Showing posts with label Tentang Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Tentang Pendidikan. Show all posts

Saturday, September 24, 2016

Yakin kamu orang Indonesia?

Sudah beberapa hari saya ikut berpartisipasi sebagai volunteer pada kegiatan kebudayaan yang diadakan di Adelaide, salah satu kota di bagian selatan Australia yang dijuluki dengan kota festival. Mengikuti kegiatan tersebut membuat saya tersadar bahwa betapa saya seorang yang mengaku berbangsa Indonesia ternyata memiliki pengetahuan yang minim terhadap bangsa sendiri, terutama dalam hal seni dan budaya. Pengetahuan akan seni dan budaya tradisional yang selama ini saya rasa cukup, ternyata tidak lebih dari remah-remah roti dibandingkan apa yang saya temukan disini, di negeri orang, mirisnya, bukan di Indonesia.
The Rancakers di Adelaide
 Dulunya saya dengan percaya diri mengatakan bahwa, seorang dengan latar belakang jurusan pendidikan fisika wajar jika tidak tahu seni dan budaya tradisional, itu adalah urusan mereka yang bergelut di bidang seni, bukan saya. Seni dan sains adalah hal yang sama sekali tidak beriringan, itulah yang dulu saya yakini. Namun, ketika masuk dan berpartisipasi di dalam kegiatan seni dan budaya sebagai volunteer, saya kemudian sadar bahwa pernyataan itu tidak lebih dari sekedar alat untuk melarikan diri dari “ketidakmauan” –bukan ketidakmampuan- saya untuk belajar. Dan hasilnya, saya merasa bahwa saya berada pada kondisi buta terhadap budaya dan tradisi saya sendiri, jangankan berbicara Indonesia, berbicara tentang budaya Bugis-Makassar yang merupakan tanah kelahiran saya saja, saya masih terbata untuk mendeskripsikannya.

Saya kemudian menyadari bahwa akademisi-akademisi terdahulu, para peneliti dan penemu pada abad-abad sebelumnya sama sekali tidak memecah belah seni dan sains. Justru mereka menjadi tokoh yang selain mampu memberi sumbangsih yang sangat luar biasa pada dunia sains, mereka juga adalah seniman yang handal. Sebagai contoh, Albert Einstein, tokoh scientist dibidang fisika penemu teori relativitas, selain jago dalam bidang fisika, Eisntein juga pandai dalam memainkan karya-karya Mozart dan Bethoveen.
The Rancakers 2

Bahkan dalam sebuah percakapan dengan teman yang mengambil mata kuliah Neuroscience, teori otak kanan dan otak kiri, yang banyak dijadikan landasan oleh orang-orang sebagai dasar bagi mereka dalam memutuskan apakah ingin fokus pada bidang sains atau seni, adalah hal yang tidak bisa dijadikan sebagai sebuah kemutlakan. Justru keseimbangan antara keduanya itu perlu, walaupun tetap akan ada yang mendominasi. Dan menurut pandangan saya pribadi hal itu bisa didapatkan salah satunya dengan mengkolaborasikan antara seni dan sains.

“…kalian bisa menghancurkan sebuah bangsa, membunuh mereka yang ada di dalamnya, namun mereka akan kembali bangkit dan bangkit. Namun ketika kalian menghancurkan budaya mereka, menghancurkan sejarah mereka, maka mereka tidak punya apa-apa untuk kembali. Mereka akan hilang dengan sendirinya…”

Kalimat tersebut adalah sebuah kalimat yang muncul ketika menyaksikan film the monument man, sebuah film yang menceritakan tentang sekelompok tentara yang mengemban tugas untuk melindungi karya seni di perang dunia kedua agar tidak hancur dalam perang. Sebuah tugas yang aneh melihat situasi dan kondisi pada saat itu. Namun, film ini mengajarkan akan pentingnya sejarah dan budaya untuk kita lindungi, karena itulah yang membentuk siapa kita dan apa kita. Bangsa tanpa budaya bagaikan gundukan semen yang tak berbentuk, bisa saja ia kuat dan keras, namun tak sedikitpun bernilai.

Sebagai representasi dari warga Indonesia, sudahkah kita mengenal Indonesia kita? Jika jawabannya “tidak”, mari terus berbenah diri, menyeimbangkan antara dunia seni dan sains. Jika jawabannya “iya”, kembangkan dan bantulah mereka yang ingin mempelajari budaya bangsa mereka.



Awardee LPDP PK 51


Ainun Najib Alfatih




Share:

Thursday, June 16, 2016

Memahami sudut pandang orang lain

Sudah hampir 7 bulan saya bergabung dengan salah satu NGO (Non Governtment Organsation) yang menangani anak-anak imigran, atau yang dalam ruang lingkup kerja, kami menyebutnya Unaccompanied Migrant Children (UMC). 
Saya bekerja sebagai staff pengajar yang bertanggung jawab untuk mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa inggris kepada para migrants ini, sebagai modal dasar mereka dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat lokal.

Diawal bergabung dengan NGO ini, saya merasa bahwa hal ini merupakan salah satu jalan untuk bisa melakukan kegiatan sosial dan merasakan bagaimana keseruan dan tantangan dalam berinteraksi dengan anak-anak dari berbagai negara yang harus meninggalkan negara mereka karena adanya ancaman bahaya dari baik dari segi agama, ras, atau perang di negara mereka.

Sebelum berinteraksi, saya dan staff lainnya diberikan sebuah pelatihan sekaligus pengenalan tentang kondisi dan situasi yang kemungkinan muncul pada saat kami berinteraksi dan melakukan kegiatan bersama para anak-anak imigran. 

Pelatihan ini menjadi sangat penting karena sebelum berada ditengah-tengah mereka kita harus terlebih dahulu memahami bahwa perbedaan budaya dan kebiasaan serta bahasa menjadikan masalah dan konflik sangat mudah terjadi. Gesekan-gesekan akan sering muncul jika kita tidak bisa memahami kondisi bahwa kita memiliki budaya dan kebiasaan yang sangat jauh berbeda dari mereka.

Ada tiga tantangan besar yang harus saya hadapi dalam mengajar anak-anak imigran. Yang pertama adalah bahasa, saya harus bisa dengan fluent mengajarkan mereka bahasa indonesia dalam bahasa inggris yang mana sebagian dari mereka hanya bisa berbahasa parsi dan belum lancar berbahasa inggris. Sebagai analogi, sama halnya jika saya ingin belajar bahasa parsi, namun proses belajarnya menggunakan bahasa jepang. 

Kedua adalah mengisi motivasi belajar, mengajarkan materi pelajaran kepada mereka yang tidak memiliki motivasi belajar seperti halnya mengisi air dibotol yang tertutup, it doesn’t work. Karena kebanyakan dari mereka telah patah arang dengan apa yang mereka alami, dan menjadikan proses belajar mengjar dikelas hanya sebagai sampingan dalam mengisi kekosongan kegiatan mereka selama berada di Indonesia. 

Ketiga adalah pengontrolan perilaku temprament, dari apa yang telah mereka alami dan hadapi, sikap temprament dapat sangat terlihat dari mereka ketika proses belajar mengjar berlangsung, terutama dengan interaksi sesama mereka. Hal yang wajar ketika kita berada dalam lingkungan asing dimana kita bertemu dengan orang-orang baru yang kita sama sekali tidak tahu.

Pada triwulan pertama proses penyesuaian menjadi sangat berat untuk bisa menghadapi tiga tantangan tersebut, metode belajar mengajar yang hampir tiap minggu diubah demi menyesuaikan mood mereka, merekrut tutor sebaya dari imigran yang sudah lancar berbahasa inggris, serta pemberian award bagi mereka yang aktif dan komunikatif didalam kelas. 

Namun, sejauh yang saya alami pada triwulan pertama, belum berhasil. Saya sempat merasakan pressure yang sangat besar, karena merasa belum bisa secara maksimal menghidupkan suasana belajar aktif dikelas, ditambah lagi persentasi kehadiran yang semakin berkurang, padahal variasi treatment dan metode sudah diterapkan.

Kemudian saya menyadari bahwa different perspective, menjadikan pola komunikasi kadang tidak berujung pada satu pemahaman yang sama. Dari hal inilah kemudian saya bertolak dari yang sebelumnya fokus pada metode balajar mengajar serta proses pemeberian award and punishmentberalih pada pendalaman pemahaman tentang bagaimana cara mereka berpikir dan memandang sesuatu, juga tentang apa yang menjadi landasan berpikir mereka.  

Alhasil, walaupun persentasi kehadiran mereka meningkat dengan lambat, namun tekanan yang kemudian saya hadapi berkurang karena sudah memahami dan mengetahui tentang bagaimana mereka berpikir dan apa yang menjadi landasan mereka dalam bersikap.

Dari hal ini kemudian saya berpikir bahwa memaksa seseorang untuk berada pada sudut pandang kita hanya akan berujung pada kata tidak sepaham, namun memposisikan diri pada teleskop berpikir mereka akan menjadikan kita mampu berkomunikasi secara baik. Dan itu adalah kunci dalam proses berinteraksi dengan mereka.


All in all, different perspective can be solved with putting our perspective to theirs.
Share:

Friday, January 22, 2016

Bapak Petani dan makna sebuah keterampilan

Sometimes we forget that we have to make something useful to make us immortal. Our body may be cannot live forever, but our ideas or our inventions can make us immortal. Writing.

Kisah beberapa bulan yang lalu,

“Perjalanan kadangkala mempertemukan kita dengan orang-orang tidak terduga”

Kalimat diatas saya tuliskan pada salah satu media sosial yang saya gunakan untuk mengungkapkan pengalaman saya pada perjalanan survey kali ini di Kabupaten Bulukumba. Tanggal 22 Agustus 2015, merupakan hari dimana kami, saya dan salah satu teman perjalanan, menarik gas ke Kabupaten Bulukumba untuk kegiatan survey. Pada kegiatan survey tersebut kami harus mendatangi beberapa kecamatan untuk mencari responden yang dibagi dalam dua kategori kuesioner, survey public dan survey inovasi untuk diwawancarai.  Perjalanan tersebut kami rencanakan selama tiga hari, waktu yang sebenarnya belum cukup untuk mengumpulkan sekitar 80 responden yang terbagi atas beberapa kategori. Namun hal tersebut kami lakukan untuk mengejar agenda lain yang tidak kalah pentingnya.

Bapak Petani dan makna sebuah keterampilan
Dihari pertama kami memutuskan untuk menyelesaikan salah kategori inovasi yang ditujukan untuk kelompok tani di desa Bontosunggu yang melaksanakan program penangkaran bibit padi. Pada kesempatan tersebut kami mendatangi rumah ketua kelompok tani untuk melakukan wawancara. Setibanya disana, kami disambut dengan sapa ramah dari seorang bapak paruh baya dengan senyum yang terkembang dibawah kumis lebatnya, yang kemudian kami panggil dengan bapak Sainong, ketua kelompok tani di desa tersebut.
Memulai percakapan dengan membicarakan bagaimana para petani disana merintis sebuah kelompok tani untuk mendukung pola kerja mereka dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen di desa tersebut. Proses wawancara berlangsung dengan sangat baik, bahkan kami mendapatkan banyak informasi baru dari hasil wawancara tersebut. Dari sekian banyak percakapan yang kami lakukan, saya kemudian terhenyak dengan komentar lepas dari salah satu responden kami,

“...saya heran dengan kualitas sarjana sekarang, sudah selesai kuliah tapi kemampuannya tidak lebih dari anak SMP di zaman saya. Keterampilan mereka kurang. Ada sesuatu yang kurang...”

 Menurut saya, apa yang disampaikan oleh bapak ini masuk akal. Melihat kapasitas beliau yang hanya tamatan SMA tapi memiliki peran yang luar biasa di kabupatennya. Beliau sering diundang untuk memberikan pelatihan kepada petani-petani di daerahnya, bahkan sering di panggil oleh dosen-dosen untuk membantu penelitian di bidang pertanian. Beliau menambahkan dalam salah satu percakapan bahwa kualitas keterampilan bekerja pelajar sekarang masih sangat kurang dan membuat kualitas mereka selepas menyelesaikan studinya juga kurang. Menurut pendapat saya, ini memang menjadi polemik dalam dunia pendidikan kita di Indonesia, sistem pendidikan terlalu fokus pada capaian kognitif semata tanpa memperhatikan dengan baik aspek soft skill yang dimiliki oleh para pelajar atau siswa. Sistem yang seperti ini kemudian akan menghasilkan lulusan yang hanya tahu teori namun tidak terampil dalam mengaplikasikan disiplin ilmu yang mereka miliki. Hal ini sangat berkaitan dengan keterampilan, yang hanya bisa berkembang jika dilatih setiap hari.

“..dimanapun kita, dan apapun yang kita lakukan, keterampilan akan menjadi aspek yang sangat penting bagi kita dalam melakukan interaksi didalam masyarakat. Karena pada akhirnya yang pandai berbicara dan memiliki nilai yang tinggi, akan kalah dengan orang yang terampil dalam bekerja. Karena masyarakat butuh aksi nyata, bukan aksi kata..”

Sebuah pelajaran bagi kita semua, karena kita terkadang sangat lupa dan luput akan arti sebenarnya dari proses belajar. Bukan hanya tentang setinggi apa nilai atau skor yang bisa kita capai, tapi seberapa banyak kita belajar dan paham pada apa yang kita pelajari, bukan pada arti kontekstual kita mampu menjawab semua soal ujian, tapi apakah kita sudah mampu mengaplikasikannya di masyarakat, pada kehidupan nyata, atau apakah kita sudah bisa mengambil makna atau hikmah dari apa yang telah kita pelajari.

Selamat dan semangat belajar!


Share:

Tuesday, January 19, 2016

Mau cara belajar yang mudah atau yang efektif?

Cara belajar adalah bukan sekedar tentang seberapa mudah cara belajar tersebut mampu untuk kita lakukan, akan tetapi seberapa bisa cara belajar tersebut untuk meningkatkan kemampuan yang kita butuhkan.

Sebuah percakapan disuatu sore,

“Sudahkah kalian menghafal teks video yang saya berikan ?” tanyaku pada siswaku di kelas bahasa Inggris,

“Belummmm, susah pak. Kenapa kita harus menghafalnya pak ? tanya salah seorang siswa.

“Emm... fokus kita untuk periode ini adalah meningkatkan kemampuan speaking kalian. Dan setelah saya menganalisis kemampuan kalian, yang menjadi permasalahan kalian adalah kurangnya vocabulariesyang kalian tahu, dan chungking serta stressing kalian belum bagus. Jadi salah satu cara untuk bisa meningkatkan itu adalah dengan memperkaya vocabularies kalian dan mengikuti cara bicara dari native speaker. Itulah alasan kenapa saya memberikan kalian tugas untuk menonton dan menghafal teks dari video yang saya berikan.” Jawabku menjelaskan.


“Emm, saya lebih suka dengan cara belajar A” kata salah seorang siswaku.

Saya kemudian membalasnya dengan tersenyum.

Perkataannya kemudian membuat ku berpikir dan menimbulkan dua pertanyaan,

Pertama, apakah cara belajar A mampu membantu mereka untuk meningkatkan skill yang mereka butuhkan? Jika jawabannya “iya” berarti cara belajar tersebut patut untuk diterapkan. Case closed.

Kedua, Apakah mereka menyukai cara belajar A karena memang mampu membuat mereka berkembang atau mereka menyukainya karena cara belajar itu yang mudah untuk mereka lakukan. Jika jawabanya cara tersebut mampu membuat mereka berkembang, artinya ada baiknya cara belajar tersebut kita terapkan secara menyeluruh. Tapi jika mereka menyukai cara belajar tersebut hanya karena alasan mudah untuk mereka lakukan, maka para siswa perlu untuk diingatkan kembali alasan kenapa mereka harus belajar.

Menurut saya, memilih cara belajar adalah bukan sekedar tentang seberapa mudah cara belajar tersebut mampu untuk kita lakukan, akan tetapi seberapa bisa cara belajar tersebut untuk meningkatkan kemampuan yang kita butuhkan. Kita terkadang masih tidak mampu untuk keluar dari zona nyaman kita dan memilih untuk melakukan cara belajar yang menurut kita mudah, namun tidak maksimal dalam meningkatkan kemampuan dan pengetahuan kita. Dan hal penting yang harus dipertimbangkan adalah cara belajar harus disesuaikan dengan pengetahuan/kemampuan apa yang ingin kita improve, contohnya kita tidak mungkin mampu menignkatkan  skill reading hanya dengan mendengarkan podcast, atau kita tidak mungkin bisa meningkatkan kemampuan skill listening kita hanya dengan membaca artikel international.


Semangat dan selamat belajar!

Share:

Sunday, January 12, 2014

Pergerakan, Literasi, Mahasiswa, Resolusi 2014 !

Tentang Resolusi, tentang pergerakan dengan cara yang berbeda, tentang mahasiswa yang berkumpul bersama dalam satu wadah, berjuang melalui jalur yang berbeda. Menulis.

Pergerakan, sering kita mendengar kata-kata ini di ketika menjejak kaki di wilayah kampus, di perguruan tinggi. Sebuah aktivitas yang-katanya-mulia demi menuntut hak yang tercecer dan tercecar oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh mereka yang memiliki kuasa lebih dibanding yang lain. Aku tidak tahu bagaimana sejarah dan bagaimana sebuah pergerakan didunia mahasiswa bermula, yang pastinya semuanya berlandaskan dari sebuah keinginan untuk mencari keadilan serta kebenaran. Dan dari apa yang saya pahami, membuat sebuah pergerakan artinya menggerakkan banyak manusia yang memiliki tujuan yang sama. Sudah banyak sejarah yang menceritakan pergerakan-pergerakan mahasiswa di Indonesia yang berhasil meraih apa yang menjadi tujuan mulia mereka, mahasiswa menjadi sahabat rakyat, sebagai pembela dan penyuara keadilan.

Dewasa ini sebuah pergerakan seringkali dikaitkan dengan demonstrasi, meneriakkan suara mereka yang merasa diperlakukan tidak adil di jalan-jalan. Walaupun pada hakikatnya tidak selamanya sebuah pergerakan berlabuh pada demonstrasi. Menilik sejarah-sejarah terkait peristiwa-peristiwa demonstrasi di Indonesia, terkhusus di Makassar, kata yang seringkali bersanding dengan kata demonstrasi adalah anarkisme. Sebuah kata sandingan yang akan selalu setia muncul ketika kita melihat media-media pemberitaan. Pergerakan mulai bergeser dari rel seharusnya dia berada, menurutku. Dan sudah saatnya kita melakukan pergerakan dengan lebih terdidik, pergerakan yang memperlihatkan wajah-wajah mahasiswa yang sesungguhnya, bukan pergerakan yang lantas menjadikan wajah kita sebagai mahasiswa tertutupi oleh topeng premanisme.

Sepertinya, sebuah pergerakan dengan cara yang elegan perlu kita gagas dan lakukan bersama.


Hari Sabtu, 12 Januari 2014, menuju pertengahan bulan pertama di tahun 2014. Inisiasi tentang pergerakan dengan gaya baru telah di gagas oleh sekelompok mahasiswa, bertajuk Resolusi 2014 sekumpulan mahasiswa dengan minat dan passion yang sama di dunia blog dan literasi berkumpul dan membentuk sebuah komunitas Blogger Kampus. Gaya baru dalam pergerakan, sebuah jalan baru untuk melawan stigma yang beredar di masyarakat luas tentang mahasiswa dan anarkisme yang selalu bersanding dalam setiap pergrakannya. Diharapkan komunitas ini mampu memperlihatkan geliat kepada masyarakat luas bahwa dibalik pemberitaan tindak anarkis dari teman-teman mahasiswa yang kerap muncul ternyata masih banyak hal-hal positif yang belum terekspos. Melalui komunitas ini pulalah, kita akan menghasilkan karya-karya besar yang bukan hanya akan menjawab gaya baru dalam pergerakan mahasiswa tetapi juga menjadi salah satu wadah dalam pengembangan budaya literasi di kalangan mahasiswa, terkhusus di Makassar. 

Pertemuan pembentukan komunitas Blogger Kampus yang bertempat di lantai 2 Gedung Pinisi Universitas Negeri Makassa ini  ini di hadiri bukan hanya dari mahasiswa Universitas Negeri Makassar, tetapi juga dari universitas lain, yakni perwakilan dari Unhas, Unismuh, UIM, UIN Alauiddin Makassar, Stikes Nani Hasanuddin, serta STIBA Makassar. Pertemuan ini juga mengusung sebuah resolusi yang akan berusaha diwujudkan di tahun 2014 ini, menghasilkan buku salah satunya. 

Semoga pergerakan gaya baru ini bisa membawa nama Makassar sebagai kota Literasi, bukan lagi kota Anarkis. 

Semangat Kawan !!


Share:

Sunday, December 8, 2013

Bertemu Mereka #2 Bocah Sawi Hijau

Masih dalam lingkaran yang sama dengan tulisan sebelumya Bertemu Mereka #1 Sendal Jepit dan eceng Gondok. Kali ini saya akan menceritakan tim lain yang saya bimbing, tim ini juga memiliki karakter yang unik. Terdiri dari Nanda yang sering juga saya panggil Jolanet, bocah kelas 1 berkacamata, aktif, cerewet, cerdas, kritis, suka mengatur, dan semaunya. Kemudian Ratri atau Michel yang juga bocah kelas 1, juga suka mengatur dan paling tidak suka fisika. Persamaan dari mereka berdua adalah pecinta korea dan suka dance, bahkan ketika saya bimbingpun mereka kadang asik sendiri dengan video korea. Pertama bertemu, dengan muka polos mereka saya beranggapan mereka bocah pendiam dan tenang. Apa yang saya pikirkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang muncul beberapa hari kemudian setelah pembimbingan, mereka pendiam dan tenang. hahahaha. Untuk tim ini saya dibantu oleh Ipong, adek di sebuah lembaga penelitian, untuk membimbing mereka karena saya juga harus membimbing 3 tim lainnya.
Ulang Tahun Ipong

Ada banyak hal lucu yang kemudian menjadi frame-frame yang terekam dalam aktifitas pembimbingan, baik itu disekolah, ataupun di luar sekolah. Mulai dari ide karya tulis yang gila, proses uji oba produk yang lagi-lagi harus saya yang menjadi kelinci percobaan sampai pada mengadakan surprise kecil-kecilan dihari ulang tahun Ipong. Jolanet dan ratri yang suka kucing sering datang di sekretariat lembaga untuk pembimbingan diluar sekolah untuk bertemu dua anak kucing yang kami pelihara di sekretariat lembaga, bahkan diberi nama Janet dan Jonet.

Penerimaan Piala
Dalam sikap aktif dan semaunya mereka, pengerjaan dan penyelesaian karya mereka ternyata dapat berjalan dengan baik, dan bahkan karya mereka yang menangkat judul pemanfaatan sawi hijau sebagai alternatif penguat gigi dapat lolos di salah satu lomba yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Biologi FMIPA UNM, dan meraih juara ke-II. Prestasi yang luar biasa mengingat ini adalah kali pertama mereka masuk kelompok ilmiah remaja dan mengikuti lomba.  

Saya berharap, kedepannya mereka bisa mencetak prestasi-prestasi yang lebih besar dalam even yang lebih besar, dan yang paling penting mereka bisa menjadi pemicu dan penggerak di sekolah mereka untuk membudayakan kebiasaan menulis dan meneliti.

Semangat buat kalian, bocah!

*Najib 2013

Share:

Bertemu Mereka #1 Sendal Jepit & Eceng Gondok

Permulaan dan Sendal Jepit
Kegiatan pembimbingan Kelompok Ilmiah Remaja di salah satu sekolah di Makassar kembali menjadi rutinitas mingguan yang harus saya jalani. Kali ini saya akan menceritakan tentang salah satu tim yang saya bimbing, tim yang berisikan tiga bocah dengan karakter yang berbeda, vega (DJ) sosok jutek dan selalu menunjukkan pemikiran yang berlawanan dengan apa yang saya pikirkan, kritis, kalau saya bahasakan sedikit sentimen dengan apa yang selalu saya sampaikan, dan juga sebagai biang bully. Rigel (FN) bocah cerdas dan penurut, walaupun kadang-kadang juga ikut dengan vega untuk mem-bully ketika saya serius menjelaskan, dan yang paling penting Rigel ini ratunya galau. Sirius (SA) sosok bocah yang satu ini juga memiliki karakter yang kontras dari kedua temannya, suka fotografi, agak tomboy, nah kalau tertawa suka lupa mengontrol volume suaranya. Tiga bocah inilah yang kemudian menjadi pemain dalam agenda tiap mingguan yang saya jalankan.

Menjadi pembimbing mereka salah satu modal yang harus dimiliki adalah k.e.s.a.b.a.r.a.n. Ulah dan sikap mereka yang semaunya kadangkala membuat saya kehabisan akal bagaimana harus mengatasinya, apalagi disaat saya sedang serius menjelaskan dan kemudian mereka memulai ritual bully yang merupakan hal paling mereka sukai. Terkadang hal tersebut berubah menjadi kegiatan yang sangat menjengkelkan, awalnya saya hanya diam dan memperhatikan. Namun lama kelamaan saya akhirnya bisa mengikuti dan menyatukan ritme dengan mereka, memahami bagaimana cara berpikir mereka dan berusaha menyesuakan diri. Tapi diluar semua ulah mereka, mereka sebenarnya selalu respect, kompak dan total dalam mengerjakan sesuatu. 

Dengan tingkah semaunya mereka, pernah satu kali saya harus rela berjalan di pusat perbelanjaan, di bioskop, di warung makan hanya menggunakan sendal jepit. Dan yang mereka lakukan hanya tertawa dan mulai mengatakan bahwa lain kali mereka akan mengikuti hal yang sama dengan saya, memakai sendal jepit kemana-mana. Dan dengan entengnya mereka kemudian menamakan kelompok mereka dengan nama SendPict plesetan dari singkatan sendal jepit. 

Eceng Gondok
Salah satu kegiatan yang berkesan adalah kegiatan mengumpulkan bahan baku dalam pembuatan karya tulis mereka, salah satunya eceng gondok. Setelah memberikan mereka petunjuk dan instruksi saya kemudian melepas mereka unuk mencari bahan dan alat yang diperlukan dalam pembuatan produk karya tulis mereka, setelah beberapa menit mereka pergi sebuah panggilan masuk ke handphoneku dan pemanggilnya adalah mereka, dengan nada memelas mereka menyuruhku untuk menyusul ke tempat pegambilan eceng gondok. Saya mengiyakan karena berpikir mungkin eceng gondoknya susah untuk diambil, mungkin jauh dari bibir bendungan. Namun sekali lagi ulah semaunya mereka, sesampainya disana mereka tertawa, saya kemudian melihat eceng gondok tersebut sangat mudah dipetik dan dicapai dari pinggir bendungan. Sekali lagi saya merasa dikerjai.
Eceng Gondok


Setelah bekerja keras, akhirnya karya mereka selesai setelah dua minggu lebih berkutat dengan laptop, kertas, dan eceng gondok. Dan hasilnya memuaskan, karya mereka bisa lolos di 15 besar dan berhak ikut untuk mempresentasikan karya mereka di depan juri.  Bahkan mereka berhasil meraih juara tiga pada lomba tersebut.

Disini saya mendapat pengalaman nyata bagaimana menjadi seorang pembimbing. Menjaga kedekatan dan mampu menyesuaikan diri dengan mereka, membimbing dengan cara yang mereka sukai, tidak memerintah dari atas namun memberitahukan dengan sejajar tanpa melupakan ketegasan dalam memutuskan sesuatu adalah hal mudah untuk mereka terima sehingga mereka nyaman untuk dibimbing .

Best Regard, untuk kalian bocah-bocah.

Penerimaan piala juara III

Foto bersama Vega, Sirius, dan Rigel




Share:

Friday, December 6, 2013

Mimpi Sejengkal dari langit-Siswa Desa Benteng

Catatan Pengabdian
Malam mulai mengisi sedikit demi sedikit langit Makassar, bersamaan dengan gerimis yang berlomba-lomba untuk jatuh ketanah, dingin mulai menyapa. Suasana ini kembali mengingatkanku pada frame-frame kenangan beberapa bulan yang lalu, di desa terpencil, desa yang jauh dari hiruk pikuk desing kendaraan bermotor, desa yang masih hijau dan dikelilingi oleh pohon-pohon besar, suasana pengabdian yang memberikan pelajaran berharga bagiku, memberikan sebuah pelajaran tentang perjuangan, tentang kesederhanaan, dan tentang hidup dalam keterbatasan. 

Desa Benteng, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, desa terpencil yang berjarak puluhan kilometer dari pusat kota Maros, sebuah desa dengan akses jalan yang sangat susah, pertama kali berkunjung saya sempat terbelalak melihat jalan yang curam, tidak beraspal, dan licin. Berkunjung di Desa ini seperti melakukan perjalan waktu berpuluh-puluh tahun ke masa lalu, listrik yang minim, jalan belum di aspal, serta sinyal handphone yang jarang. Desa yang dikelilngi oleh banyak pohon kemiri ini menyajikan keindahan alam sekaligus keramahan yang sudah jarang kita temukan di kota-kota besar. 

Di Desa Benteng, bersama dengan teman-teman dari LPM Penlaran UNM serta teman-teman dari Universitas-universitas lain dari luar Sulawesi (Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan dua tim dari Universitas Gajah Mada (UGM)) kami mengadakan pengabdian kepada masyarakat melalui beberapa kegiatan yang telah kami canangkan sebelumnya , mulai dari Nalar Mengajar, Nalar Mengaji, Pelatihan-pelatihan pengelolaan sumber daya alam, dan pelatihan pembuatan kerajinan berbahan dasar sumber daya alam yang tersedia di desa tersebut salah satu contohnya buah kemiri. 

Diantara banyak item-item kegiatan yang dicanangkan, saya kemudian mendapatkan tanggung jawab untuk melaksanakan Nalar Mengajar, kegiatan yang bertujuan untuk berbagi pengetahuan serta pengalaman kepada anak-anak desa Benteng. Karena desa benteng memiliki beberapa dusun, maka teman-teman di Nalar mengajar juga di sebar kebeberapa dusun tersebut, dan saya kemudian mendapatkan Dusun Lappattalle', dusun yang berjarak 5 km dari posko tempat saya menginap. 

Pengalaman yang seru dimulai dari sini.
Karena jarak yang jauh serta kendaraan yang terbatas maka setap hari akan ada panitia yang mengantar kami ke sekolah di Dusun Lappatalle tersebut, dan kami diantar secara bergiliran. Nah, pada hari pertama mengajar terpaksa untuk pulang kami harus berjalan kaki karena tidak ada panitia yang bisa menjemput kami pulang karena kegiatan yang juga berlangsung ditempat lain. Ini merupakan salah satu pengalaman paling berkesan, karena kami harus melalui jalan menanjak dan menurun sejauh 5 km, alhasil, sesamapi di posko saya harus mengistirahatkan kaki sampai tengah malam. hehehe

Mereka siswa yang pintar
SDN 182 Desa Benteng, merupakan nama sekolah di dusun Lappattalle' tempat saya untuk mengajar selama beberapa hari kedepan. Pertama datang kami disambut ramah oleh guru-gurunya, sekolah ini merupakan sekolah seatap, beberapa kelas harus di gabung dalam satu ruangan karena jumlah ruangan yang tidak mencukupi. Guru-guru disini hanya berjumlah sekitar 8 orang, dengan frekuensi kehadiran yang tidak selalu full karena jarak sekolah yang jauh dari rumah kebanyakan guru. Pada saat pembagian kelas saya mendapatkan kelas 5, kelas yang digambaran awal kepala saya berisikan anak-anak yang rewel dan nakal. 
Sebuah mimpi dari tanah sejengkal dari langit

Pertama kali masuk ke kelas saya disambut ketawa cekikikan dari siswa lalu tersenyum sembari berbisik-bisik dengan teman sebangku mereka masing-masing. Saya kemudian memperkenalkan diri dan sedikit bercerita tetang kehidupan di kota Makassar, mereka menanggapi dengan senyum dan diam. hehehehe. Perlu pendekatan lebih untuk bisa berbaur dengan mereka, saya kemudian menanyakan nama mereka satu persatu dan mencatatnya pada sebuah kertas, dan ini nama-nama mereka dibarisan paling depan ada Riska, Fitri, Ahmad, Mansur, dan Ramli, di barisan kedua ada Zaenal, Ilham, Akbar, Amma, dan Deni, lalu di barisan ketiga ada Halisa, Ana, Muallim, dan Alif. 

Di hari pertama saya mengajarkan matematika, pelajaran yang membosankan bagi kebanyakan siswa sekolah SD yang sudah saya ajar. Namun saya sedikit kaget melihat mereka antusias dengan apa yang saya ajarkan, bahkan mereka cepat dalam memahami apa yang saya jelaskan. semua contoh soal yang saya berikan dapat mereka kerjakan dengan baik, saya kagum. Bahkan disaat pulang mereka meminta untuk diberikan soal, dan yang menjawab dengan benar yang boleh pulang. Sangat mengagumkan bagi saya mendapat semangat belajar yang begitu besar dari anak-anak desa Benteng ini.

Di hari selanjutnya saya kemudian kembali masuk mengajar dan mengajarkan bahasa indonesia, saya kemudian menyuruh mereka membuat surat untuk Bapak Bupati Maros dan menjelaskan tentang mereka, sekolah mereka, serta keinginnan dan harapan mereka, dengan cekatan dan antusias mereka menuliskan apa yang saya perintahkan. Dan lagi-lagi saya kagum dengan apa yang mereka tuliskan, mereka bahkan salah satu dari mereka menuliskan kurang lebih seperti ini :

Kepada bapak Bupati

Assalamu Alaikum.
Kami siswa dari desa Benteng, sekolah kami sangat jauh, jalanan banyak yang rusak, kami harus berjalan jauh untuk bisa sekolah. bapak bupati, saya punya teman yang tidak sekolah karena tidak punya uang dan baju sekolah, 

semoga bapak bupati bisa membantu kami.

terima kasih.

Surat yang sederhana, tapi berisikan keinginan dan harapan mereka.

Dihari selanjutnya saya kemudian melatih mereka untuk tampil pada penutupan kegiatan Karya Bakti Ilmiah yang kami laksanakan. dibawah ini merupaka cuplikan mereka saat latihan untuk penampilan di acara penutupan.


Lagu :
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Puisi :
Disinilah kami,
Menapakkan kaki di tengah kerikil yang berserakan
Berjalan selangkah demi selangkah menuju gubuk ilmu
Katanya langit disini luas, Biru tanpa Polusi
Katanya langit itu tempat menggantung mimpi
Disini langit tinggal sejengkal
Berarti mimpi kita lebih dekat untuk digantungkan, iyakan ?
Kami punya mimpi ! Kami punya Cita-cita!
Disini, ditanah tinggi, tanah sejengkal dari langit.
Kami punya semangat,
untuk belajar,
untuk mimpi
untuk bercita-cita,

Demi kami,
demi desa
demi bangsa

Kami akan BANGKIT !

Lagu :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Tetap berjuang !
Kegiatan kami mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tapi saya berharap beberapa hari itu bisa menjadi sebuaha trigger dalam memicu dan memacu semangat dari anak-anak desa Benteng, terutama siswa-siswa yang saya ajar, untuk tetap belajar, berkarya dan mengejar apa yang mereka impikan . AMIN.

*Najib, 2013
Share:

Sunday, August 4, 2013

Pameran Penelitian LPM Penalaran UNM di Dies Natalis UNM ke-52


Dies Natalis
Dies Natalis merupakan hari ulang tahun berdirinya satu lembaga pendidikan tinggi, yang mana pada hari Kamis (1/8/2013) Universitas Negeri Makassar merayakan Dies Natalisnya yang ke-52, bertempat di ruang teater Gedung Pinisi lt. 3. Kegiatan akbar UNM ini dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Selatan. Dies natalis pada tahun ini mengusung tema "Pendidikan Integratif untuk Kemaslahatan Bangsa", sebuah tema yang mengandung makna sebuah penggabungan serta pengkoordiniran elemen-elemen pendidikan dalam penerapannya untuk menciptakan kemaslahatan bagi bangsa. Segenap civitas akademika UNM menyambut suka cita perayaan dies natalis tersebut, dan dimeriahkan dengan diadakannya pasar murah di dalam lingkungan kampus yang dilaksanakan selama 5 hari mulai dari tanggal 1 sampai 5 Agustus 2013. 

Pameran Penelitian LPM Penalaran UNM
Gambar 1 Pameran Hasil Penelitian Mahasiswa UNM
Salah satu bentuk antusiasme civitas akademika dengan perayaan dies natalis UNM adalah dengan melaksanakan pameran penelitian yang dilakukan oleh salah satu unit kegiatan mahasiswa Universitas Negeri Makassar, Lembaga Penelitian Mahasiswa(LPM) Penalaran UNM yang bekerja sama dengan pihak penyelenggara dies natalis. Pameran ini mendapatkan apresiasi yang besar dari para pengunjung yang menyempatkan diri untuk melihat-lihat banner penelitian yang dipajang.

Pameran penelitian ini menampilkan hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Bidang Penelitian dan Pengembangan LPM Penalaran UNM. Ada tujuh penelitian yang dipamerkan dalam kegiatan tersebut yaitu :

Gambar 2 Pameran Penelitian oleh LPM Penalaran UNM
  • Studi penyesuaian diri masyarakat asli desa Bone- Bone Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang dibalik pemberlakuan peraturan desa kawasan bebas asap rokok,

  • Potret Pergeseran Makna Budaya Ma’nene Di Kecamatan Baruppu Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan,

  • Pengaruh Tindak Tutur dalam Komunikasi Politik Terhadap Keterpilihan Seorang Tokoh Elit Politik (Studi Perilaku Masyarakat Kota Makassar Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan 2013),

  • Pola interaksi manusia berjari mappakka’ dengan masyarakat sekitar di Dusun Ulutaue, Desa Mario Kecamatan Mare’ Kabupaten Bone,

  • Uji Efektivitas Ekstrak Kayu Sepang (Caesalpinia sepang L) Terhadap Tingkat Penuruanan Kadar Glukosa Mencit (Mus musculus),

  • Representasi Tuturan Calon Gubernur Sulawesi Selatan Menjelang Pemilihan Gubernur 2013 (Suatu Analisis Wacana Kesopanan Berbahasa),

  • Pengaruh citra Universitas Negeri Makassar (UNM) terhadap daya serap lulusan UNM di perusahan-perusahaan besar di kota makassar.

Yang menarik adalah kisah dibalik pengerjaan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh anggota Litbang LPM Penalaran UNM tersebut, banyak suka maupun duka yang mereka hadapi dalam menyelesaikan semua penelitian diatas. Mulai dari minimnya biaya pelaksanaan sampai pada penjelajahan medan yang berat untuk mengumpulkan data penelitian. Namun dengan kesabaran serta ketekunan kendala-kendala yang mereka hadapi dapat teratasi, dan mampu menyelesaikan semua penelitian tersebut diatas.

Sebuah Bukti kepada Masyarakat
Gambar 3 Salah seorang mahasiswa UNM menjelaskan hasil penelitiannya
Karena Nila setitik rusak susu sebelanga, pepatah ini mungkin cocok untuk menggambarkan kondisi mahasiswa UNM sekarang ini. Tindak kekerasan dan anarkisme yang dilakukan oleh segelintir mahasiswa UNM beberapa waktu yang lalu mungkin telah membangun stigma negative tentang mahasiswa dan kegiatan-kegiatan yang mereka laksanakan, masyarakat memandang bahwa semua mahasiswa UNM adalah sama, pecinta tindakan kekerasan dan anarkisme. Ditengah stigma tersebut kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan oleh LPM Penalaran UNM ini menjadi sebuah bukti bahwa masih banyak sisi positif dari mahasiswa UNM yang bisa di tonjolkan sebagai sebuah prestasi.
Masih banyak sisi positif yang belum dilihat oleh masyarakat tentang gambaran mahasiswa UNM, tentang kegiatan-kegiatan mereka, tentang prestasi mereka, karena tertutupi oleh pemberitaan-pembertitaan aksi demo, tawuran dan tindakan anarkisme yang dilakukan oleh hanya sebagian kecil mahasiswa UNM tersebut, yang jika ingin kita reprsentasekan dari hanya 25% berbanding 75% mahasiswa lainnya yang melakukan banyak hal positif.

Bukan pula merupakan kesalahan masyarakat jika terbangun stigma negative seperti itu, karena media banyak memberitakan hanya pada sisi negative dari kegiatan mahasiswa UNM. Masyarakat mungkin tidak tahu tentang mahasiswa UNM yang berhasil lolos dalam pertukaran pemuda antar Negara di Kanada, tentang mahasiswa UNM yang lolos mengikuti Kapal Pemuda Nusantara, tentang mahasiswa UNM yang lolos mengikuti kegiatan nasional Sekolah Anti Korupsi, tentang mahasiswa UNM yang mengisi waktu luang mereka dengan melakukan penelitian dan diskusi ilmiah, dan masih banyak lagi prestasi-prestasi yang mungkin tidak terpublish di media. 

Sebagai mahasiswa UNM banyak jalan yang bisa kita tempuh dalam menyebarkan berita positif tentang UNM, menulis melalui Koran, Blog, ataupun menyebar dokumentasi kegiatan yang positif di youtube. Dan salah satu langkah yang mudah adalah dengan mengirim tulisan-tulisan terkait kegiatn-kegiatan positif yang dilakukan mahasiswa melalui situs cinta damai di http://cintadamai.or.id/.

Semoga melalui moment perayaan setengah abad keemasan berdirinya Universitas Negeri Makassar ini dapat menjadi sebuah langkah dalam mengalahkan stigma negative dari masyarakat dengan menyebarkan sebanyak mungkin pemberitaan positif tentang mahasiswa UNMyang mungkin masih belum diketahui oleh masyarakat banyak.

UniversitasNegeri Makassar, Tetap Jaya dalam Tantangan”
Share: