Green Arrow yang punya kemampuan untuk membela setiap orang yang kau temui atas dasar kemanusiaan.

"Kau harus realistis Basineng, ini bukan dunia drama yang seringkali kau tonton di Netflix." Ucapku kesal sambil mengelus pipiku yang terkena tamparan ketika meleraimu.

"Apasih untungnya kau menghardik mereka untuk tidak mencemooh Kekeyi. Kau bahkan tidak kenal dengan dia. Dan dia bahkan tidak ada disana." Sambungku, sambil menatapnya tajam kepadamu, yang bahkan sama sekali tidak mencoba untuk mendengarkan apa yang kukatakan.

Kau masih diam, sembari merapikan kemejamu yang jadi lusuh dan berdebu karena bergelut dengan dua orang remaja tanggung di cafe tempat kita diusir barusan.

"Sepertinya kebiasaanmu menonton karakter vigilante di film superhero harus di kurangi, itu sedkiti banyak memengaruhi cara kerja otakmu." Ucapku sambil berjalan berusaha mengikutimu yang ternyata sudah beranjak pergi.

"Aku bukannya mau sok bersikap pahlawan kawan. Perundungan menjadi hal yang lumrah sekarang, dianggap bahan bercandaan, dianggap sebagai tren yang keren bagi mereka yang melakukan. Sebuah ritual untuk membuktikan bahwa suatu pribadi atau kelompok lebih baik dari yang lainnya." Ucapmu setelah berjalan pelan di taman kota tidak jauh dari cafe tadi. Sembari menikmati angin yang menghempas lembut kala kau sandarkan punggungmu di bawah bayang teduh pohon rindang di pinggir taman.

"Apa kau tahu apa hal yang paling berbahaya dalam menggerus moral kawan?" Tanyamu padaku, tanpa memalingkan matamu, hanya berfokus memandang langit yang abu-abu, redup tanpa ada kilau biru dari langit.

"Aku tidak tahu." jawabku singkat, menolak untuk berpikir keras untuk menanggapi pertanyaanmu yang terlalu filosofis. 

"Hal yang paling berbahaya adalah ketika kita menganggap bahwa apa yang merusak sebagai sebuah candaan, sebagai hal lumrah yang tidak perlu untuk dikhawatirkan. Hal yang paling berbahaya adalah ketika kita lalai dan lagi abai untuk bisa memahami bahwa hal-hal kecil seperti itu bisa berdampak besar bagi kehidupan seseorang."

"Kita takut menegur karena tidak mau dianggap lebai. Kita tidak mau dianggap sebagai outsider karena tidak ikut-ikutan memberikan komentar sinis. Kita menganggap Kekeyi sebagai sosok yang seringkali mencari sensasi agar bisa terkenal kembali setelah meredup dari viral pertamanya dengan make up balonnya. Dan itu kita gunakan sebagai pembenaran untuk mencemooh dan memberikan komentar sinis dan negatif kepadanya. Dan itu tidak benar kawan. Itu bukan sesuatu yang bisa kita biarkan, sampai pada akhirnya generasi kita dimasa mendatang memandang bahwa itu adalah hal yang lumrah. Menghancurkan mental orang lain bukan lagi dianggap sebagai sebuah kesalahan, malah dianggap sebagai sebuah tindakan yang heroik." Lanjutmu. Ku lihat air mukamu berubah, air muka yang selalau muncul ketika kau menahan marah. 

"Kita mungkin bahkan tak menyadari bahwa, kebanyakan dari mereka mencemooh bukan karena sensasinya. Tapi karena penampilan fisik yang dianggap tidak sesuai dengan standar mereka, ditambah dia melakukan hal-hal sensasional untuk mencari perhatian, seperti menambahkan pembenaran untuk mereka berlaku seenakknya dengan mental seseorang. Kita lupa bahwa Kekeyi bukan boneka, yang tidak akan merasa sakit ketika dihujat." 

"Sepertinya bukan kebiasaanku menonton film superhero dan vigilante yang harus di kurangi kawan, tapi porsi video girlband dan boyband korea yang selalu memberikan gambaran bahwa menjadi tampan rupawan, cantik dan lentik sebagai sebuah standar dalam berkarya." 

"Aku tidak membernarkan caranya mencari sensasi kawan, tapi aku juga tidak pernah sepakat ketika kita menjadikan kekurangan atau sensasi tersebut sebagai pembenaran untuk mencemooh." Lanjutmu. Kau menghela nafas lalu berdiri dan membersihkan celanamu yang menjadi tempat rumput-rumput kering menggantung. 

"Sama seperti aku tidak sepakat kalau sesuatu harus diselesaikan dengan bergelut, apapun alasannya." Sambungku, mencoba menyadarkanmu bahwa aku sepakat denganmu bahwa perudungan bukan hal bisa kita biarkan dan anggap sebagai sebuah candaan, seperti halnya melawan segala sesuatu dengan kekerasan bukanlah solusi terbaik yang seharusnya kita ambil.


Foto diunggah dari Google




Share:

Wednesday, June 3, 2020

George Floyd dan Teori Evolusi Darwin

Siang ini terik. Tak ada satupun awan yang berkejaran di langit. Kau sedang duduk terdiam di bawah pohon rindang di sudut lapangan kompleks sekolah. Berberapa hari yang lalu kita memutuskan untuk mengunjungi kembali sekolah ini, sekolah yang menyimpan banyak kenangan tentang bagaimana kita bertumbuh dan memperbaharui diri. 

Tempat yang mengajarkan kita bahwa menjadi manusia terdidik lebih dari sekadar duduk diam dibalik kursi dan menurut apapun yang dikatakan oleh guru. Kau selalu bilang, proses belajar adalah proses dua arah, belajar bukan hanya mendengar dan mengiyakan. Belajar adalah meragukan, kebingungan, bertanya lalu sepaham. Jika hanya manut tanpa bertanya, kita tidak sedang belajar, kita sedang didikte. 

Aku masih ingat kalimat itu, kalimat yang keluar ketika kita berdiri di lorong sekolah, dihukum karena kau bertanya keabsahan teori evolusi Darwin. Kau kekeh mengatakan teori itu tidak benar kepada pak Amin, guru sejarah kita waktu itu, 

"karena jika kita berasal dari kera dan berevolusi mejadi sebaik-baik manusia yang sekarang, kenapa setelah jutaan tahun ada pada wujud ini, kita berhenti berevelosi?" Ucapmu kala itu. 

Aku hanya diam, dan bertanya-tanya kenapa aku juga harus dihukum berdiri di lorong sekolah hanya karena menyuruhmu berhenti berdebat dengan pak Amin.

"Aku ingat kita pernah menghabiskan banyak waktu di sini." Ucapmu ketika kusandarkan bahuku di sisi lain pohon tempatmu berteduh.

"Ya, terasa seperti kemarin." Balasku singkat.

"Iya, seperti waktu kita dihukum berdiri di lorong sekolah." Lanjutmu.

"George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun. Ia tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis yang menahannya." Ucapmu lirih. Aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba mengucapkan hal itu, potongan kalimat dari berita yang beberapa hari ini menjadi perbincangan hangat dunia, bahkan memicu banyak protes dan kericuhan di Amerika sana.

"Dia berkali-kali memohon untuk dilepaskan, dia kesakitan karena lehernya tertindih lutut polisi yang menahannya. Ia bahkan sempat menangis dan memanggil ibunya sesaat sebelum tewas. "Lututmu di leherku. Aku tidak bisa bernapas... Mama. Mama," Ucapmu mengikuti perkataan George sebelum ia tewas.

Aku tahu kau sangat sensitif dengan berita-berita seperti itu Basineng. Aku ingat kau pernah memukul anak kepala desa karena dia mengerjai anak baru disekolah, anak papua yang baru pindah kesekolah kita. Matanya lebam dan menangis pulang kerumahnya. Kau tak datang kesekolah selama dua minggu karena dihukum. 

"Kenapa agama, suku, latar belakang keluarga, strata sosial, warna kulit selalu menjadi kotak pemisah bagi kita satu sama lain. Menjadi pembatas yang selalu berhasil menjadi pemicu kebencian. Kenapa kita harus merasa berhak atas orang lain hanya karena hal-hal seperti seperti itu? Kenapa kita mudah merasa lebih baik dari golongan lain?" Suaramu bergetar, kau sedang menahan tekanan amarah yang kembali terusik karena berita kematian George Floyd, seseorang nun jauh disana yang bahkan kau tidak kenal.

Orang lain mungkin akan merasa heran melihatmu marah seperti itu Basineng, bahkan mungkin akan mengatakan kau terlalu berlebihan menanggapi berita. Tapi aku paham kenapa reaksimu seperti itu. Tidak banyak yang tahu, bahwa kemarahanmu itu berasal dari pengalaman hidupmu, dari perlakuan yang kau dapatkan sejak kecil. Menjadi anak albino dan hidup dilingkungan yang masyarakatnya berpikiran sempit membentukmu menjadi sosok yang sangat sensitif dengan isu agama, suku, latar belakang keluarga, strata sosial, dan warna kulit.

"Mungkin manusia tidak benar-benar berevolusi sepenuhnya kawan, mungkin yang berevolusi hanya fisik dan penampilan kita saja, dari kera berbulu tak berakal, menjadi sapiens seperti kita sekarang. Tapi, hati dan insting liar kera itu masih ada di sudut hati dan pikiran kita. Yang dengan mudahnya muncul ketika bersinggungan dengan warna kulit, agama dan latar belakang suku." Lanjutmu, sembari berdiri dan berjalan menuju gerbang. Kau sudah ingin pulang rupanya.

***


Rest In Peace



Share:

Thursday, May 28, 2020

Lupa Monolog

Tapi kurasa aku bukannya lupa cara bercerita, aku hanya lupa kepada siapa seharusnya aku bercerita. 


Basineng,

Entah ini bulan keberapa aku lupa bagaimana cara menumpahkan luapan perasaan yang selalu mengaduk-aduk di ruang amygdala otakku. Mungkin itu salah satu alasan aku tak pernah lagi menulis surat padamu Basineng. 

Aku lupa caranya bercerita, luapan perasaan selalu mendahului ritme kerja jemariku untuk menulis, menjadikannya kebas dan lumpuh. Menjadikan aliran perasaan itu berputar dan menumpuk didalam diriku. Menunggu waktu yang tepat untuk menciptakan lubang-lubang kecil yang berujung pada pecahnya pertahanan diriku Basineng. 

Aku selalu berkata kepada diriku sendiri bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja pada waktunya, kita hanya perlu bersabar dan bersyukur. Seperti yang selalu kau katakan padaku, bersyukur dan bersabar. Aku tak pernah ingkar dengan dua kata ini Basineng, tapi terkadang, aku menemukan bahwa segala kata dan kalimat penenang yang kau berikan padaku, termasuk kata sabar dan syukur ini menjadi antibiotik tanggung yang tak lagi berguna pada porsi sedikit, buncah perasaan ini layaknya bakteri yang terus berevolusi dan menginfeksi ruang rasa di hati dan otakku, semakin kuat menyerang sejalan dengan semakin kuatnya tameng rasa yang kubangun. 

Aku tak tahu dimana rasa ini akan bermuara, Basineng. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, bahwa bendungan yang kubangun untuk menampung segala perasaan yang tertumpah dari emosi negatif yang hadir karena ketidakpuasan ekspektasiku akan bisa terhadang. 

Nyatanya, aku sedang tidak baik-baik saja Basineng. Terkadang aku menemukan diriku berada disebuah rawa hitam yang siap menelan dan menenggelamkanku kedalam gelap dan dinginnya kedalaman air keruh. Aku sedang tidak baik-baik saja Basineng. 

Kamis, dipenghujung bulan.
Teman Baikmu, AL.

"Kau hanya lupa dimana harusnya bercerita kawan" Tulismu dalam pesan singkat yang kau kirimkan padaku pagi ini. Pesan yang kau tulis setelah membaca surat digital yang kukirimkan untukmu.

"Seperti yang kutulis disuratku Basineng, aku tidak lupa untuk bercerita padamu, aku hanya lupa caranya bercerita, luapan perasaan selalu mendahului ritme kerja jemariku untuk menulis" Balasku.

"Aku tidak berbicara tentang diriku kawan, aku hanya alternatif, aku bukan balasan atas pernyataanku sebelumnya" 

"Maksudnya?" Tanyaku singkat, tidak paham dengan kalimat yang baru saja kau kirimkan padaku. Aku selalu bercerita padamu Basineng, tentang keluh kesahku, tentang bahagia yang sedang singgah atau tentang rasa makanan yang kucibiri di kedai-kedai yang kita singgahi di waktu yang lalu.

"Aku hanya fana yang kau ajak bercerita, yang hanya bisa menjadi pelepas penat sementara dari luapan perasaan yang sedang mengaduk-aduk hati dan kepalamu, aku hanya jembatan yang menyulam kata untuk menunjukkan padamu kepada siapa kau seharusnya bercerita.

Di cerita-cerita sebelumnya, kau selalu bisa tenang dengan kalimat-kalimat yang kusampaikan, tanpa harus mencari lebih jauh kepada siapa seharusnya kau bercerita tentang semua keluh kesahmu, tentang semua luapan emosi yang membuatmu tidak baik-baik saja." Kali ini kau membalas dengan sangat panjang Basineng, butuh waktu bagiku untuk mencernanya. 

"Kau lupa dari mana aku mengutip setiap kata penenang yang kusuntikkan ke dalam telingamu" Lanjutmu.

Aku tertegun membaca sambungan pesan yang kau kirim agak berjeda dari pesanmu yang sebelumnya. 

"Kau lupa Tuhanmu kawan, kau lupa bercerita kepada-Nya. Kau selalu menjadikanku pilihan pertama dalam berbagi rasa dan resah, dan lupa bahwa aku hanya manusia yang tidak punya kuasa atas hatimu. Percakapan kita hanya bersifat sementara, karena aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bisa menjadi pendengarmu, dan sesekali menghibur dan memberikan petuah atau kalimat motivasi yang membuatmu tenang. 

Namun, hatimu, dan segala buncah dan riak didalamnya, kau harus memercayakannya kepada Dia yang memberimu kuasa untuk merasa. Berceritalah padanya, kau mungkin tak akan mendapatkan timbal balik layaknya ketika kita sedang berbagi cerita, namun, hatimu akan merasakannya. 

Mungkin ini terlalu abstrak bagimu kawan, tapi percayalah, tidak ada percakapan paling hidup dibanding percakapan satu arah antara kau dan Tuhanmu. Mungkin kau lupa bahwa monolog di sepertiga malam bisa menjadi jawaban atas semua resahmu, atas semua masalah yang kau hadapi." 

Aku tertegun untuk kesekian kalinya Basineng. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar membaca potongan terakhir pesan yang kau kirim. Aku lupa, kadang kau bisa menjadi sangat tidak tertebak. Kudapati ada genangan diujung mataku Basineng, sedikit memalukan. Tapi kurasa aku bukannya lupa cara bercerita, aku hanya lupa kepada siapa seharusnya aku bercerita. 


Foto oleh Ainun Najib
Share:

Wednesday, May 27, 2020

Kita bukan pemegang kendali Basineng

Keberhasilan itu relatif, mereka berhasil mendapat piala, tapi tak belajar dari proses yang mereka jalani, kita kalah, tapi mendapatkan banyak pelajaran dari tiap langkah kecil yang kita tapaki, berkembang seiring waktu yang kita habiskan untuk mencapai apa yang kita impikan. Apa ada yang lebih penting dari itu kawan?

Basineng, beberapa bulan ini kegiatanku terasa sangat padat. Ada banyak hal yang harus dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Itu juga yang menjadi salah satu alasan kenapa aku baru menyapamu lagi dalam tulisanku. 

Aku pernah bercerita kepadamu tentang bagaimana aku sangat menginginkan sesuatu untuk berjalan seperti yang telah aku espektasikan sebelumnya, seperti apa yang telah aku rencanakan di kertas sticky notes pada tiap malam sebelum aku tidur. 

Namun seiring berjalannya waktu, kita sebagai manusia hanya perancang dari apa yang kita inginkan dan rencanakan, kita tak pernah sepenuhnya memegang kendali. Aku dulu mempercayai ini hanya sebatas kalimat mutiara penghias acara seminar motivasi, tapi, aku merasakannya Basineng. Merasakan bahwa segala rencana yang telah kau lakukan tak selamanya bisa kau wujudkan.

Disaat bersamaan, terkadang kita bertemu dengan kontradiksi dari kondisi yang kita alami, Basineng. Kau kadang harus bertemu dengan oang-orang yang telah terberkati dengan segala kelebihan yang mereka bawa sejak lahir. Bahkan ketika mereka tidak berusaha keras, mereka bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan. Paling tidak, kelihatannya seperti itu dari tempatku memandang sekarang. Seperti kita berada dalam sebuah perlombaan dengan titik mulai yang berbeda, jauh berbeda. 

Beberapa dari mereka, terkadang masih menyapa dan tersenyum, memandangmu sebagai sebuah kesetaraaan akan garis awal yang berbeda. Namun, tidak sedikit juga dari mereka yang merasa bahwa kita berada pada garis yang sangat berbeda, bahkan tidak pernah akan bisa sepadan sekeras apapun kita berusaha.

Kau tahu ceritaku Basineng, kita pernah berjuang bersama, dan kita tahu bagaimana rasanya mencapai sesuatu yang kita mulai dari dari titik nol, atau bisakah kusebut dari titik minus? Jadi, mungkin kau paham dengan apa yang kurasakan. Terkadang aku sangat jengkel melihat para tuan muda yang kadang meremehkan arti setapak yang telah kita lewati Basineng, arti peluh dan jerih payah yang kita lakukan.

Aku sangat jengkel dengan tingkah manja mereka yang memaknai kerja keras dengan seberapa keras mereka memaksa orang tua untuk memenuhi apa yang mereka inginkan. Aku sebenarnya tidak peduli Basineng, itu orang tua mereka. Sayangnya di banyak kejadian yang kita lalui, orang tua mereka adalah pengambil keputusan untuk titik akhir perjuangan kita.

Seperti kata pepatah, darah lebih kental daripada air, buat apa mengambil yang jauh, jika kerabat masih ada yang bisa dipilih. Dan di sinilah kita, dalam bejana kegagalan yang dibangun oleh mereka yang punya kendali dan kuasa.

Aku tahu, kau pasti akan membalas tulisanku ini dengan kalimat yang akan menenggelamkanku dalam kalimat untuk menyuruhku bersyukur dan bersabar. Kalimat-kalimat bak motivator yang kau lemparkan ke kepalaku,

"Keberhasilan itu relatif, mereka berhasil mendapat piala, tapi tak belajar dari proses yang mereka jalani, kita kalah, tapi mendapatkan banyak pelajaran dari tiap langkah kecil yang kita tapaki, berkembang seiring waktu yang kita habiskan untuk mencapai apa yang kita impikan. Apa ada yang lebih penting dari itu kawan? Mari bersyukur dan bersabar, tidak ada tameng paling kuat dibandingkan dua kalimat itu, bukankah itu janji Tuhan?"

Dan sayangnya, aku memang hanya bisa berpegang pada dua kata itu. Bukankah kita memang bisa berjalan sejauh ini karena mengantongi dua kata itu dalam tiap perjalanan yang kita mulai? Aku selalu paham itu Basineng.

Aku menulis ini bukan untuk berkeluh kesah atau menggerutu padamu Basineng. Aku hanya, ingin menuliskannya, dan berharap bahwa sebagian atau keseluruhan penat dan kesal yang kurasakan akan tertumpah dan mengering bersama tulisan ini. Setidaknya itu yang kuharapkan.

Semoga kau selalu dalam kondisi yang baik Basineng, aku akan menyapamu lagi dalam suratku yang lainnya.

Foto oleh Ainun Najib
Share:

Wednesday, January 3, 2018

Pedagogik dan guru yang salah memilih senjata

“Kita sudah tidak relevan lagi Basineng, kita sedang kekurangan senjata untuk bisa menjadi pengajar dan Pendidik yang baik, dunia terlalu cepat memacu diri, kita tertinggal” aku melempar kalimatku di pagi berembun, di hari pertama tahun baru ini. Kita memutuskan untuk melepas tahun yang sudah menua dengan mendaki, menghabiskan malam dipuncak tertinggi yang bisa kita capai. Kegiatan yang bagi sebagian orang adalah hal yang membuang-buang tenaga dan waktu, yang bagi sebagian orang menikmati kembang api ditengah hingar bingar kota adalah cara yang paling tepat untuk menyambut pergantian tahun. Tapi bagi kita adalah sebuah jalan perenungan. 

Kabut perlahan menjauh, memberikan pemandangan yang semakin jelas, kita sedang memandang dari ketinggian, memandang redup lampu yang mulai terganti dengan mentari yang semakin jauh menapak langit.

“Kita adalah tentara tua yang masih menggunakan bambu runcing dalam berjuang melawan penjajah, sedangkan lawan kita adalah tank-tank yang siap melumat. Kita kalah bahkan sebelum kita menapak untuk melawan.” Aku melanjutkan kalimatku, berharap kau bisa menanggapinya agar pagi ini tidak berlalu dengan sekedar menyeruput teh dan menikmati rasa asin dari mi instan yang kita seduh subuh ini. Kau masih diam. 

“Kau tahu Basineng, banyak dari kita, mungkin termasuk aku dan kau sendiri, mengaku sebagai pengajar, mengaku sebagai guru yang ingin mencerdaskan bangsa, sebagai ujung tombak dalam membangun fondasi bangsa dengan menciptakan generasi-generasi yang mampu berjuang dan bertahan dalam menghadapi dunia yang semakin kejam, dunia yang menyajikan banyak tantangan yang terkadang jauh lebih besar dibanding apa yang bisa kita perkirakan.” Lanjutku. 

Aku terdiam beberapa saat, menunggu kau berkomentar, beberapa saat. Tapi kau masih diam. 

“Kita punya mimpi yang besar untuk menciptakan generasi yang seperti itu, tapi kita memilih senjata yang salah, atau lebih tepatnya, kita hanya tahu senjata yang sering dipakai dimasa lalu, senjata yang tidak lagi relevan untuk kita gunakan disaat sekarang ini, senjata yang hanya mampu mengantar kita menciptakan generasi penghafal.” Aku masih menunggumu untuk menanggapi kalimat-kalimatku, kulihat kau masih asik dengan gelas yang menempel dibibirmu, menikmati hangat yang mengalir ditenggorokanmu ditengah dingin yang menyelimuti. 

“Selama ini aku berusaha menggunakan berbagai metode dan pendekatan, menyusun rencana pembelajaran dengan sebaik-baiknya, tapi terkadang, aku masih kalah Basineng.” Aku diam dan memberi jeda pada kalimatku. 

“Aku tidak tahu apa yang salah Basineng, lebih tepatnya apa yang sudah terlewatkan?” 

“Kau tahu pedagogi dalam pembelajaran?” kau bertanya mendahului kalimat yang baru saja akan kuucapkan. 

“Iya, aku pernah mempelajarinya. Itu adalah dasar, pengetahuan yang menjadi fondasi bagi setiap pengajar, bagi setiap orang yang mengakui dirinya sebagai guru. Sebuah ilmu yang menjelaskan bagaimana ilmu itu disampaikan, bagaimana ilmu itu diberikan kepada peserta didik. Kurang lebih, sederhananya seperti itu.” Jawabku. 

“Apa kau tahu bahwa ilmu pedadogi adalah sebuah jembatan?” kau lagi-lagi melemparkan pertanyaan kepadaku, sembari mengapit gelas dengan kedua tanganmu yang mengepulkan asap samar dari hangat tehmu. 

“Maksudmu ia digunakan sebagai landasan dalam menyampaikan pembelajaran yang kita bawa agar bisa tersampaikan dan terpahamkan kepada siswa secara baik dan maksimal. Iya, aku paham itu.” Jawabku lagi. 

“Iya, kurang lebih ilmu pedagogi adalah seperti yang kau bilang. Sebelum kita lanjut berbicara tentang jawaban atas kegelisahanmu akan pertanyaanmu sebelumnya, apa kau ingat pembicaraan kita tempo hari, tentang dunia Pendidikan adalah dunia yang kompleks, yang tidak bisa hanya dipandang dari satu sisi saja, yang tidak bisa kita jalani hanya pada satu jalan saja? Ku harap kau masih mengingatnya. Maka dari itu, diskusi kita saat ini hanya akan berfokus pada pedagogi dan proses pembelajaran. Tidak menimbang hal-hal lain diluar dua hal ini.” Sepertinya kau sudah mulai menghangatkan kepalamu, menjadikan kalimat-kalimatmu jadi lebih panjang dari sebelumnya. 
“iya, aku paham itu.” Jawabku singkat. 

“Pedagogi adalah jembatan, yang membuat materi yang ingin kita sampaikan kepada peserta didik dapat tersalurkan dengan baik. Baik itu hal-hal terkait ilmu sosial ataupun ilmu alam, pengetahuan itu tidak akan sepenuhnya diterima dengan maksimal oleh peserta didik jika kita tidak mengantarkannya dengan baik dan benar. Yang aku maksud dengan baik dan benar adalah proses penyampaian yang bisa memancing motivasi dan ketertarikan mereka terhadap apa yang kita ingin berikan kepada mereka. Sederhananya, jika mereka tertarik dengan apa yang kita sampaikan, maka kita tidak perlu jauh-jauh mengantarnya, karena mereka akan datang menjemput pengetahuan itu sendiri. Jadi, pedagogi adalah jembatan dan materi pelajaran adalah paket yang harus sampai kepada siswa.” Jelasmu panjang lebar. Belum sempat aku mencerna apa yang barusan kau katakan, kau kembali menyulam kata dan melempar kalimat-kalimatmu kepadaku, yang membuatku lagi-lagi tak sempat menikmati teh yang mulai mendingin ditanganku. 

“Tapi apa kau tahu kawan, ada satu hal yang selalu luput dalam mendukung dua hal ini untuk menciptakan proses belajar yang maksimal. Dan hal ini yang menurutku berkaitan dengan analogimu sebelumnya, tentang kita yang sebagai pengajar, sebagai guru bagi peserta didik, yang salah memilih senjata dalam perang melawan kebodohan. Kita kadang kala melupakan ‘media’ yang menjadi unsur penting yang kita perlukan dalam membangun suasana belajar yang efektif dan efisien.” 

“Kalau kau sedang berbicara tentang media pembelajaran, aku sudah tahu Basineng, bahwa media pembelajaran menjadi salah satu unsur penting dalam menciptakan proses pembelajaran yang menarik bagi siswa, aku paham itu, dan aku sudah menggunakannya. Namun, penggunaan media tidak sepenuhnya bisa mendukung proses pembelajaran, bahkan kadang ia menjadi pengalih baru bagi peserta didik.” Potongku, 

“Ya aku tahu itu kawan, kau sudah mengetahui teori pembelajaran dengan sangat baik, kau sudah memahami teori belajar kognitif, behavioristik, ataupun konstruktivistik dengan mendalam. Pun dengan media pembelajaran, terkait definisi, jenis dan penggunaannya, akupun paham kau sudah tahu itu. Tapi, apa kau sadar, bahwa selama ini kau selalu merasa bahwa menciptakan media pembelajaran yang terbarukan merupakan langkah yang baik dalam melengkapi proses belajar mengajarmu. Kau fokus pada media pembelajaran yang kau ciptakan dan memaksa siswamu untuk menggunakan media tersebut. Apa kau tahu bahwa dasar dari penggunaan media adalah untuk ‘memudahkan’ terlepas dari apakah kau menciptakan media itu sendiri atau hanya memanfaatkan dari apa yang sudah ada sebelumnya. Kau tidak perlu susah-susah untuk meciptakan aplikasi atau media super canggih dan kekinian jika kau merasa bahwa siswamu akan susah untuk mengadaptasi dan menggunakannya, karena lagi-lagi kau harus paham bahwa media pembelajaran adalah unsur yang digunakan untuk ‘memancing ketertarikan’ mereka yang bisa memudahkan kita sebagai guru untuk menyampaikan materi yang ingin kita sampaikan.” Kalimat-kalimat panjang lainnya kau lontarkan tanpa memberi jeda kepada dingin untuk memotong penjelasannmu. Angin gunung berhembus, menembus dan dengan nakal menyapa kulitku yang sudah kuselimuti dengan kantong tidur yang kita sewa tempo hari sebelum memulai pendakian. 

“Kau lupa kawan, bahwa kita bisa memanfaatkan sesuatu yang dekat dengan siswa dan menjadikan itu sebagai media pembelajaran kita.” Lanjutmu. 

“Aku paham media dan teknologi, aku punya websiteku sendiri.” Aku kembali memotong kalimat-kalimat panjangmu. 

“Aku tidak berbicara apakah kau tahu media dan teknologi atau tidak. Aku berbicara tentang apakah kau bisa menggunakan sesuatu yang ‘dekat’ dan ‘familiar’ bagi siswa untuk kau jadikan media pembelajaranmu. Kau membuat websitemu sebagai sumber informasi online untuk materi-materimu, itu bagus. Tapi apa kau sadar kecendrungan siswa? Mari kita sebut, smartphone, social media, meme dan komik di Instagram, youtube. Mereka lebih condong ke semua itu dibanding sesuatu yang kita buat sendiri dan menyuruh mereka untuk akrab dengan itu. Kau lupa bahwa siswa kita memiliki dunianya sendiri, dibanding memaksa mereka keluar dari dunia mereka, kenapa tidak kita masuk dan menjadikan dunia mereka sebagai wadah untuk menyampaikan materi yang ingin kita ajarkan.” 

“Salah satu kelemahan kita adalah bukan karena kita tidak tahu bahwa media pembelajaran itu ada, tetapi kita tidak paham untuk menggunakan media dan teknologi yang dekat dan familiar dengan peserta didik kita kawan. Gunakan apa yang mereka sukai, dan kau tidak perlu menghabiskan waktumu untuk membuat mediamu sendiri. Karena sebagai pengajar dan pendidik kita harus fleksibel dalam menggunakan media pembelajaran.” Kau diam sesaat, kemudian kembali meraih gelas yang masih setengah berisi, mencicipinya sedikit, lalu berdiri dan berjalan menuju api unggun yang sudah mulai mengecil. 

“Tehku mulai dingin” katamu, kalimat yang menutup pembicaraan kita pagi itu. Dan aku kembali diam dan mencerna apa yang barusan kita bicarakan. Kita, pendidik yang salah memilih senjata.

Foto oleh Ainun Najib
Share:

Sunday, December 31, 2017

Manusia Terpelajar dan Terdidik

Kita sering bertukar kata di hari-hari yang lalu Basineng. Di teras rumah yang terbuat dari kayu cempaka, dimana disetiap deritnya melepas aroma khas yang membuat pembicaraan kita menjadi sebuah kegiatan yang mampu membunuh waktu. 

Kau pernah menyentil tentang bagaimana kau membagi manusia kedalam kelompok terpelajar, terdidik. Saat itu, aku berpikir semuanya sama saja, tak ada yang bisa kita jadikan pembeda untuk menyekat dua kata tersebut. 

“Apakah kita berpikir tentang nilai atau makna dalam proses belajar, adalah sekat yang bisa kita jadikan landasan” Katamu singkat. Kau melihat sedikit sirat kebingungan diwajahku, mungkin terlihat dari kerutan didahiku ketika kau mulai mengucap kalimatmu. 

“Maksudku, ketika kita berbicara tentang Pendidikan, variable yang terikat sangatlah banyak, Pendidikan bukah hanya tentang hasil, Pendidikan adalah proses sepanjang hayat, bukan dan tidak hanya berakhir diujung usia wajib belajar ataupun ketika kita sudah berhasil menggenggam ijazah” lanjutmu. 

“Ketika kecil, aku selalu berpikir bahwa dengan mendapatkan nilai yang bagus dan menjadi juara kelas, aku bisa berguna bagi orang-orang disekitarku. Namun kemudian aku sadar bahwa, berbaur dengan komunitas yang lebih besar menuntutku untuk bisa memiliki lebih dari sekedar predikat juara kelas atau nilai tinggi disetiap mata pelajaran. 

Bahkan, banyak dari mereka yang berprestasi sama sekali tidak menjadi apa-apa didunia yang semakin menggila ini. Tapi, aku tidak sepenuhnya menghujat mereka yang fokus kepada nilai dan predikat, itu adalah salah satu variabel yang kita perlukan. 

Dan sekali lagi, ketika kita berbicara tentang Pendidikan, kita butuh lebih dari satu variable.” Kau bercerita panjang lebar Basineng. Sore yang sedikit berbeda dari sore-sore sebelumnya, dimana kau hanya akan diam dan menanggapi sedikit pertanyaanku. 

Angin bertiup menembus sela-sela dinding rumah, membuat dinding tersebut seakan bersiul mengeluarkan suara nyaring bak suling raksasa dimana ada dua anak 15 tahun yang sedang duduk dan bersandar dikursi yang tersulam dari rotan. Bertukar kata sembari menikmati langit yang semakin menjingga diujung langit. 

“Lalu, kata terdidik dan terpelajar?” sambungku, ketika kau sudah kembali terdiam. Kau menoleh dan menjawab. 

“Sudah banyak negara didunia modern yang mengetahui bahwa di dunia Pendidikan, khususnya sekolah telah banyak menghasilkan orag-orang yang secara teoritis sangat paham dengan kalimat-kalimat yang tertulis didalam buku, menyelesaikan soal-soal integral, mampu menyebutkan semua Bahasa latin hewan dan tumbuhan, tetapi gagap ketika menghadapai permasalahan yang tidak pernah mereka temukan di dalam buku. 

Mereka lalu mengubah cara mereka mengatur sistem sekolah untuk menjamin bahwa apa yang mereka hasilkan dari system yang kita sebut sekolah dapat menghasilkan orang-orang yang secara teoritis dan praktis dapat diandalkan. 

Tapi disini, kita masih terperangkap system lama, system kuno yang hanya bisa menghasilkan orang-orang pintar tidak bermoral, aku berkata seperti ini bukan untuk mengeneralisasi, aku hanya mengatakan bahwa masih banyak dari kita yang masih melihat Pendidikan dari sudut pandang lubang jarum” Sekali lagi kau terdiam beberapa lama. 

“Lalu, kata terdidik dan terpelajar?” tanyaku lagi, aku tidak tahu kenapa ada jeda yang begitu lama bagimu untuk menjelaskan dua kata tersbut. 

“Kita perlu berubah, nilai dan makna adalah dua hal yang menurutku harus kita jadikan pondasi. Terpelajar ketika kita hanya sekedar tahu dan paham tentang sesuatu, terdidik ketika kita bisa memaknai apa yang kita tahu dan pahami, apa, kenapa, bagaimana. Setidaknya itu yang kemarin-kemarin aku percayai” jawabmu, yang bukannya membuatku paham dengan maksudmu, tetapi malah membuatku semakin bingung. 

“Apa maksudmu dengan -Setidaknya itu yang kemarin-kemarin kau percaya-?” tanyaku. Kau lagi-lagi diam dan memberi jeda antara pertanyaanku dan penjelasanmu. 

“Selama ini menjadi orang yang lebih dari sekedar terpelajar adalah keinginanku, aku ingin menjadi sosok terdidik yang bukan hanya paham tentang sesuatu, tapi juga bisa memahami untuk apa, kenapa, dan bagaimana sesuatu tersebut dapat menjadi sesuatu yang berguna. Tapi aku salah, masih ada satu variable yang ternyata luput.” Sinar oranye langit menyambut kalimatmu. Kau diam. Aku diam. Hanya suara celah dinding rumah yang tertiup angina yang terdengar. 

“Aku lupa bahwa, sekedar tahu, paham, memaknai akan sesuatu belumlah cukup, ketika variable terampil tidak kita ikutkan dalam mata rantai Pendidikan dan proses pembelajaran. Terampil dam artian, setelah tahu, pahan dan memaknai akan sesuatu, aku bisa menciptakan hal-hal lain yang memiliki nilai guna yang lebih dari sesuatu tersebut.” Katamu, 

Jingga langit sudah mulai menghitam. Kata-katamu masih terlalu berat untuk kucerna waktu itu. Aku pulang setelah menyelesaikan teh manis yang kau sajikan sebelum kita mulai berbicara. Aku pamit. 

10 tahun setelahnya, aku kembali mengingat percakapan kita, aku kembali ingat akan kalimat-kalimat yang kau ucapkan disore itu. Ditapak langkahku yang sekarang, aku paham Basineng. Tentang proses belajar yang kau maksudkan. Yang kemudian membuatku kembali bingung adalah, bagaimana aku bisa memahamkan system yang sudah mandarah daging dikepala mereka-mereka yang menjalankan system tersebut.

Kuharap kau bisa kembali bertemu denganmu dan berbicara lagi tentang topik yang sama, dan dengan solusi yang berbeda.

Foto oleh Ainun Najib 
Share:

Tuesday, December 5, 2017

Baru tersadar!

Basineng, ada penyesalan yang sayup-sayup muncul dikepalaku. Bukan tentang rasa ataupun asa masa lalu yang tak pernah lagi bisa diulang. Ini tentang isi kepala yang sama-sama kita duduk didalamnya, sama-sama melihat betapa terbatasnya lembar-lembar yang bisa kita buka untuk bisa membuat suasana diskusi kita lebih hidup, lebih hidup dari sekedar basa-basi tentang nama, alamat, umur dan pekerjaan. 

Kita sepertinya baru saja menyadari, bahwa hidup bukan sekedar ketakutan dan kepatuhan, bukan sekedar mengiyakan kepada mereka yang duduk di bangku strata yang lebih tinggi dari kita. Kita sepertinya baru saja menyadari bahwa bertindak berani dan diluar kebiasaan bukanlah sebuah kesalahan, apalagi dosa yang menjadikan kita seakan-akan kerdil dibanding yang lain. Patuh itu baik, menjadi sealiran dengan arus kebiasaan masyarakat bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi, jika itu menjadikan kita seperti domba yang dengan mudahnya digiring, maka kita tak ayal adalah boneka yang tidak memiliki pemikiran sendiri. 

Aku tahu kau sedikit malas untuk berbicara tentang hal-hal seperti ini Basineng. Tapi kita sepertinya perlu melangkah, bukan melawan arah ataupun berlainan arah, tapi melangkah sesuai dengan arah yang kita mau, sesuai dengan arah yang betul-betul menjadi tujuan yang kita inginkan. Bukan yang diinginkan oleh mereka yang memegang benang-benang sirkus dalam sistem tempat kita sekarang berdiri dan berbicara tentang topik kosong yang berisi basa basi tentang nama, alamat, umur dan pekerjaan. Kita perlu melangkah sedikit lebih berani. 

Tapi sepertinya didalam sepuluh langkah pertama, kita tersadar, penyesalan lamat-lamat semakin terlihat jelas, menunjukkan bahwa buku dan lembaran-lembaran yang kita bawa tidak mampu membuat kita mengapung diantara lautan yang berisi banyak kebingungan. Sepertinya kita harus berhenti sejenak, jika perlu, berbalik arah. Bukan karena kita kemudian tak berdaya berdiri dan memijak pada kaki sendiri, tapi kita lupa bahwa melawan muslihat, kita juga perlu belajar banyak muslihat. 

Basineng, kita punya tujuan baru. Kau sedikit tidak setuju, tapi kemudian sama sekali tak bersuara, karena kaupun tahu setidaknya mundur selangkah akan lebih baik untuk bisa maju beratus atau beribu langkah di kemudian hari. Kita harus belajar, lagi dan lagi.

Foto oleh Ainun Najib

Share: