Showing posts with label Alegori Simbolik. Show all posts
Showing posts with label Alegori Simbolik. Show all posts

Tuesday, September 24, 2013

Aku Juga Memilih Diam

"Diam tak akan pernah memberikan kesempatan kepada kata maaf untuk melakukan apa yang seharusnya menjadi tugas ia diciptakan."
Ada saat dimana sebuah kesalahan menjadi hal yang sangat menakutkan, disaat segala sesuatu yang baik menjadi sangat berantakan, saat kedekatan menjadi hal berbeda dalam hitungan detik. Saat dimana kata maaf tak dapat memperbaiki semua hal yang sudah terjadi.

Sore ini kubiarkan kau bungkam dengan semua rasa kesal yang mungkin masih kau simpan, kubiarkan semua perasaan itu mengendap dan hilang termakan waktu, entah sampai kapan, aku tak tahu. Yang kutahu sekarang, tak ada lagi percakapan seperti dulu, entah itu akan seperti dulu lagi, aku juga tidak tahu. Tapi baik kau maupun aku, kini menyimpan sebuah bekas yang mungkin akan susah untuk kembali utuh.
Share:

Thursday, September 19, 2013

Edelweis

“Hati dan rasa sayang. Tidak ada yang tidak masuk akal ketika gumpalan daging di balik rusukmu itu  sudah merasakan cinta.”

Aku sudah lupa kapan terakhir kali meneguk sejuk embun di pagi hari, merasakan sapaan hangat mentari dikulit wajahku. Duduk dan menghabiskan waktu dengan buku cerita lusuh yang ku ambil diam-diam diperpustakaan sekolah, sembari menunggumu datang dengan jagung sangrai yang sudah kau siapkan di toples kaca.

Tiga tahun lalu, padang luas dengan hamparan bunga Edelweis menjadi tempat rutin yang kita datangi di setiap sore akhir pekan. Menjadi karnaval dengan buaian angin semilir dan pemandangan yang memanjakan mata, Edelweis yang tersusun rapi terhampar dan menjorok sampai ke ujung tebing. Menyajikan beberapa bukit lain dan lembah yang berwarna hijau sedikit kekuningan, diterpa semburat emas dari matahari yang mulai malas berbagi sinar.

Disaat senja mulai mengubah langit biru menjadi jingga bercampur hitam, kau suka berlari dan memainkan ujung rok yang kau pakai, membiarkan angin menghempas rambutmu dan tergerai lembut mengikuti iramanya. Mencoba menangkapi dandelion yang beterbangan sambil tertawa lepas dengan mata yang tak henti-hentinya menatap teduh kearahku. Aku hanya diam dan duduk di sisi lain padang yang luas itu, memandangmu dan membiarkan semua keindahan ini terekam tanpa sepersekian detik pun terlewatkan.
Share:

Saturday, September 14, 2013

September Syndrome

Aku sudah lupa kapan terakhir kali kalimat-kalimat basa basi dan kaku keluar dari bibirku, kalimat dingin yang tak pernah berhasil membangun suasana yang hangat, kau tahu aku memang kurang pandai dalam mengalur dan mengulur sebuah cerita


Kubiarkan ilalang dan hembus angin di padang luas ini merangkul semua tanya yang mengalir diujung lidahku, kubiarkan mereka menyimpannya bersama tanah kering setengah retak dibulan September. Beberapa pertanyaan yang akan sulit untuk kutemukan jawabannya, pertanyaan yang jawabannya tersimpan dan tersembunyi dibalik senyum yang senantiasa kau berikan disaat aku memperlihatkan pertanyaan itu kepadamu. Sepertinya pertanyaan itu akan menjadi rahasia kita bertiga, aku, ilalang dan hembus angin di padang tanah kering setengah retak. Aku berusaha mengikuti jejak mu dipasir yang kau pijak pergi, katamu jika aku ingin sebuah jawaban aku tinggal mengikuti jejak itu, sudah sekian lama ku ikuti jejak itu mencoba percaya dan mengerti tentang makna yang tertinggal bersama semua jejakmu, namun klimaks makna yang kuharap ada tak kunjung datang. Sejalan dengan itu angin di tanah kering setengah retak bertiup dan membuat semua jejak menjadi samar dan lambat laun menghilang. 
Share:

Monday, September 9, 2013

Dekat dengan Langit


Aku ingin menjadi malam untukmu, yang datang disaat kau telah bosan berjalan dibawah cahaya yang terlalu menyilaukan.
Kau tahu, disini aku semakin dekat dengan langit, seakan-akan bintang dapat kudekap dengan sekali lompat. Malam disini lebih dingin, dengan jejeran pinus yang menebar harumnya yang khas. Malam-malam seperti ini sudah berlalu selama dua perputaran matahari terbit dan terbenam, siklus yang akan terus berulang sampai pada kulminasi dimana arah akan berubah. Aku selalu merindukan langit yang jernih seperti ini, malam yang menyajikan titik-titik bintang dengan sangat jelas, malam yang memberikan keindahan pada gelap, memberi sebuah makna pada kanvas hitam tak berujung.  Aku selalu ingin menjadi malam untukmu, menjadi tempat untukmu berlari dan menjauh dari rasa lelah dan penat, sebuah tempat dimana semua jenuhmu berlabuh. Aku ingin menjadi malam untukmu, yang datang disaat kau telah bosan berjalan dibawah cahaya yang terlalu menyilaukan. Menjadi malam yang tanpa dimintapun akan selalu ada, selalu menungguimu untuk tertidur dan mengawalmu dalam dekapnya bersama mimpi yang ia selipkan dibawah bantalmu.
Share:

Sunday, August 4, 2013

Sore, dalam peraduan letih, sandaran rasa jenuh.


"Aku mengumpulkan lembaran-lembaran optimisme yang sempat berantakan, kuatur kembali dengan sangat hati-hati, aku tak mau ia berantakan lagi. Aku tak mau kehilangan rasa percaya diriku, karena bayang-bayang yang tercipta dari rasa cemas yang berlebihan."

Sore, dalam peraduan letih, sandaran rasa jenuh.
Aku sebenarnya tidak  bermaksud mengumbar rasa senang secara berlebihan, mungkin caraku mengekspresikan rasa senang yang agak sedikit berbeda. Bagiku, tak ada yang perlu untuk disembunyikan, bahkan sebuah rasa senang yang sangat biasa-biasa saja bagi orang lain. Diberanda rumah kecil, diatas sofa lusuh yang mulai bolong dimana-mana, aku kembali memikirkan janji yang telah ku ikrarkan melalui pesan-pesan singkat ku kirimkan padamu. Sebuah janji, janji yang sangat besar. Aku memikirkan setiap potongan-potongan khayalan yang kuharap akan menjadi kenyataan saat janji tersebut terpenuhi. Aku memikirkan banyak hal, mulai dari hal-hal lucu sampai pada hal-hal yang menurutku aneh.
Share:

Wednesday, July 31, 2013

Sosok yang kembali

"Dulu aku selalu berpikir kenapa kita harus berhenti disaat kita belum berjuang untuk saling mempertahankan, saling membahagiakan, saling mengerti satu sama lain, saling meyakinkan bahwa ini bukanlah hal yang pantas untuk diakhiri"

Sebuah rasa rindu yang terbalas, sebuah senyum yang kembali menjadi penghias malam-malamku, sebuah penantian yang akhirnya kembali membawaku pada moment yang selalu kurindukan selama satu tahun menunggu. Lesung pipi yang selalu menjadi sumber inspirasiku dalam mengotak atik setiap kata yang berceceran untuk merangkainya menjadi sebuah kalimat yang sedikit puitis. Mimpi-mimpi yang sempat berubah kelabu kini kembali menampakkan bias pelangi disetiap sudutnya.
Share:

Saturday, July 6, 2013

Di Titik Kulminasi


"Waktu tidak pernah tahu bagaimana seharusnya bersikap, disaat setiap detik berada dihadapanmu menjadi sangat berharga ia tak sedikitpun mau melambatkan lajunya."

Ketika rindu ini berada pada titik kulminasinya, ia tak lagi bertambah namun berubah bentuk menjadi sebuah perasaan baru yang lebih menggelisahkan. Aku sempat khawatir ia akan lebih menyusahkan dalam bentuk yang lain, dalam bentuk selain rindu. Untungnya, sesaat sebelum rindu ini melewati titik kulminasinya sebuah alur memberi kita kesempatan untuk bertemu dalam satu desain cerita. Kembali memandang langsung rona merah pipimu yang kau tutupi dengan malu-malu, aku kembali melihatnya, secara langsung. Bagiku ini sebuah pelepas dahaga dari seorang musafir yang lama berjalan dibawah terik matahari, seperti oase yang tiba-tiba muncul ketika haus mencekat lebih tajam dari sebilah pisau.
Share:

Kenangan tak Berulang



"Aku berhalusinasi, masih disubuh yang sama dan lintasan kenangan yang sama. Kau datang dan membawa seulas senyum dengan lesung pipi yang selalu ingin ku lihat,.."


Ada yang mengusikku subuh ini, sebuah lintasan kenangan yang tiba-tiba terbangun dalam alur mimpiku. Panjang, sangat panjang lintasan itu dan cukup untuk menghadirkan semua rasa dan kenangan yang terkubur rapat dalam dasar hati. Ia kembali hadir, dalam rupa yang sama dan senyum yang sama, sebuah kenangan yang menguras logika untuk tak lagi memikirkan apa yang telah lalu, namun gagal, bukan untuk yang pertama kalinya, ini untuk yang kesekian kalinya. Sosok lucu dan manja yang pernah ku kenal, sosok yang pernah menangis karena cemburu, sosok yang perhatiannya melebihi siapapun, sosok yang suka mencibir dengan candaanku yang tak pernah lucu menurutnya, sosok yang selama ini kurindukan. Ia gadis yang pernah menuliskan tentang diriku dalam sebuah catatannya betapa ia mencintaiku, betapa ia merindukanku saat jarak menjadi sangat nakal memisahkan kami, betapa ia tak mau melepas genggaman tanganku yang mengisi celah disela-sela jemarinya. 

Share:

Monday, July 1, 2013

Zona Nyaman dan Hukum Newton



Gambar 2.

Dalam fisika dikenal sebuah hukum yang banyak menjelaskan tentang  gaya, massa benda, percepatan, serta hubungannya satu sama lain, hukum tersebut dikenal dengan hukum newton dimana hukum pertamanya menjelaskan tentang kelembaman, kecendrungan sebuah objek untuk mempertahankan kedudukannya, dimana sebuah objek atau benda yang diam akan tetap diam dan benda yang bergerak akan tetap bergerak secara konstan jika tidak ada gaya luar yang mempengaruhinya. Sepertinya hukum kelembaman newton bekerja dengan baik dalam diriku, menjelaskan dengan detail arti dari kelembaman, arti dari tidak adanya perubahan tanpa adanya gaya yang diberikan, kita bisa belajar banyak arti hidup dari persamaan fisika tersebut.

Namun, satu hal yang juga berpengaruh besar dalam keseharianku adalah zona nyaman yang tidak ada habisnya menggoda untuk tidak melakukan apa-apa. Bagiku dan mungkin juga bagi banyak orang, meninggalkan zona nyaman atau kesenangan adalah yang yang paling sulit untuk dilaksanakan. Melakukan hal yang bertolak belakang dengan apa yang kita sukai merupakan benteng paling besar untuk bergerak maju, walaupun sebenarnya hal tersebut untuk kebaikan dan keberhasilan kita. 
Share:

Sepenggal Kisah



“Setiap tahap harus dilalui dengan sabar, pencapaian yang terburu-buru tidak akan bertahan lama. Seperti pondasi sebuah menara, jika ada yang terlangkahi maka akan membuat rongga yang bisa menjatuhkan menara itu sendiri suatu waktu.”


Kau-bayang imaji-menasehatiku, itu kalimat bernada positif pertama yang keluar dari lidahmu. Tepat tengah hari, dalam gerah yang memanen peluh engkau kembali membuka pembicaraan dengan logat khas yang menjengkelkan. Tapi, ya baru kali ini kau memberikan sebuah kalimta positif kepadaku.

Aku dulu sepertimu, sebelum dikutuk untuk hidup abadi di dalam cermin. Aku seperti remaja yang lainnya, pernah merasakan pahit manis mencintai seorang wanita, ego dan arogansi yang tak terkendali, serta kenakalan-kenalakan konyol yang tak dapat kuhitung lagi. Kau tahu, dulu aku mencintai kesejukan, suka memandang awan, dan tak suka dengan hujan.” Kau-bayang imaji-melanjutkan kalimatmu, sembari menyusun menara dari kartu remi diatas meja.

Share:

Friday, June 28, 2013

Sore-Percakapan-Pragmatis



“Kau harus belajar membuka diri, memelihara harga diri yang berlebihan hanya akan membuatmu menjadi bukan siapa-siapa. Ketika kau merasa sebagai segalanya, saat itu pula kau sesungguhnya menjadi bukan apa-apa.”


Dingin masih tersisa dari guyuran hujan sore ini, genangan air dan suara katak bersahutan mengiringi tangis langit yang sudah mereda seakan menyambut kembali sinar matahari yang menyusur dari celah-celah awan yang kembali putih. Percakapan kembali terdengar, dibalik pintu kecil ruang perpustakaan yang sepi, laki-laki itu hanya seorang diri, dan sedang bercakap dengan bayangannya sendiri, kebiasaan yang menjadikannya menjadi sosok aneh yang suka menarik diri dari hiruk pikuk diseminasi.

“Rasa sombong itu tak akan membawamu kemana-mana, ia hanya membuatmu seolah-olah melampaui yang lain padahal kenyataannya kamu sedang jalan ditempat.” Ucapnya.

Aku tak pernah merasa seperti itu, aku tak pernah sombong, hanya membatasi diri dari interaksi yang menurutku tak membawa keuntungan buatku.” Ujar bayang imaji dibalik cermin.

“Sejak kapan kau menjadi sosok yang pragmatis ?” ucapku kembali.

Share:

Selimut Rindu

Kutuliskan kalimat yang terus berputar dikepalaku, membuatku terjaga sampai hari berganti lewat tengah malam.  Ia menjadi sebuah mantra yang tak terapalkan dalam menyampaikan kasih yang tersimpan dibalik lidah kelu yang tak mampu berucap. Ia menjadi penghubung bagi dua rindu yang tak kunjung bertemu sekaligus obat bagi yang merindu. Ialah kata, selalu punya dua sisi, ia bisa menjadi racun pembunuh yang menyakitkan dan jadi penyembuh yang sangat mujarab, tergantung bagaimana sang perangkai membentuknya, apakah ia racun atau penyembuh ?
Share:

Monday, June 24, 2013

Dialog Cermin



“Bukankan iya masih sama, sosok yang selama ini kau temui dalam tiap keping mimpi yang tersusun seperti puzzle di dalam tiap malammu ? Bukankah tak ada yang berubah ? lalu kenapa ?”

Sebuah kalimat yang ia layangkan padaku malam ini, dimalam yang seharusnya riuh dengan sinar purnama sempurna, namun sayang malam ini langit tertutup awan. Jadilah remang-remang malam yang menemani.

“Betul, iya masih sosok yang sama.”

Share:

Sunday, June 23, 2013

Ritme yang Aneh

Sinar matahari di balik bukit-bukit di Bumi Batara Guru memberikan sensasi lain pada nuansa sore yang kulewati kali ini. Sejumput rasa aneh kembali menyusup diam-diam dalam pembuluh darahku dan memberikan tekanan lebih dalam tiap degup jantungku. Kembali aku mengecap rasa ini, rasa yang kukira telah hilang selama dua bulan terakhir ini. Entah kenapa ia tiba-tiba muncul, dalam semilir perjalananku di bumi Sawerigading, angin tipis diam-diam menerpa badanku, memberikan sensasi dingin yang menambah kontradiksi drama hati pada awal senja hari ini.

Share:

Wednesday, June 19, 2013

S P A S I

Sendiri. Terkadang satu kata ini menjadi sebuah solusi yang tepat dalam beberapa permasalahan yang terjadi.

Sepertinya aku butuh ruang untuk sendiri, ruang untuk menyandarkan jenuh yang tiba-tiba menyergap ditengah rutinitas fisik dan pikiran yang tak habisnya mengantri menunggu giliran. Kadang kala kejenuhan datang membludak tanpa bisa kita kendalikan, perasaan lebam untuk melakukan aktifitas menjadi sangat besar dan susah untuk dikendalikan. Zona nyaman selalu memiliki gravitasi yang sangat besar untuk menarik kita kedalam lingkarannya, membuai kita dengan kemalasan yang melenakan. Membuat kita enggan untuk melakukan apa-apa, enggan untuk memulai sebuah pembicaraan, bahkan enggan untuk berinteraksi dengan hiruk pikuk.
Share:

Sunday, March 10, 2013

Memoar Bulan Maret

Setahun yang lalu, aku masih ingat setahun yang lalu tentang memoar yang kini semakin pudar, Tentang kita, dan kisah singkat yang pernah ada. Sudah setahun berlalu, entah sudah berapa purnama yang terlewatkan, dan kau masih tidak bergeming. Di bulan ini, dulu, banyak kata yang terangkai, banyak semu merah jambu yang merebak, banyak kehangatan yang terpendar, dulu, 344 hari yang lalu. Ini seperti kembali ke stasiun dimana pertama kali aku menjelajah rasa.
Share:

Wednesday, February 20, 2013

Gelas kosong

"Aku kembali duduk. Setelah terdiam beberapa saat, aku kemudian sadar, aku tidak sesuka itu dengan teh buatanmu, iya, biasa saja."

 Aku masih menatap gelas dihadapanku dalam-dalam, masih kosong. Ku ambil ransel dan meninggalkannya disudut meja tempatku meluangkan waktu untuk sekedar membaca atau menulis metafora atau prosa tentang dirimu, tentang keindahanmu, tentang kita. Ku tinggalkan kau barang sehari, semoga setelah kembali akan ada kesempatan berikutnya gelas itu untuk terisi, walaupun harapanku untuk segelas teh pagi ini mungkin kandas. Diganti kopi dengan kadar kafein yang lebih banyak, tak apalah untuk pagi ini, hanya untuk pagi ini.

Aku tak pernah tahu apa yang spesial dari segelas teh hasil racikanmu, Dengan gelas ukuran sedang, dua sendok gula, dan teh, tak ada yang berbeda dengan teh-teh lain yang sering ku nikmati. Lama aku berpikir, lama pula kucoba untuk membuat teh serupa, namun tak pernah kurasakan kesetaraan rasa, begitu berbeda. Aku kemudian duduk beralas kekecewaan. Duduk, diam.
Share:

Tuesday, February 19, 2013

Bom Waktu

Lagi-lagi kau muncul, bayang imaji yang kukira sudah tertidur lelap dibilik reot pikiranku. Sepertinya malam ini aku tak mau diganggu, kuacuhkan kemunculannya. Kuambil buku dan menutup diri dalam ruang baca. Ia tak mengikutiku, aku duduk dan mulai meletakkan pandanganku pada lembaran buku yang ku pegang, hambar, tak kurasakan keasyikan dalam tiap ukiran huruf yang tercetak pada kertas buram dihadapanku. Entah kemana pikiranku berlayar sekarang, imajenasiku mengawang, rasa ku mengambang dipermukaan awan, jauh, sangat jauh.

"Mau menyerah sekarang ?" tanyamu, bayangan imaji yang tak pernah ada, yang tiba-tiba muncul dari dalam kepalaku.

Share:

Cukup Diam yang Menjawabnya

"Malam ini terlalu sensitif, seperti dandelion pada musim semi, sekali sentuh ia akan berhamburan menjauh."

Perasaan yang sesungguhnya mungkin tidak akan pernah tersampaikan, karena sebuah senyum sudah bisa memoles semua keraguan dan rasa sakit yang diam-diam menyusup dalam Lobus Temporal otakku. Malam ini terlalu sensitif, seperti dandelion pada musim semi, sekali sentuh ia akan berhamburan menjauh. Sudah tujuh bulan yang terlewati, 203 hari, 4872 jam, 292.320 menit, 17.539.200 detik aku melalui waktu dengan semua rekaman-rekaman kenangan yang selalu terputar ulang dalam pikiranku , paling tidak itu adalah hal-hal yang bisa kulakukan dengan dirimu, hanya berdua denganmu.
Share:

Monday, February 18, 2013

Apa kau yakin ?

"Seperti apa wujudnya ? Perasaan yang selama ini kau percaya ada, apa kau bisa melihatnya ?". Ia bertanya kepadaku, sosok imaji dalam kepalaku.
Sepertinya hari ini akan aku habiskan didalam ruangan 3x3 meter ini, mengakrabkan diri dengan sosok imaji yang senantiasa datang menghampiri disetiap kekalutan yang kualami, dulu ia hanya datang sesekali, sangat jarang ia mengunjungiku, sekarang aku bahkan tak mampu lagi membedakan, ia nyata ataukah aku yang ilusi. Ia layaknya bayangan yang selalu mengikuti dalam langkah yang kupijak, Ia tak nyata, namun ada. Entah aku harus menyebutnya apa.

"Kau masih bertahan ?"

Aku diam mendengarkan pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Kuhirup kopi yang mulai dingin dalam gelas plastikku.

"Entahlah..." jawabku singkat.

"Kau terlalu naif, bodoh mungkin." ujarnya.

"Mungkin..." balasku.
Share: