Showing posts with label Basineng. Show all posts
Showing posts with label Basineng. Show all posts

Tuesday, May 23, 2023

Terjebak Syukur

Basineng, pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Padahal semburat jingga dari ufuk timur sudah mulai naik memenuhi tigaperempat langit. Kita sudah kembali duduk dibangku kecil depan rumah. Dengan setelan baju rapi yang baru saja disetrika subuh tadi. Kita sedang mengumpulkan asa dan rasa untuk kembali memulai dan menjalani hari.

Jalan masih sepi, dinginnya angin pagi yang semakin terasa bersamaan dengan laju motor yang semakin cepat menjadi sensasi yang setiap hari kita rasakan dalam perjalanan menuju tempat kita bekerja. Kita masih tak memulai pembicaraan pagi itu. Kita masih terjebak untuk mengingat mimpi apa yang telah kita alami selama tidur tadi. Kita adalah dua orang yang terjebak dalam kata syukur dan toxic dalam waktu yang bersamaan. Padanan kata yang menunjukkan dua kosakata lama dan kekinian. Terjebak dalam kalimat "Syukuri yang sedang kamu jalani, karena mungkin masih banyak orang di luar sana yang mau berada di posisimu, dan melakukan pekerjaanmu" serta kalimat "Jangan mau lama-lama kerja dikantor yang lingkungannya toxic, tidak bisa membuatmu berkembang." 

Kita bekerja. Lalu pulang, makan dan kembali tidur. Besoknya pun begitu. Hari-hari selanjutnya pun begitu.

Kita sedang berada dalam fase yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya Basineng. Fase dimana cita-cita dan mimpi yang dulu kita gembar gemborkan seakan menjauh dan mustahil untuk diraih kembali. fase dimana jalan yang dulu kita tapaki menjadi semakin asing dan mulai menghilang tertutupi alang-alang. 

Kita mungkin sedang diuji, agar bisa kembali menapaki jalan yang makin terjal. Agar kita bisa menjadi lebih kuat menghadapi apa yang nantinya akan kita hadapi ketika kembali ke jalur dimana mimpi kita sedang melaju bersamaan dengan bertambah kuatnya kita. Ataukah mungkin kita sebenarnya sudah berada dijalur tersebut, hanya saja kita tidak sadar, kita luput untuk menyadarinya.

Ataukan kita sedang terabaikan? frase ini kadang-kadang terbersit dalam pikirku, membuat ragu. Apakah kita benar-benar berusaha? Apakaha usaha kita betul memiliki arti? Atau ini hanya fase kosong yang tidak berarti apa-apa, selain kita melemah dan bertambah tua?

Katanya kita kuat. Bersedih dan mengadu bukanlah kita. Kita adalah sosok yang selalu bisa bahagia dengan hal-hal yang sederhana. Kita adalah sosk yang mengayomi. Tapi dalam pembicaraan terkahir kita, kita sempat tertawa kecut ketika bertanya, "Lalu ketika kita goyah, siapa yang akan ada dibelakang kita dan menjadi sandaran?" Aku tersenyum, dan berkata "Siapa lagi Basineng, cuma kita berdua yang ada disini." Kau lalu kembali tertawa, berbalik dan menghilang dibalik cermin.


Share:

Friday, September 30, 2022

Jiwa-jiwa yang berjuang

Basineng, kita adalah manusia-manusia yang berjalan dengan terseok dimasa lampau. Kita adalah jiwa-jiwa yang patah namun memaksa untuk berjalan jauh, kita adalah perahu dengan layar yang terkoyak namun bertahan melawan badai.

Kita selalu berjalan dan melangkah maju dengan harapan bahwa di persimpangan jalan kita akan dikejutkan dengan kehadiran sosok yang bisa mengantarkan kita pada kebahagian, pada sosok yang sekiranya akan menjadi orang yang mengajak kita pada satu frase bahagia tanpa syarat.

Kita sudah berjalan jauh, bahkan sudah terlalu jauh. Dan kita hanya bertemu dengan ketidakpastian dan rerumputan dengan daun bergerigi yang menyayat lengan kita yang terbuka, memberi luka-luka kecil yang perih karena terpapar keringat. Kita sudah sangat jauh dari titik awal kita mengulum senyum, dari titik awal dimana kita percaya bahwa kita akan bertemu dengan apa yang kita rencanakan.

Basineng, kita selalu tertawa sambil meneteskan air mata disetiap istirahat kita, merasa lucu dengan apa yang sudah kita lakukan, dan merasa terpuruk dengan apa yang sudah kita dapatkan. Kita kadang merasa bahwa keputusan yang telah kita ambil tidak pernah benar-benar tepat, dan selalu menyisipkan penyesalan.

Apakah kita benar-benar bukan pembuat keputusan yang baik?

Apakah kita adalah jiwa-jiwa yang sudah terlanjur patah tanpa bisa kembali tegak walau berusaha sekuat tenaga?

Kita hampir menyerah, kita bagaikan tubuh yang sudah remuk tak bertulang.

Lalu pada satu kesempatan, kita dipertemukan dengan satu kalimat yang kemudian mengubah cara kita memandang langkah yang sudah kita ambil.

"Jangan mencari seseorang untuk membuatmu bahagia, bahagiakan dirimu sendiri, lalu cari seseorang yang bisa menambahkan kebahagiaan itu."

"Segala luka dan tantangan ada dalam kehidupan kita untuk membentuk kita menjadi sesorang yang memenuhi tujuan kita diciptakan, dan kita tidak akan pernah jadi seseorang yang memenuhi tujuan tersebut jika kita berhenti dan menyerah untuk melewati semua luka dan tantangan yang dunia sediakan buat kita."

"Terkadang bukan kebahagiaan yang tidak ada disetiap jalan yang telah kita lalui, mungkin kita hanya terlalu fokus pada apa yang tidak kita miliki, terlalu fokus pada apa yang kita lewatkan, bukan pada apa yang kita miliki dan telah lalui."

Basineng, mungkin  dulunya kita adalah manusia-manusia yang berjalan dengan terseok dimasa lampau. Namun, kita secara tidak sadar telah terbentur dan terbentuk. Kita bukan lagi jiwa-jiwa yang sama seperti dulu. Kita sudah semakin dekat pada pemahaman akan arti sebenarnya kebahagian tak bersayarat.

Gambar oleh David Mark dari Pixabay



Share:

Wednesday, March 16, 2022

Pengalaman dan kematangan berpikir

Basineng, apa kau ingat saat kita berada di sungai di arah barat kebun cengkeh kakek. Kita selalu bermain disana, menangkap belut atau sekadar merendam kaki kita yang baru saja menginjak lumpur bercampur kotoran kerbau.

Kita selalu suka bermain disana, merasakan dinginnya air yang sudah mulai tercampur dengan pestisida dari sawah yang berada disisi lainnya, sungai yang jernih tapi tak lagi aman untuk kita minum seperti waktu-waktu dulu.


Kita selalu suka untuk menghabiskan waktu sore disana, lokasi kedua yang paling sering kita datangi selain teras musallah di kompleks sekolah. Tempat yang tenang untuk bercerita tentang banyak hal. 

Suatu ketikak kau berceletuk, tentang seorang yang tua di kampung kita, yang begitu senang memamerkan umurnya yang sudah mencapai kepala enam, kepintarannya dalam berbagai hal dan bagaimana ia punya banyak pengalaman selama ia hidup. 

Kau terkesan tidak suka dengan tetua itu, entah kenapa kau berlaku demikian.

Sore itu, aku coba bertanya kepadamu, mengapa kau tidak begitu senang dengan tetua itu.

Kau diam beberapa saat, lalu memandang rumpun pohon bambu yang bergoyang diterpa angin dari ujung sawah.

"Lama bekerja ataupun panjangnya usia tidak pernah bisa menjadi tolok ukur mutlak akan kematangan cara berpikir seseorang dan kedewasaannya dalam bersikap." ucapmu sambil mengaduk-aduk lumpur dipinggir sungai dengan kakimu.

"Aku pernah sekali melihat tetua itu menendang kucing, menghardik anak kecil yang tidak sengaja menabraknya ketika berlari, tidak mau menerima saran dari lawan bicaranya, baik itu dari yang lebih muda ataupun sepantaran dengan usianya." Katamu.

"Tapi itu tidak berarti dia tidak berpengalaman bukan? dan bukan berarti bahwa dia tidak pintar dalam banyak hal." timpal ku kepadamu waktu itu.

"Wujud dari banyaknya pengalaman dan luasnya pengetahuan adalah sikap rendah hati dan keterbukaan. Tak pernah ia berwujud keangkuhan dan sikap anti kritik, apalagi perasaan lebih baik dari orang lain." jawabmu.

"Lamamu bekerja tak pernah jadi ukuran apakah kau mahir dalam pekerjaanmu, karena angka pada hari dan tahun, bukan hal yang membuatmu mahir, tapi kerja keras, ketekunan dan rasa ingin belajar yang membuat kau mahir dan berpengalaman. Lamamu menjalani hidup tak pernah bisa jadi ukuran mutlak kau telah dewasa dalam bersikap dan bertutur kata, karena yang penting adalah bagaimana proses kita menjalani hidup. Kadang ada yang hidup sebentar, namun hidupnya diisi dengan kerja keras dan perbuatan baik kepada sesama. Ada juga yang umurnya panjang, tapi hanya diisi dengan hal-hal sia-sia dan bagaimana iya menyusahkan orang lain disekitarnya." lanjutmu.

Kau sedikit bergeser untuk mengambil batu sungai lalu menggosok-gosokkanya di telapak kakimu.

"Punya pengalaman yang matang, berarti bisa menerima perbedaan, memahami sudut pandang, dan mau mendengarkan orang lain dengan sabar." ucapmu, sambil kembali mencuci kakimu.

"Dan yang terakhir, mereka yang punya ilmu dan pengalaman yang banyak, tak akan pernah bercerita kebanyak orang dan menggembor-gemborkan betapa ia punya wawasan yang luas dan pengalaman yang banyak. Mereka yang punya ilmu dan matang pengalamannya cenderung tidak bercertia banyak, sebaliknya orang-orang yang akan banyak bercerita tentang betapa ia punya ilmu dan wawasan yang luas." Ucapmu menambahkan, sembari mengambil sendal jepit yang kau simpan diatas batu besar di pinggir sungai. 

Kau bergegas, aku mengikutimu dari belakang. Matahari sebentar lagi tertidur di balik gunung Lompobattang, sebuah isyarat untuk pulang dan membersihkan teras mushallah sebelum magrib menjelang. Dan sore itu, aku kembali kau buat berpikir, tentang perkataanmu, tentang bagaimana mengukur kualitas bukan hanya dari angka dan tuturan manis orang lain.

Share:

Saturday, December 25, 2021

Something is missing!

Basineng, hari ini aku kembali teringat beberapa kilasan masa-masa kecil kita. Masa ketika kita berkumbul bersama dalam satu lingkaran dengan perantau-perantau kecil yang juga tinggal di rumah kayu sederhana bersama kakek dan nenek. Aku teringat betapa kesederhanaan yang ada pada saat itu adalah hal yang acap kali kita keluhkan, betapa sayur bening dan ikan kering menjadi hal yang membosankan bagi kita. 


Aku ingat ketika pada masa itu kita sering ke pasar untuk membantu seorang kakak untuk berdagang, hanya karena kita sangat menginginkan makanan warung selepas berkemas dagangan saat jam pulang. Kita merasa bahwa itu adalah kemewahan yang jarang kita dapatkan.

Aku ingat ketika datang kerumah Naba, teman sekampung kita, dan disuguhkan dengan makanan yang kaya rempah dan sayur yang menggiurkan, meski malu ketika di panggil makan, tapi itu adalah momen yang paling kita tunggu. Mungkin itu salah satu alasanmu selalu mengajakku kesana mendekati jam makan siang.

Sudah lama masa-masa itu mengabur, menghilang bersama ribuan pikiran lain yang saling timpa tindih di dalam kepalaku. Namun, seminggu belakangan, aroma ikan kering dan sayur bening yang hanya dipadu garam sering kali terngiang-ngiang di ujung kecap lidahku. Aku tak tahu Basineng, namun rasa-rasanya jalan hidup yang kujalani semakin mengecil dan membosankan. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya menikmati kegembiraan yang muncul ketika makanan tersaji dan kita saling berebut tempat agar lebih dekat dengan lauk.

Aku bekerja dengan sangat keras Basineng. Selalu berusaha melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin yang ku bisa. Dalam banyak kesempatan, aku selalu bisa menraih dan mencapai tujuan yang telah ku catat dalam buku agenda bersampul biru dengan lapisan kulit sintetis. Pun kadang ada kegagalan-kegagalan yang mengetuk di akhir usahaku, namun sejauh ini, aku bisa bertahan dan berdamai dengan itu. Namun akhir-akhir ini, aku merasa lelah Basineng, bahkan beberapa kegagalan mampu menutupi euforia pencapaian yang sebenarnya masih tehitung lebih banyak.  Terkadang aku berpikir, ada sesuatu yang hilang, Basineng. Ada sesuatu yang kulupakan. Namun semakin aku berpikir, semakin aku lupa, dan itu menyiksa.

Aku selalu ingin membangun percakapan lagi denganmu sehabis subuh di pelataran mesjid, sembari menyeruput teh manis dan pisang goreng yang sedikit gosong. Untuk sekadar membicarakan hal remeh yang akan kita lakukan hari itu.

Aku harap kau baik-baik saja disana, tak merasa lelah dengan apa yang sedang kau jalani sekarang. Semoga kau tak pernah merasa sendiri menjalani keseharianmu. 

Share:

Thursday, December 16, 2021

Siren, sang dirigen yang menyaru si rupawan

Basineng, Ia bak dirigen yang memainkan sebuah orkestra diatas panggung tak bertuan. Ia memainkan peran dengan sangat lihai, mengarahkan mereka, para pemain yang dengan antusias memainkan instrumen yang mereka pegang. Ia sangat lihai mempermainkan emosi dan perasaan penonton lewat gerak jemarinya yang bergerak bagai sihir dimata para pemusik.

Foto oleh Nayla Charo dari Pexels

Dalam balutan melodi yang melenakan, mereka-pemain yang mendekap instrumennya, penonton yang mempersembahkan telinganya- tidak sadar bahwa apa yang mereka dengar adalah buah hasut dari kebencian yang tependam yang dimainkan oleh sang dirigen. 

Ia adalah siren yang menyaru dalam paras rupawan, yang memancingmu dengan irama dan suara yang melenakan, lalu menenggelamkanmu kedalam palung terdalam laut dimana kau tidak akan pernah lagi melihat cahaya.

Basineng, aku kira mereka hanya mitos yang diceritakan turun temurun olah para tetua sebagai pelengkap acara keluarga untuk anak-anak kecil yang terjaga ditengah malam. Ternyata mereka adalah nyata yang terselip diantara hingar bingar aktivitas kita, dalam ritme cakap bersama di dunia kita berpijak.

Mereka nyata walau tak merujuk fisik, mereka nyata menggambarkan sifat dan perangai manusia yang terbungkus rasa iri, dengki dan hasut. Sebuah kombinasi kata sifat yang mematikan dan mampu membuat utuh menjadi terpecah, mampu membuat ragam menjadi tunggal, mampu membuat damai menjadi gelisah.

Basineng, tak pernah aku takut dengan berbagai mitos mahkluk mengerikan yang mungkin tetiba muncul dihapanku dan mengejarku dengan cakar dan taringnya yang panjang. Aku lebih takut kepada mereka yang rupawan dengan lidah dan bibir yang menyimpan racun, dengan mereka yang mampu bersandiwara untuk mengenggalamkanmu dalam lumpur yang paling kelam. 

Aku takut dengan mereka yang datang dengan wajah kawan, mendengar ceritamu, lalu memilin cerita itu menjadi tali jerat yang siap menggantungmu disaat lengah. 

Baru kali ini padaku tampak makhluk serupa Basineng, dan akhirnya aku percaya, makhluk mitos kadang diceritakan bukan hanya pemberi pesan tentang fisik dan tampilan yang menyeramkan, namun wajah rupawan yang kadang menyimpan buruknya hati yang jauh lebih berbahaya dibanting belati yang nyata ditenggorokanmu, namun sekumpulan jarum yang siap iya minumkan padamu.

Basineng, jika kau bertemu dengannya, ku sarankan larilah, menjauhlah, karena dekat ia akan menikammu, jauh ia akan melemparmu. Jika kau sedikit tidak beruntung, maka ia akan mengajak dan menghasut orang-orang yang kau panggil teman untuk mengejarmu dan membuatmu tak berdaya.

Ini bukan lagi sebuah mitos Basineng.

Share:

Monday, April 5, 2021

Jiwa yang merugi

Basineng, aku akhir-akhir ini semakin takut mengingat perkara umur. Kita sudah berada pada masa pertengahan jalan hidup rata-rata umat Rasul. Kita sudah jauh menapak tangga usia, namun masih belum yakin arah langkah yang kita pijak, menuju awan mendekati langit, atau kebawah terkubur lumpur.

Kita sering luput. Sering jauh dari garis pembatas yang harusnya bisa menuntun kita semakin dekat dengan Sang Pencipta. Namun bebal dan merasa tak terganggu dengan setiap peringatan yang seringkali menggutik.

Aku dan kau belum uzur, namun entah mengapa malam ini, malam yang baru saja menumpahkan hujannya membuatku terduduk dan memenungkan setiap episode dari perjalanan yang telah kita tapaki. Seberapa sering jalan kita mengarah pada kebaikan, atau seberapa sering jalan itu membuat kita semakin jauh dari hakikat kita diciptakan.

Kita pernah berlomba untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Memimpikan nama besar dan bisa dikenal oleh orang banyak. Mencoba mengejar tujuan-tujuan yang telah kita tulis di dalam buku catatan dengan gambar artis sinetron yang kita beli di warung samping sekolah seharga lima ratus rupiah. Tapi kita tidak pernah benar-benar serius dalam menuliskan rencana kita dalam mengejar hari setelah raga kita membusuk termakan tanah menyisakan belulang. Kita luput.

Foto oleh Ali ArapoÄŸlu dari Pexels

Kita memang sibuk Basineng, mencari dunia. Mencari cara agar kita bisa bebas finansial di hari tua. Mencari cara agar kita bisa hidup tenang dan layak dimasa dimana anak-anak kita sudah sibuk dengan pekerjaan dan urusan mereka masing-masing.

Kita sadar, bahwa dunia yang kita pijak ini hanya sementara, hanya sebatas pesinggahan pengembara. Kita mahfum bahwa kehidupan kekal bukanlah disini. Namun entah mengapa hati yang mengingat itu, tak berdaya dihadapan dunia, raga kita tak kuasa mengikuti kebenaran yang dititipkan Tuhan pada nurani. Pikiran kita tak sanggup beriringan dengan kata hati.

Usia kita bertambah tiap harinya Basineng, yang artinya umur kita semakin berkurang.

Aku takut ketika jiwa kita perlahan ditarik, kita masih dalam keadaan merugi. Shalat yang belum sempurna, puasa sunnah yang belum rutin, sedekah hanya sebatas ada, tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tanah suci, semua itu adalah bentuk kerugian kita sebagai umat yang disayangi oleh Rasulullah.

Basineng, aku tak mau melepas jiwaku dalam keadaan merugi. Aku tak ingin memaksamu, tapi sebagai sahabatmu, aku ingin kita saling mengingatkan, kembali berpegang kepada wasiat agama, menyerahkan dunia pada Yang Kuasa, tidak menghina tuhan dengan mengkhawatirkan rezeki, menjadikan shalat sebagai yang utama, menjadikan pekerjaan dan segala usaha sebagai wadah mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Share:

Friday, March 26, 2021

Perkara lain tentang keputusan

Basineng, sudah berapa tahun berlalu semenjak terkahir kali kita bermain kartu kwartet? Atau bermain bola takraw dilapangan sekolah, dimana suara shalawat mesjid yang menjadi batas waktu kita harus kembali pulang?

Waktu berlalu sangat cepat Basineng, kita sudah lama tak bersua untuk sekadar bercerita panjang tentang omong kosong dan hal sia-sia yang sudah kita lakukan beberapa tahun terkahir ini. Waktu yang cukup untuk rumput liar bertumbuh dihalaman rumah kayu nenek disudut lapangan kampung kita, tempat menghabiskan lebih dari satu dekade umur kita.

Kita sekarang sedang berada dijalan yang telah kita pilih masing-masing. Aku memilih untuk merantau, kau memilih untuk menetap. Aku ingat ketika itu, kita berdebat tentang pilihan kita masing-masing. Kau tinggal bukan tanpa alasan, bukan karena tak mampu atau karena takut menghadapi dunia luar yang seringkali di gambarkan begitu keras di televisi hitam putih nenek dirumah. Begitupun aku pergi bukan sekadar ingin mencari tahu seperti apa dunia di luar dari desa kita.

"Ada yang ingin aku capai, ada hal ingin kucoba, ada mimpi yang ingin kuraih." kataku diakhir debat panjang disiang yang panas waktu itu.

"Aku tak pernah menghalangimu untuk tujuanmu itu." katamu menimpali.

Foto oleh HARUN BENLİ dari Pexels

"Aku hanya ingin kau memahami bahwa hal paling penting dalam memutuskan sesuatu adalah bertanggung jawab dengan keputusan tersebut. Tidak sedikit yang begitu percaya diri memutuskan sesuatu, merasa bahwa mereka telah mempertimbangkan baik dan buruknya keputusan tersebut, tapi lupa bahwa bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil bukan sekadar tentang 'mengetahui' baik dan buruk. Tetapi bertanggung jawab dengan keputusan yang telah diambil berarti secara mental kita siap menghadapi perkara-perkara yang akan muncul diluar apa yang telah kita pertimbangkan. Karena mengambil keputusan bukan sekadar tentang pertimbangan terkait hal-hal yang telah kita ketahui, tetapi juga hal-hal apa yang kemungkinan akan menyambut kita, diluar apa yang kita ketahui." katamu.

Aku lama mencerna apa yang kau katakan. Hingga lima tahun pertama setelah perdebatan kita, akhirnya aku bisa memahami arti dari kalimat panjang yang kau lontarkan waktu itu. Dimana pada akhirnya aku berada pada posisi dimana keputusan yang telah kuambil menyerangku dengan berbagai perkara yang tidak pernah terlintas dalam perencanaan terburukku sekalipun. Aku berada pada posisi, dimana aku terjebak dalam kotak yang setiap sisinya menggambarkan hal-hal buruk dari setiap keputusan yang kuambil.

Aku bahkan sudah berada dianak tangga terakhir untuk menyerah dengan keputusan yang kuambil. Dengan turun selangkah dan aku sudah tidak lagi memegang tanggung jawab terhadap keputusan yang telah kuambil.

Namun, mengingat kata-katamu telah membantuku untuk membuka kotak itu, membebaskan beban yang ada didalam pikiranku, tentang benar tidaknya, salah tidaknya, atau tepat tidaknya keputusan yang telah kuambil. 

Ini semua tentang mental dan kesiapan akan hal-hal diluar dari apa yang telah kupertimbangkan, dari hal-hal yang kurasa telah kupahami dan siap untuk kuhadapi. Lari dari keputusan yang telah kuambil bukanlah jawaban yang betul-betul bisa menyelesaikan apa yang kuhadapi. Selama dampak dari keputusan itu tidak menjauhkanku dari Tuhan, jauh dari kebaikan, aku harus bisa bertanggung jawab dan siap dengan segala resiko dari keputusan tersebut.

Semoga kau baik-baik saja di sana Basineng, dan semoga kita bisa kembali bertemu, di rumah kayu nenek di sudut lapangan. 

Baca juga: Perahu Kayu

Share:

Saturday, June 6, 2020

Kekeyi dan Budaya Perundungan (bully)

Hari ini lagi-lagi aku harus meleraimu Basineng. Sikap tempramentalmu sepertinya harus sedikit dipangkas. Aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan, kau selalu membela seseorang yang bahkan tidak kau kenal. Aku acap kali menegurmu, berusaha menyadarkanmu bahwa kau bukan Robin Hood, bukan Oliver Queen di serial Green Arrow yang punya kemampuan untuk membela setiap orang yang kau temui atas dasar kemanusiaan.

"Kau harus realistis Basineng, ini bukan dunia drama yang seringkali kau tonton di Netflix." Ucapku kesal sambil mengelus pipiku yang terkena tamparan ketika meleraimu.

"Apasih untungnya kau menghardik mereka untuk tidak mencemooh Kekeyi. Kau bahkan tidak kenal dengan dia. Dan dia bahkan tidak ada disana." Sambungku, sambil menatapnya tajam kepadamu, yang bahkan sama sekali tidak mencoba untuk mendengarkan apa yang kukatakan.

Kau masih diam, sembari merapikan kemejamu yang jadi lusuh dan berdebu karena bergelut dengan dua orang remaja tanggung di cafe tempat kita diusir barusan.

"Sepertinya kebiasaanmu menonton karakter vigilante di film superhero harus di kurangi, itu sedkiti banyak memengaruhi cara kerja otakmu." Ucapku sambil berjalan berusaha mengikutimu yang ternyata sudah beranjak pergi.

"Aku bukannya mau sok bersikap pahlawan kawan. Perundungan menjadi hal yang lumrah sekarang, dianggap bahan bercandaan, dianggap sebagai tren yang keren bagi mereka yang melakukan. Sebuah ritual untuk membuktikan bahwa suatu pribadi atau kelompok lebih baik dari yang lainnya." Ucapmu setelah berjalan pelan di taman kota tidak jauh dari cafe tadi. Sembari menikmati angin yang menghempas lembut kala kau sandarkan punggungmu di bawah bayang teduh pohon rindang di pinggir taman.

"Apa kau tahu apa hal yang paling berbahaya dalam menggerus moral kawan?" Tanyamu padaku, tanpa memalingkan matamu, hanya berfokus memandang langit yang abu-abu, redup tanpa ada kilau biru dari langit.

"Aku tidak tahu." jawabku singkat, menolak untuk berpikir keras untuk menanggapi pertanyaanmu yang terlalu filosofis. 

"Hal yang paling berbahaya adalah ketika kita menganggap bahwa apa yang merusak sebagai sebuah candaan, sebagai hal lumrah yang tidak perlu untuk dikhawatirkan. Hal yang paling berbahaya adalah ketika kita lalai dan lagi abai untuk bisa memahami bahwa hal-hal kecil seperti itu bisa berdampak besar bagi kehidupan seseorang."

"Kita takut menegur karena tidak mau dianggap lebai. Kita tidak mau dianggap sebagai outsider karena tidak ikut-ikutan memberikan komentar sinis. Kita menganggap Kekeyi sebagai sosok yang seringkali mencari sensasi agar bisa terkenal kembali setelah meredup dari viral pertamanya dengan make up balonnya. Dan itu kita gunakan sebagai pembenaran untuk mencemooh dan memberikan komentar sinis dan negatif kepadanya. Dan itu tidak benar kawan. Itu bukan sesuatu yang bisa kita biarkan, sampai pada akhirnya generasi kita dimasa mendatang memandang bahwa itu adalah hal yang lumrah. Menghancurkan mental orang lain bukan lagi dianggap sebagai sebuah kesalahan, malah dianggap sebagai sebuah tindakan yang heroik." Lanjutmu. Ku lihat air mukamu berubah, air muka yang selalau muncul ketika kau menahan marah. 

"Kita mungkin bahkan tak menyadari bahwa, kebanyakan dari mereka mencemooh bukan karena sensasinya. Tapi karena penampilan fisik yang dianggap tidak sesuai dengan standar mereka, ditambah dia melakukan hal-hal sensasional untuk mencari perhatian, seperti menambahkan pembenaran untuk mereka berlaku seenakknya dengan mental seseorang. Kita lupa bahwa Kekeyi bukan boneka, yang tidak akan merasa sakit ketika dihujat." 

"Sepertinya bukan kebiasaanku menonton film superhero dan vigilante yang harus di kurangi kawan, tapi porsi video girlband dan boyband korea yang selalu memberikan gambaran bahwa menjadi tampan rupawan, cantik dan lentik sebagai sebuah standar dalam berkarya." 

"Aku tidak membernarkan caranya mencari sensasi kawan, tapi aku juga tidak pernah sepakat ketika kita menjadikan kekurangan atau sensasi tersebut sebagai pembenaran untuk mencemooh." Lanjutmu. Kau menghela nafas lalu berdiri dan membersihkan celanamu yang menjadi tempat rumput-rumput kering menggantung. 

"Sama seperti aku tidak sepakat kalau sesuatu harus diselesaikan dengan bergelut, apapun alasannya." Sambungku, mencoba menyadarkanmu bahwa aku sepakat denganmu bahwa perudungan bukan hal bisa kita biarkan dan anggap sebagai sebuah candaan, seperti halnya melawan segala sesuatu dengan kekerasan bukanlah solusi terbaik yang seharusnya kita ambil.


Foto diunggah dari Google




Share:

Wednesday, June 3, 2020

George Floyd dan Teori Evolusi Darwin

Siang ini terik. Tak ada satupun awan yang berkejaran di langit. Kau sedang duduk terdiam di bawah pohon rindang di sudut lapangan kompleks sekolah. Berberapa hari yang lalu kita memutuskan untuk mengunjungi kembali sekolah ini, sekolah yang menyimpan banyak kenangan tentang bagaimana kita bertumbuh dan memperbaharui diri. 

Tempat yang mengajarkan kita bahwa menjadi manusia terdidik lebih dari sekadar duduk diam dibalik kursi dan menurut apapun yang dikatakan oleh guru. Kau selalu bilang, proses belajar adalah proses dua arah, belajar bukan hanya mendengar dan mengiyakan. Belajar adalah meragukan, kebingungan, bertanya lalu sepaham. Jika hanya manut tanpa bertanya, kita tidak sedang belajar, kita sedang didikte. 

Aku masih ingat kalimat itu, kalimat yang keluar ketika kita berdiri di lorong sekolah, dihukum karena kau bertanya keabsahan teori evolusi Darwin. Kau kekeh mengatakan teori itu tidak benar kepada pak Amin, guru sejarah kita waktu itu, 

"karena jika kita berasal dari kera dan berevolusi mejadi sebaik-baik manusia yang sekarang, kenapa setelah jutaan tahun ada pada wujud ini, kita berhenti berevelosi?" Ucapmu kala itu. 

Aku hanya diam, dan bertanya-tanya kenapa aku juga harus dihukum berdiri di lorong sekolah hanya karena menyuruhmu berhenti berdebat dengan pak Amin.

"Aku ingat kita pernah menghabiskan banyak waktu di sini." Ucapmu ketika kusandarkan bahuku di sisi lain pohon tempatmu berteduh.

"Ya, terasa seperti kemarin." Balasku singkat.

"Iya, seperti waktu kita dihukum berdiri di lorong sekolah." Lanjutmu.

"George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun. Ia tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis yang menahannya." Ucapmu lirih. Aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba mengucapkan hal itu, potongan kalimat dari berita yang beberapa hari ini menjadi perbincangan hangat dunia, bahkan memicu banyak protes dan kericuhan di Amerika sana.

"Dia berkali-kali memohon untuk dilepaskan, dia kesakitan karena lehernya tertindih lutut polisi yang menahannya. Ia bahkan sempat menangis dan memanggil ibunya sesaat sebelum tewas. "Lututmu di leherku. Aku tidak bisa bernapas... Mama. Mama," Ucapmu mengikuti perkataan George sebelum ia tewas.

Aku tahu kau sangat sensitif dengan berita-berita seperti itu Basineng. Aku ingat kau pernah memukul anak kepala desa karena dia mengerjai anak baru disekolah, anak papua yang baru pindah kesekolah kita. Matanya lebam dan menangis pulang kerumahnya. Kau tak datang kesekolah selama dua minggu karena dihukum. 

"Kenapa agama, suku, latar belakang keluarga, strata sosial, warna kulit selalu menjadi kotak pemisah bagi kita satu sama lain. Menjadi pembatas yang selalu berhasil menjadi pemicu kebencian. Kenapa kita harus merasa berhak atas orang lain hanya karena hal-hal seperti seperti itu? Kenapa kita mudah merasa lebih baik dari golongan lain?" Suaramu bergetar, kau sedang menahan tekanan amarah yang kembali terusik karena berita kematian George Floyd, seseorang nun jauh disana yang bahkan kau tidak kenal.

Orang lain mungkin akan merasa heran melihatmu marah seperti itu Basineng, bahkan mungkin akan mengatakan kau terlalu berlebihan menanggapi berita. Tapi aku paham kenapa reaksimu seperti itu. Tidak banyak yang tahu, bahwa kemarahanmu itu berasal dari pengalaman hidupmu, dari perlakuan yang kau dapatkan sejak kecil. Menjadi anak albino dan hidup dilingkungan yang masyarakatnya berpikiran sempit membentukmu menjadi sosok yang sangat sensitif dengan isu agama, suku, latar belakang keluarga, strata sosial, dan warna kulit.

"Mungkin manusia tidak benar-benar berevolusi sepenuhnya kawan, mungkin yang berevolusi hanya fisik dan penampilan kita saja, dari kera berbulu tak berakal, menjadi sapiens seperti kita sekarang. Tapi, hati dan insting liar kera itu masih ada di sudut hati dan pikiran kita. Yang dengan mudahnya muncul ketika bersinggungan dengan warna kulit, agama dan latar belakang suku." Lanjutmu, sembari berdiri dan berjalan menuju gerbang. Kau sudah ingin pulang rupanya.

***


Rest In Peace



Share:

Thursday, May 28, 2020

Lupa Monolog

Tapi kurasa aku bukannya lupa cara bercerita, aku hanya lupa kepada siapa seharusnya aku bercerita. 


Basineng,

Entah ini bulan keberapa aku lupa bagaimana cara menumpahkan luapan perasaan yang selalu mengaduk-aduk di ruang amygdala otakku. Mungkin itu salah satu alasan aku tak pernah lagi menulis surat padamu Basineng. 

Aku lupa caranya bercerita, luapan perasaan selalu mendahului ritme kerja jemariku untuk menulis, menjadikannya kebas dan lumpuh. Menjadikan aliran perasaan itu berputar dan menumpuk didalam diriku. Menunggu waktu yang tepat untuk menciptakan lubang-lubang kecil yang berujung pada pecahnya pertahanan diriku Basineng. 

Aku selalu berkata kepada diriku sendiri bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja pada waktunya, kita hanya perlu bersabar dan bersyukur. Seperti yang selalu kau katakan padaku, bersyukur dan bersabar. Aku tak pernah ingkar dengan dua kata ini Basineng, tapi terkadang, aku menemukan bahwa segala kata dan kalimat penenang yang kau berikan padaku, termasuk kata sabar dan syukur ini menjadi antibiotik tanggung yang tak lagi berguna pada porsi sedikit, buncah perasaan ini layaknya bakteri yang terus berevolusi dan menginfeksi ruang rasa di hati dan otakku, semakin kuat menyerang sejalan dengan semakin kuatnya tameng rasa yang kubangun. 

Aku tak tahu dimana rasa ini akan bermuara, Basineng. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, bahwa bendungan yang kubangun untuk menampung segala perasaan yang tertumpah dari emosi negatif yang hadir karena ketidakpuasan ekspektasiku akan bisa terhadang. 

Nyatanya, aku sedang tidak baik-baik saja Basineng. Terkadang aku menemukan diriku berada disebuah rawa hitam yang siap menelan dan menenggelamkanku kedalam gelap dan dinginnya kedalaman air keruh. Aku sedang tidak baik-baik saja Basineng. 

Kamis, dipenghujung bulan.
Teman Baikmu, AL.

"Kau hanya lupa dimana harusnya bercerita kawan" Tulismu dalam pesan singkat yang kau kirimkan padaku pagi ini. Pesan yang kau tulis setelah membaca surat digital yang kukirimkan untukmu.

"Seperti yang kutulis disuratku Basineng, aku tidak lupa untuk bercerita padamu, aku hanya lupa caranya bercerita, luapan perasaan selalu mendahului ritme kerja jemariku untuk menulis" Balasku.

"Aku tidak berbicara tentang diriku kawan, aku hanya alternatif, aku bukan balasan atas pernyataanku sebelumnya" 

"Maksudnya?" Tanyaku singkat, tidak paham dengan kalimat yang baru saja kau kirimkan padaku. Aku selalu bercerita padamu Basineng, tentang keluh kesahku, tentang bahagia yang sedang singgah atau tentang rasa makanan yang kucibiri di kedai-kedai yang kita singgahi di waktu yang lalu.

"Aku hanya fana yang kau ajak bercerita, yang hanya bisa menjadi pelepas penat sementara dari luapan perasaan yang sedang mengaduk-aduk hati dan kepalamu, aku hanya jembatan yang menyulam kata untuk menunjukkan padamu kepada siapa kau seharusnya bercerita.

Di cerita-cerita sebelumnya, kau selalu bisa tenang dengan kalimat-kalimat yang kusampaikan, tanpa harus mencari lebih jauh kepada siapa seharusnya kau bercerita tentang semua keluh kesahmu, tentang semua luapan emosi yang membuatmu tidak baik-baik saja." Kali ini kau membalas dengan sangat panjang Basineng, butuh waktu bagiku untuk mencernanya. 

"Kau lupa dari mana aku mengutip setiap kata penenang yang kusuntikkan ke dalam telingamu" Lanjutmu.

Aku tertegun membaca sambungan pesan yang kau kirim agak berjeda dari pesanmu yang sebelumnya. 

"Kau lupa Tuhanmu kawan, kau lupa bercerita kepada-Nya. Kau selalu menjadikanku pilihan pertama dalam berbagi rasa dan resah, dan lupa bahwa aku hanya manusia yang tidak punya kuasa atas hatimu. Percakapan kita hanya bersifat sementara, karena aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bisa menjadi pendengarmu, dan sesekali menghibur dan memberikan petuah atau kalimat motivasi yang membuatmu tenang. 

Namun, hatimu, dan segala buncah dan riak didalamnya, kau harus memercayakannya kepada Dia yang memberimu kuasa untuk merasa. Berceritalah padanya, kau mungkin tak akan mendapatkan timbal balik layaknya ketika kita sedang berbagi cerita, namun, hatimu akan merasakannya. 

Mungkin ini terlalu abstrak bagimu kawan, tapi percayalah, tidak ada percakapan paling hidup dibanding percakapan satu arah antara kau dan Tuhanmu. Mungkin kau lupa bahwa monolog di sepertiga malam bisa menjadi jawaban atas semua resahmu, atas semua masalah yang kau hadapi." 

Aku tertegun untuk kesekian kalinya Basineng. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar membaca potongan terakhir pesan yang kau kirim. Aku lupa, kadang kau bisa menjadi sangat tidak tertebak. Kudapati ada genangan diujung mataku Basineng, sedikit memalukan. Tapi kurasa aku bukannya lupa cara bercerita, aku hanya lupa kepada siapa seharusnya aku bercerita. 


Foto oleh Ainun Najib
Share:

Wednesday, May 27, 2020

Kita bukan pemegang kendali Basineng

Keberhasilan itu relatif, mereka berhasil mendapat piala, tapi tak belajar dari proses yang mereka jalani, kita kalah, tapi mendapatkan banyak pelajaran dari tiap langkah kecil yang kita tapaki, berkembang seiring waktu yang kita habiskan untuk mencapai apa yang kita impikan. Apa ada yang lebih penting dari itu kawan?

Basineng, beberapa bulan ini kegiatanku terasa sangat padat. Ada banyak hal yang harus dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Itu juga yang menjadi salah satu alasan kenapa aku baru menyapamu lagi dalam tulisanku. 

Aku pernah bercerita kepadamu tentang bagaimana aku sangat menginginkan sesuatu untuk berjalan seperti yang telah aku espektasikan sebelumnya, seperti apa yang telah aku rencanakan di kertas sticky notes pada tiap malam sebelum aku tidur. 

Namun seiring berjalannya waktu, kita sebagai manusia hanya perancang dari apa yang kita inginkan dan rencanakan, kita tak pernah sepenuhnya memegang kendali. Aku dulu mempercayai ini hanya sebatas kalimat mutiara penghias acara seminar motivasi, tapi, aku merasakannya Basineng. Merasakan bahwa segala rencana yang telah kau lakukan tak selamanya bisa kau wujudkan.

Disaat bersamaan, terkadang kita bertemu dengan kontradiksi dari kondisi yang kita alami, Basineng. Kau kadang harus bertemu dengan oang-orang yang telah terberkati dengan segala kelebihan yang mereka bawa sejak lahir. Bahkan ketika mereka tidak berusaha keras, mereka bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan. Paling tidak, kelihatannya seperti itu dari tempatku memandang sekarang. Seperti kita berada dalam sebuah perlombaan dengan titik mulai yang berbeda, jauh berbeda. 

Beberapa dari mereka, terkadang masih menyapa dan tersenyum, memandangmu sebagai sebuah kesetaraaan akan garis awal yang berbeda. Namun, tidak sedikit juga dari mereka yang merasa bahwa kita berada pada garis yang sangat berbeda, bahkan tidak pernah akan bisa sepadan sekeras apapun kita berusaha.

Kau tahu ceritaku Basineng, kita pernah berjuang bersama, dan kita tahu bagaimana rasanya mencapai sesuatu yang kita mulai dari dari titik nol, atau bisakah kusebut dari titik minus? Jadi, mungkin kau paham dengan apa yang kurasakan. Terkadang aku sangat jengkel melihat para tuan muda yang kadang meremehkan arti setapak yang telah kita lewati Basineng, arti peluh dan jerih payah yang kita lakukan.

Aku sangat jengkel dengan tingkah manja mereka yang memaknai kerja keras dengan seberapa keras mereka memaksa orang tua untuk memenuhi apa yang mereka inginkan. Aku sebenarnya tidak peduli Basineng, itu orang tua mereka. Sayangnya di banyak kejadian yang kita lalui, orang tua mereka adalah pengambil keputusan untuk titik akhir perjuangan kita.

Seperti kata pepatah, darah lebih kental daripada air, buat apa mengambil yang jauh, jika kerabat masih ada yang bisa dipilih. Dan di sinilah kita, dalam bejana kegagalan yang dibangun oleh mereka yang punya kendali dan kuasa.

Aku tahu, kau pasti akan membalas tulisanku ini dengan kalimat yang akan menenggelamkanku dalam kalimat untuk menyuruhku bersyukur dan bersabar. Kalimat-kalimat bak motivator yang kau lemparkan ke kepalaku,

"Keberhasilan itu relatif, mereka berhasil mendapat piala, tapi tak belajar dari proses yang mereka jalani, kita kalah, tapi mendapatkan banyak pelajaran dari tiap langkah kecil yang kita tapaki, berkembang seiring waktu yang kita habiskan untuk mencapai apa yang kita impikan. Apa ada yang lebih penting dari itu kawan? Mari bersyukur dan bersabar, tidak ada tameng paling kuat dibandingkan dua kalimat itu, bukankah itu janji Tuhan?"

Dan sayangnya, aku memang hanya bisa berpegang pada dua kata itu. Bukankah kita memang bisa berjalan sejauh ini karena mengantongi dua kata itu dalam tiap perjalanan yang kita mulai? Aku selalu paham itu Basineng.

Aku menulis ini bukan untuk berkeluh kesah atau menggerutu padamu Basineng. Aku hanya, ingin menuliskannya, dan berharap bahwa sebagian atau keseluruhan penat dan kesal yang kurasakan akan tertumpah dan mengering bersama tulisan ini. Setidaknya itu yang kuharapkan.

Semoga kau selalu dalam kondisi yang baik Basineng, aku akan menyapamu lagi dalam suratku yang lainnya.

Foto oleh Ainun Najib
Share:

Wednesday, January 3, 2018

Pedagogik dan guru yang salah memilih senjata

“Kita sudah tidak relevan lagi Basineng, kita sedang kekurangan senjata untuk bisa menjadi pengajar dan Pendidik yang baik, dunia terlalu cepat memacu diri, kita tertinggal” aku melempar kalimatku di pagi berembun, di hari pertama tahun baru ini. Kita memutuskan untuk melepas tahun yang sudah menua dengan mendaki, menghabiskan malam dipuncak tertinggi yang bisa kita capai. Kegiatan yang bagi sebagian orang adalah hal yang membuang-buang tenaga dan waktu, yang bagi sebagian orang menikmati kembang api ditengah hingar bingar kota adalah cara yang paling tepat untuk menyambut pergantian tahun. Tapi bagi kita adalah sebuah jalan perenungan. 

Kabut perlahan menjauh, memberikan pemandangan yang semakin jelas, kita sedang memandang dari ketinggian, memandang redup lampu yang mulai terganti dengan mentari yang semakin jauh menapak langit.

“Kita adalah tentara tua yang masih menggunakan bambu runcing dalam berjuang melawan penjajah, sedangkan lawan kita adalah tank-tank yang siap melumat. Kita kalah bahkan sebelum kita menapak untuk melawan.” Aku melanjutkan kalimatku, berharap kau bisa menanggapinya agar pagi ini tidak berlalu dengan sekedar menyeruput teh dan menikmati rasa asin dari mi instan yang kita seduh subuh ini. Kau masih diam. 

“Kau tahu Basineng, banyak dari kita, mungkin termasuk aku dan kau sendiri, mengaku sebagai pengajar, mengaku sebagai guru yang ingin mencerdaskan bangsa, sebagai ujung tombak dalam membangun fondasi bangsa dengan menciptakan generasi-generasi yang mampu berjuang dan bertahan dalam menghadapi dunia yang semakin kejam, dunia yang menyajikan banyak tantangan yang terkadang jauh lebih besar dibanding apa yang bisa kita perkirakan.” Lanjutku. 

Aku terdiam beberapa saat, menunggu kau berkomentar, beberapa saat. Tapi kau masih diam. 

“Kita punya mimpi yang besar untuk menciptakan generasi yang seperti itu, tapi kita memilih senjata yang salah, atau lebih tepatnya, kita hanya tahu senjata yang sering dipakai dimasa lalu, senjata yang tidak lagi relevan untuk kita gunakan disaat sekarang ini, senjata yang hanya mampu mengantar kita menciptakan generasi penghafal.” Aku masih menunggumu untuk menanggapi kalimat-kalimatku, kulihat kau masih asik dengan gelas yang menempel dibibirmu, menikmati hangat yang mengalir ditenggorokanmu ditengah dingin yang menyelimuti. 

“Selama ini aku berusaha menggunakan berbagai metode dan pendekatan, menyusun rencana pembelajaran dengan sebaik-baiknya, tapi terkadang, aku masih kalah Basineng.” Aku diam dan memberi jeda pada kalimatku. 

“Aku tidak tahu apa yang salah Basineng, lebih tepatnya apa yang sudah terlewatkan?” 

“Kau tahu pedagogi dalam pembelajaran?” kau bertanya mendahului kalimat yang baru saja akan kuucapkan. 

“Iya, aku pernah mempelajarinya. Itu adalah dasar, pengetahuan yang menjadi fondasi bagi setiap pengajar, bagi setiap orang yang mengakui dirinya sebagai guru. Sebuah ilmu yang menjelaskan bagaimana ilmu itu disampaikan, bagaimana ilmu itu diberikan kepada peserta didik. Kurang lebih, sederhananya seperti itu.” Jawabku. 

“Apa kau tahu bahwa ilmu pedadogi adalah sebuah jembatan?” kau lagi-lagi melemparkan pertanyaan kepadaku, sembari mengapit gelas dengan kedua tanganmu yang mengepulkan asap samar dari hangat tehmu. 

“Maksudmu ia digunakan sebagai landasan dalam menyampaikan pembelajaran yang kita bawa agar bisa tersampaikan dan terpahamkan kepada siswa secara baik dan maksimal. Iya, aku paham itu.” Jawabku lagi. 

“Iya, kurang lebih ilmu pedagogi adalah seperti yang kau bilang. Sebelum kita lanjut berbicara tentang jawaban atas kegelisahanmu akan pertanyaanmu sebelumnya, apa kau ingat pembicaraan kita tempo hari, tentang dunia Pendidikan adalah dunia yang kompleks, yang tidak bisa hanya dipandang dari satu sisi saja, yang tidak bisa kita jalani hanya pada satu jalan saja? Ku harap kau masih mengingatnya. Maka dari itu, diskusi kita saat ini hanya akan berfokus pada pedagogi dan proses pembelajaran. Tidak menimbang hal-hal lain diluar dua hal ini.” Sepertinya kau sudah mulai menghangatkan kepalamu, menjadikan kalimat-kalimatmu jadi lebih panjang dari sebelumnya. 
“iya, aku paham itu.” Jawabku singkat. 

“Pedagogi adalah jembatan, yang membuat materi yang ingin kita sampaikan kepada peserta didik dapat tersalurkan dengan baik. Baik itu hal-hal terkait ilmu sosial ataupun ilmu alam, pengetahuan itu tidak akan sepenuhnya diterima dengan maksimal oleh peserta didik jika kita tidak mengantarkannya dengan baik dan benar. Yang aku maksud dengan baik dan benar adalah proses penyampaian yang bisa memancing motivasi dan ketertarikan mereka terhadap apa yang kita ingin berikan kepada mereka. Sederhananya, jika mereka tertarik dengan apa yang kita sampaikan, maka kita tidak perlu jauh-jauh mengantarnya, karena mereka akan datang menjemput pengetahuan itu sendiri. Jadi, pedagogi adalah jembatan dan materi pelajaran adalah paket yang harus sampai kepada siswa.” Jelasmu panjang lebar. Belum sempat aku mencerna apa yang barusan kau katakan, kau kembali menyulam kata dan melempar kalimat-kalimatmu kepadaku, yang membuatku lagi-lagi tak sempat menikmati teh yang mulai mendingin ditanganku. 

“Tapi apa kau tahu kawan, ada satu hal yang selalu luput dalam mendukung dua hal ini untuk menciptakan proses belajar yang maksimal. Dan hal ini yang menurutku berkaitan dengan analogimu sebelumnya, tentang kita yang sebagai pengajar, sebagai guru bagi peserta didik, yang salah memilih senjata dalam perang melawan kebodohan. Kita kadang kala melupakan ‘media’ yang menjadi unsur penting yang kita perlukan dalam membangun suasana belajar yang efektif dan efisien.” 

“Kalau kau sedang berbicara tentang media pembelajaran, aku sudah tahu Basineng, bahwa media pembelajaran menjadi salah satu unsur penting dalam menciptakan proses pembelajaran yang menarik bagi siswa, aku paham itu, dan aku sudah menggunakannya. Namun, penggunaan media tidak sepenuhnya bisa mendukung proses pembelajaran, bahkan kadang ia menjadi pengalih baru bagi peserta didik.” Potongku, 

“Ya aku tahu itu kawan, kau sudah mengetahui teori pembelajaran dengan sangat baik, kau sudah memahami teori belajar kognitif, behavioristik, ataupun konstruktivistik dengan mendalam. Pun dengan media pembelajaran, terkait definisi, jenis dan penggunaannya, akupun paham kau sudah tahu itu. Tapi, apa kau sadar, bahwa selama ini kau selalu merasa bahwa menciptakan media pembelajaran yang terbarukan merupakan langkah yang baik dalam melengkapi proses belajar mengajarmu. Kau fokus pada media pembelajaran yang kau ciptakan dan memaksa siswamu untuk menggunakan media tersebut. Apa kau tahu bahwa dasar dari penggunaan media adalah untuk ‘memudahkan’ terlepas dari apakah kau menciptakan media itu sendiri atau hanya memanfaatkan dari apa yang sudah ada sebelumnya. Kau tidak perlu susah-susah untuk meciptakan aplikasi atau media super canggih dan kekinian jika kau merasa bahwa siswamu akan susah untuk mengadaptasi dan menggunakannya, karena lagi-lagi kau harus paham bahwa media pembelajaran adalah unsur yang digunakan untuk ‘memancing ketertarikan’ mereka yang bisa memudahkan kita sebagai guru untuk menyampaikan materi yang ingin kita sampaikan.” Kalimat-kalimat panjang lainnya kau lontarkan tanpa memberi jeda kepada dingin untuk memotong penjelasannmu. Angin gunung berhembus, menembus dan dengan nakal menyapa kulitku yang sudah kuselimuti dengan kantong tidur yang kita sewa tempo hari sebelum memulai pendakian. 

“Kau lupa kawan, bahwa kita bisa memanfaatkan sesuatu yang dekat dengan siswa dan menjadikan itu sebagai media pembelajaran kita.” Lanjutmu. 

“Aku paham media dan teknologi, aku punya websiteku sendiri.” Aku kembali memotong kalimat-kalimat panjangmu. 

“Aku tidak berbicara apakah kau tahu media dan teknologi atau tidak. Aku berbicara tentang apakah kau bisa menggunakan sesuatu yang ‘dekat’ dan ‘familiar’ bagi siswa untuk kau jadikan media pembelajaranmu. Kau membuat websitemu sebagai sumber informasi online untuk materi-materimu, itu bagus. Tapi apa kau sadar kecendrungan siswa? Mari kita sebut, smartphone, social media, meme dan komik di Instagram, youtube. Mereka lebih condong ke semua itu dibanding sesuatu yang kita buat sendiri dan menyuruh mereka untuk akrab dengan itu. Kau lupa bahwa siswa kita memiliki dunianya sendiri, dibanding memaksa mereka keluar dari dunia mereka, kenapa tidak kita masuk dan menjadikan dunia mereka sebagai wadah untuk menyampaikan materi yang ingin kita ajarkan.” 

“Salah satu kelemahan kita adalah bukan karena kita tidak tahu bahwa media pembelajaran itu ada, tetapi kita tidak paham untuk menggunakan media dan teknologi yang dekat dan familiar dengan peserta didik kita kawan. Gunakan apa yang mereka sukai, dan kau tidak perlu menghabiskan waktumu untuk membuat mediamu sendiri. Karena sebagai pengajar dan pendidik kita harus fleksibel dalam menggunakan media pembelajaran.” Kau diam sesaat, kemudian kembali meraih gelas yang masih setengah berisi, mencicipinya sedikit, lalu berdiri dan berjalan menuju api unggun yang sudah mulai mengecil. 

“Tehku mulai dingin” katamu, kalimat yang menutup pembicaraan kita pagi itu. Dan aku kembali diam dan mencerna apa yang barusan kita bicarakan. Kita, pendidik yang salah memilih senjata.

Foto oleh Ainun Najib
Share:

Sunday, December 31, 2017

Manusia Terpelajar dan Terdidik

Kita sering bertukar kata di hari-hari yang lalu Basineng. Di teras rumah yang terbuat dari kayu cempaka, dimana disetiap deritnya melepas aroma khas yang membuat pembicaraan kita menjadi sebuah kegiatan yang mampu membunuh waktu. 

Kau pernah menyentil tentang bagaimana kau membagi manusia kedalam kelompok terpelajar, terdidik. Saat itu, aku berpikir semuanya sama saja, tak ada yang bisa kita jadikan pembeda untuk menyekat dua kata tersebut. 

“Apakah kita berpikir tentang nilai atau makna dalam proses belajar, adalah sekat yang bisa kita jadikan landasan” Katamu singkat. Kau melihat sedikit sirat kebingungan diwajahku, mungkin terlihat dari kerutan didahiku ketika kau mulai mengucap kalimatmu. 

“Maksudku, ketika kita berbicara tentang Pendidikan, variable yang terikat sangatlah banyak, Pendidikan bukah hanya tentang hasil, Pendidikan adalah proses sepanjang hayat, bukan dan tidak hanya berakhir diujung usia wajib belajar ataupun ketika kita sudah berhasil menggenggam ijazah” lanjutmu. 

“Ketika kecil, aku selalu berpikir bahwa dengan mendapatkan nilai yang bagus dan menjadi juara kelas, aku bisa berguna bagi orang-orang disekitarku. Namun kemudian aku sadar bahwa, berbaur dengan komunitas yang lebih besar menuntutku untuk bisa memiliki lebih dari sekedar predikat juara kelas atau nilai tinggi disetiap mata pelajaran. 

Bahkan, banyak dari mereka yang berprestasi sama sekali tidak menjadi apa-apa didunia yang semakin menggila ini. Tapi, aku tidak sepenuhnya menghujat mereka yang fokus kepada nilai dan predikat, itu adalah salah satu variabel yang kita perlukan. 

Dan sekali lagi, ketika kita berbicara tentang Pendidikan, kita butuh lebih dari satu variable.” Kau bercerita panjang lebar Basineng. Sore yang sedikit berbeda dari sore-sore sebelumnya, dimana kau hanya akan diam dan menanggapi sedikit pertanyaanku. 

Angin bertiup menembus sela-sela dinding rumah, membuat dinding tersebut seakan bersiul mengeluarkan suara nyaring bak suling raksasa dimana ada dua anak 15 tahun yang sedang duduk dan bersandar dikursi yang tersulam dari rotan. Bertukar kata sembari menikmati langit yang semakin menjingga diujung langit. 

“Lalu, kata terdidik dan terpelajar?” sambungku, ketika kau sudah kembali terdiam. Kau menoleh dan menjawab. 

“Sudah banyak negara didunia modern yang mengetahui bahwa di dunia Pendidikan, khususnya sekolah telah banyak menghasilkan orag-orang yang secara teoritis sangat paham dengan kalimat-kalimat yang tertulis didalam buku, menyelesaikan soal-soal integral, mampu menyebutkan semua Bahasa latin hewan dan tumbuhan, tetapi gagap ketika menghadapai permasalahan yang tidak pernah mereka temukan di dalam buku. 

Mereka lalu mengubah cara mereka mengatur sistem sekolah untuk menjamin bahwa apa yang mereka hasilkan dari system yang kita sebut sekolah dapat menghasilkan orang-orang yang secara teoritis dan praktis dapat diandalkan. 

Tapi disini, kita masih terperangkap system lama, system kuno yang hanya bisa menghasilkan orang-orang pintar tidak bermoral, aku berkata seperti ini bukan untuk mengeneralisasi, aku hanya mengatakan bahwa masih banyak dari kita yang masih melihat Pendidikan dari sudut pandang lubang jarum” Sekali lagi kau terdiam beberapa lama. 

“Lalu, kata terdidik dan terpelajar?” tanyaku lagi, aku tidak tahu kenapa ada jeda yang begitu lama bagimu untuk menjelaskan dua kata tersbut. 

“Kita perlu berubah, nilai dan makna adalah dua hal yang menurutku harus kita jadikan pondasi. Terpelajar ketika kita hanya sekedar tahu dan paham tentang sesuatu, terdidik ketika kita bisa memaknai apa yang kita tahu dan pahami, apa, kenapa, bagaimana. Setidaknya itu yang kemarin-kemarin aku percayai” jawabmu, yang bukannya membuatku paham dengan maksudmu, tetapi malah membuatku semakin bingung. 

“Apa maksudmu dengan -Setidaknya itu yang kemarin-kemarin kau percaya-?” tanyaku. Kau lagi-lagi diam dan memberi jeda antara pertanyaanku dan penjelasanmu. 

“Selama ini menjadi orang yang lebih dari sekedar terpelajar adalah keinginanku, aku ingin menjadi sosok terdidik yang bukan hanya paham tentang sesuatu, tapi juga bisa memahami untuk apa, kenapa, dan bagaimana sesuatu tersebut dapat menjadi sesuatu yang berguna. Tapi aku salah, masih ada satu variable yang ternyata luput.” Sinar oranye langit menyambut kalimatmu. Kau diam. Aku diam. Hanya suara celah dinding rumah yang tertiup angina yang terdengar. 

“Aku lupa bahwa, sekedar tahu, paham, memaknai akan sesuatu belumlah cukup, ketika variable terampil tidak kita ikutkan dalam mata rantai Pendidikan dan proses pembelajaran. Terampil dam artian, setelah tahu, pahan dan memaknai akan sesuatu, aku bisa menciptakan hal-hal lain yang memiliki nilai guna yang lebih dari sesuatu tersebut.” Katamu, 

Jingga langit sudah mulai menghitam. Kata-katamu masih terlalu berat untuk kucerna waktu itu. Aku pulang setelah menyelesaikan teh manis yang kau sajikan sebelum kita mulai berbicara. Aku pamit. 

10 tahun setelahnya, aku kembali mengingat percakapan kita, aku kembali ingat akan kalimat-kalimat yang kau ucapkan disore itu. Ditapak langkahku yang sekarang, aku paham Basineng. Tentang proses belajar yang kau maksudkan. Yang kemudian membuatku kembali bingung adalah, bagaimana aku bisa memahamkan system yang sudah mandarah daging dikepala mereka-mereka yang menjalankan system tersebut.

Kuharap kau bisa kembali bertemu denganmu dan berbicara lagi tentang topik yang sama, dan dengan solusi yang berbeda.

Foto oleh Ainun Najib 
Share:

Tuesday, December 5, 2017

Baru tersadar!

Basineng, ada penyesalan yang sayup-sayup muncul dikepalaku. Bukan tentang rasa ataupun asa masa lalu yang tak pernah lagi bisa diulang. Ini tentang isi kepala yang sama-sama kita duduk didalamnya, sama-sama melihat betapa terbatasnya lembar-lembar yang bisa kita buka untuk bisa membuat suasana diskusi kita lebih hidup, lebih hidup dari sekedar basa-basi tentang nama, alamat, umur dan pekerjaan. 

Kita sepertinya baru saja menyadari, bahwa hidup bukan sekedar ketakutan dan kepatuhan, bukan sekedar mengiyakan kepada mereka yang duduk di bangku strata yang lebih tinggi dari kita. Kita sepertinya baru saja menyadari bahwa bertindak berani dan diluar kebiasaan bukanlah sebuah kesalahan, apalagi dosa yang menjadikan kita seakan-akan kerdil dibanding yang lain. Patuh itu baik, menjadi sealiran dengan arus kebiasaan masyarakat bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi, jika itu menjadikan kita seperti domba yang dengan mudahnya digiring, maka kita tak ayal adalah boneka yang tidak memiliki pemikiran sendiri. 

Aku tahu kau sedikit malas untuk berbicara tentang hal-hal seperti ini Basineng. Tapi kita sepertinya perlu melangkah, bukan melawan arah ataupun berlainan arah, tapi melangkah sesuai dengan arah yang kita mau, sesuai dengan arah yang betul-betul menjadi tujuan yang kita inginkan. Bukan yang diinginkan oleh mereka yang memegang benang-benang sirkus dalam sistem tempat kita sekarang berdiri dan berbicara tentang topik kosong yang berisi basa basi tentang nama, alamat, umur dan pekerjaan. Kita perlu melangkah sedikit lebih berani. 

Tapi sepertinya didalam sepuluh langkah pertama, kita tersadar, penyesalan lamat-lamat semakin terlihat jelas, menunjukkan bahwa buku dan lembaran-lembaran yang kita bawa tidak mampu membuat kita mengapung diantara lautan yang berisi banyak kebingungan. Sepertinya kita harus berhenti sejenak, jika perlu, berbalik arah. Bukan karena kita kemudian tak berdaya berdiri dan memijak pada kaki sendiri, tapi kita lupa bahwa melawan muslihat, kita juga perlu belajar banyak muslihat. 

Basineng, kita punya tujuan baru. Kau sedikit tidak setuju, tapi kemudian sama sekali tak bersuara, karena kaupun tahu setidaknya mundur selangkah akan lebih baik untuk bisa maju beratus atau beribu langkah di kemudian hari. Kita harus belajar, lagi dan lagi.

Foto oleh Ainun Najib

Share:

Thursday, August 17, 2017

Variabel lain jarak dan waktu

Basineng, lamat-lamat ruangan dihadapanku semakin meluas, tadinya hangat, tadinya menenangkan. Namun waktu membuat jarak semakin menyayat. Aku ingat ketika kita belajar fisika, satu detik adalah ketika jam atom mencapai 9.192.631.770 hitungan. Dan seharusnya satu detik tidak selama ini, seharusnya. 

Tapi apakah waktu punya hitungannya sendiri ketika jarak menjadi variabel yang memisahkan antara kau dan segala bincang hangat kita disetiap sore lembayung? Aku tidak pernah paham Basineng, kapan waktu akan menjadi menyenangkan dengan segala ritme yang berdetak dan berganti tiap detiknya, dan kapan ia akan menjadi sangat menyesakkan dengan segala dentum derik alur waktu yang berganti.

Aku tidak pernah paham Basineng. Apa mungkin aku terlalu banyak mengikuti bacaan tentang paham interpretivisme, dimana kebermaknaan adalah jawaban dari setiap pertanyaan yang kita ajukan? Mungkin itu alasan kenapa terkadang penganut paham positivisme akan sulit memahami apa yang kita bicarakan disela-sela senyum tawa yang kita tukar satu sama lain, dalam selip bibir gelas teh, ditengah-tengah semilir angin sore. 

Basineng, dulu aku sering berbasah-basahan ditengah deras guyur hujan, aku tak pernah mengeluh dingin. Tapi, entah karena waktu atau jarak, sekarang aku takut angin selatan, angin dingin yang membawa rinduku menjauh berlawanan arah. Dulu aku ingat sering ditengah-tengah riuh hutan kala malam, tak pernah sepi berani mengusikku, namun sekarang, kudapati diriku terduduk dikeramaian tanpa tahu apa yang sedang kutakutkan. 

Samar-samar ada kesan hangat yang begitu familiar, kesan hangat yang selau kucari dibalik kata-kata yang terangkai dalam alun-alun mimpi yang semakin jarang terlihat. Musim dingin Adelaide tersenyum sinis dikejauhan Basineng. 

Aku juga ingat, ketika kita berdiskusi tentang jarak dan waktu, yang kita temukan adalah kecepatan, setidaknya itu yang dijelaskan dalam buku pelajaran fisika yang kita buka sesekali di jam istirahat.

Tapi, disini aku menemukan hal lain yang bisa dijelaskan oleh jarak dan waktu. Variabel yang mungkin takkan bisa dipahami oleh beberapa orang, atau mungkin banyak orang. Variable yang membuat raga yang sehat bisa seketika lemah dan terpedaya, variabel yang menjadikan hangat desir angin menjadi sangat membekukan, variabel yang bahkan bisa membuatmu lupa perbedaan antara mean, modus, dan median, hal termudah yang bisa kau bedakan dimatakuliah statistika semester pertama. 

Kau mungkin akan tertawa jika kujelaskan tentang variabel itu Basineng, karena aku tahu kau sangat fanatik dengan paham positivisme, paham yang sangat lekat dengan pengalaman empirik, dan variabel yang sedang kuceritakan padamu sekarang adalah hal yang tidak bisa kau amati dengan indra. Aku sedang membicarakan rindu Basineng.

Foto oleh Ainun Najib

Share:

Saturday, March 18, 2017

Kekaguman yang Kurahasiakan



Basieng, bagaimana kabar musim penghujan disana? Pagi ini aku membayangkan petrichor di ujung tanah-tanah basah yang setelah beberapa minggu kutinggalkan masih memberikan kesan yang kuat di indraku. 

Dan tentang kabarmu aku harap kau sedang dalam kondisi terbaikmu sekarang, karena sangat sulit untuk sekedar mendapatkan balasan cerita darimu, entah karena mungkin kau tidak menerima semua cerita yang kutujukan padamu, atau kau sedang diam-diam tidak ingin bercerita tentang sesuatu apapun kepadaku. 

Aku sangat ingat bahwa dulu menulis tentang kekagumanku terhadap seorang gadis adalah hal yang mengasyikkan, membuat candu, memacu serotonin dalam otakku mengalir dengan lancarnya. Namun entah kenapa, semakin lama aku berada pada realita bahwa apa yang kukagumi kini telah berada dalam pelukanku, aku semakin enggan untuk menulis tentangnya. 

Ini bukan tentang rasa bosan atau tentang rasa penasaran yang kian memudar ketika kau telah paham dan mahfum tentang segala seluk beluk kekagumanmu terhadap sesuatu Basineng. Hanya saja, sekarang aku sadar bahwa aku menjadi semakin kikir untuk berbagi bahwa betapa bahagianya aku memiliki apa yang dulunya hanya bisa kukagumi. 

Aku semakin ingin menikmati segala sesuatunya pada batas diriku, dia dan tempat kami berada untuk saling berbagi cerita ataupun tawa. Aku tak ingin membaginya. 

Dia sosok sempurna dibalik semua kekurangannya, sosok yang kuat dibalik banyak kelemahannya, sosok yang tenang dibalik panjang kalimat-kalimatnya. Aku bahkan tak pernah membayangkan akan mendapatkan keberuntungan yang begitu besar, yang jika ingin ditukar dengan delapan kehidupan lainnya, tak akan pernah mau untuk kutukar. 

Dia kekaguman yang biasa-biasa saja, namun mampu menjadikan hal yang biasa yang dia miliki menjadi luar biasa dimataku. Hal yang biasa-biasa itu menjadi kelebihan paling besar yang ia miliki, menurutku. 

Dan tahukah kau Basineng, belum tuntas aku menyelesaikan kekagumanku padanya, kini ia memberikan lagi satu kekaguman baru kepadaku. Kekaguman yang mampu membuat perjalananku untuk kembali ketanah perantauan menjadi sangat berat, menjadi berkali-kali beratnya. 

Tanah rantau yang pada waktu dulu adalah tempat yang paling ingin kujejaki, sekarang menjadi tempat yang paling berat untuk kudatangi karena menghadirkan jarak antara dekapku dan kekaguman baruku itu. Aku akhirnya paham bagaimana caranya rasa mampu membuat seseorang yang sangat kuat menjadi begitu lemah bersimpuh.

Kekaguman itu membuatku makin hidup, sekaligus mati karena berada disisi yang lain dari ruang yang sering kami habiskan bersama, walaupun kebersamaan itu hanya merujuk pada kondisi ia sedang tertidur dan aku duduk sembari tersenyum memandanginya. Kala itu, aku melihat malaikat pada kekagumanku yang baru, malaikat yang selalu berdiskusi panjang denganku saat malam dengan tangisnya, malaikat yang selalu bermain denganku dengan gerak mungilnya. 

Basineng, rasa-rasanya akan panjang cerita yang kubagi denganmu, tapi aku paham kau masih punya banyak hal yang ingin kau selesaikan. Biarlah ceritaku kututup sampai disini, cerita datar tanpa klimaks yang hanya berisi ungkapan kekaguman pada sosok-sosok yang mungkin tidak kau kenal. 

Karena sekalipun kau tidak pernah bertemu dengan mereka, aku pernah mengundangmu untuk hadir kerumahku, tapi kau tidak pernah datang, kamu selalu sibuk sepertinya. Dan semoga kau juga segera mendapatkan kekaguman yang mampu membuatmu paham bahwa rasa selalu punya sejuta cara untuk membuatmu tak berdaya.
Share:

Monday, March 13, 2017

Mereka Masih Tawuran, Basineng


Basineng, ini kali pertama aku bercerita dua kali dalam sehari kepadamu, semoga kau tidak keberatan mendengarkan. Aku tadi mendapat kabar dari universitas tempatku dulu menempuh pendidikan dijenjang strata satu. Sebuah kabar yang sebenarnya tidak asing lagi, bahkan selama berkuliah disana aku beberapa kali melihat langsung, tawuran. Tapi entah kenapa kabar kali ini membuatku ingin bercerita kepadamu. Aku hanya sedikit kasihan Basineng, di lingkungan universitas yang seyogyanya tempat orang-orang maha terpelajar berada, berulang kali terjadi tawuran karena hal-hal yang terkadang menurutku sangat abu-abu. 

Aku sedikitpun tidak pernah paham, terkadang ketika mendengarkan cerita-cerita dari pelaku yang turun langsung, kebanyakan mereka ikut tawuran hanya karena ikut-ikutan, beberapa bahkan tidak tahu menahu sama sekali alasan dibalik kenapa mereka harus ikut. Ada yang dengan bangga bercerita sembari tertawa puas, seakan-akan tawuran adalah tradisi sakral yang harus dilestarikan, ada pula yang dengan gaya bicara retorik menjelaskan panjang lebar tentang kesolidan dan kesetiakawanan adalah alasan mereka ikut tawuran, kesetiakawanan tidak sebrutal itu menurutku. 

Aku bahkan pernah berpikir Basineng, kalau memang mereka mau, kenapa tidak mengadakan kompetisi gulat, tinju, atau kompetisi lain yang bisa menyalurkan hasrat mereka untuk tawuran dengan lebih gentle, lebih masuk akal dibandingkan prosesi saling lempar batu dan saling mencaci dari jarak jauh, yang ketika kubu yang satu maju, yang lain mundur, kemudian maju dan mundur lagi, bukankah lucu Basineng, merasa jagoan tapi tidak pernah berani untuk berhadapan satu lawan satu secara langsung. 

Aku tak tahu Basineng, sampai kapan aksi jago-jagoan ini akan terus berlanjut, tapi disaat kondisi-kondisi seperti ini terus berlanjut, para pelakunya mungkin belum sadar bahwa dunia semakin cepat berputar meninggalkan mereka. Ketika teman-teman mereka yang lain tengah berjuang untuk mempersiapkan bekal di dunia pasca kuliah, mereka masih ongkang-ongkang kaki menikmati masa mereka dikampus, yang terkadang beberapa dari mereka harus puas dengan status D.O. Andai mereka sadar bahwa tenaga dan pikiran mereka sangat dibutuhkan untuk membantu segala kemelut dan ketertinggalan yang terjadi di kota ataupun bangsa ini, bahwa kita harus berbenah banyak untuk mengejar ketertinggalan kita dari bangsa lain. 

Basineng, walaupun begitu, aku tak bisa sepenuhnya mengutuk, karena aku percaya bahwa banyak diantara mereka yang sebenarnya punya banyak potensi, hanya saja, mungkin belum bisa mereka gali. Mari kita berdoa, semoga mereka-mereka bisa secepatnya menyadarai bahwa dunia mereka di kampus sekarang ini adalah dunia sempit yang seharusnya menjadi tempat mereka mengumpulkan bekal. Dunia diluar sana, jauh lebih ganas, yang jika dihadapi tanpa bekal yang mumpuni hanya akan menjadikan mereka sebagai tawanan peradaban, mengikut pada yang kaya, menjilat pada yang berkuasa. Mari mendoakan mereka Basineng.

*** 


Gambar : Google.com
Share:

Bagi yang takut dianggap lebay dalam merasa dan merindu


Basineng, tempo hari aku dan beberapa teman sempat berdiskusi panjang tentang rindu. Sebuah topik melankolik yang sedang dirasakan oleh beberapa teman yang sedang jauh dari orang yang mereka kasihi, salah satu hal besar yang harus dihadapai oleh pelajar perantau seperti kami. 

Di salah satu waktu dalam percakapan itulah kemudian selalu terulang satu kata yang sama tiap kali mereka mulai mengekspresikan rasa rindu yang mereka alami, "lebay". Aku tidak pernah cocok dengan kata ini Basineng, kata urban yang menurutku tidak pernah akurat dalam mendefinisikan apa yang sedang ingin kita jelaskan, terlebih lagi jika menyangkut rasa dan rindu. 

Kata lebay menjadi momok, mendegradasi keinginan sesorang untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan, kata lebay adalah sebuah penyakit dalam tatanan Bahasa, menurutku. 

Basineng, jika lebay adalah sebuah kata yang mewakili sikap berlebihan dalam mengekspresikan rasa, mungkin saja ia cocok dalam beberapa kondisi, namun nyata penggunaannya tidak seperti itu. Bahkan sedikit menunjukkan sisi melankolik sudah dianggap sebagai sikap yang lebay. 

Dalam beberapa kasus, menjadi melankolis adalah asosiasi paling dekat dengan kata lebay dan dianggap sebagai sebuah sikap yang aneh. Bukannya sangat berlebihan Basineng? Pun ketika kata lebay memang merupakan kata yang menjelaskan tentang sebuah sikap lemah lembut nan melankolis dalam berekspresi dan bersikap, maka seharusnya ia tak menjadi sebuah bentuk keanehan, ataupun anomaly yang dianggap tidak standar dalam sebuah tatanan bersikap. 

Sisi melankolik adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri kita sebagai manusia Basineng, kenapa kebanyakan ia menjadi sebuah aib dan menbuat orang-orang menjadi enggan untuk menunjukkan sisi tersebut? 

Bukannya menghilangkan sisi tersebut sama saja dengan memberi cacat pada ruang ekspresi kita?

Apa begitu pentingnya anggapan kebanyakan orang dibanding keutuhan ruang ekspresi kita Basineng? 

Apakah menjadi apa adanya adalah sebuah kesalahan dimasa sekarang ini? 

Jika mengekspresikan rasa dan rindu dalam kalimat mendayu adalah sebuah bentuk lebay, maka biarlah kita dianggap lebay Basineng. Dianggap lebay tak akan semenyakitkan menahan buncah rindu yang tertahan, atau menahan luapan rasa yang bertumpuk, yang paling tidak akan sedikit berkurang jika kita mengeluarkannya dalam bentuk ekspresi ataupun tulisan Basineng. 

Basineng, jangan sampai apa yang orang lain katakana menjadikanmu gagap dalam berekspresi. Menjadi melankolis bukanlah sebuah kejahatan, yang sekali lagi jika dianggap sebagai definisi lain dari kata lebay, maka biarkanlah mereka berkata sesukanya. Mungkin saja mereka belum tahu bagaimana rasa dan rindu menyekap mereka, atau mungkin saja mereka sedang berpura-pura karena belum tahu cara mengekspresikannya dan malu untuk bertanya.
Share:

Thursday, February 16, 2017

Kita Terpecah Bukan Karena Agama



"Berhenti menyalahkan agama dan ras sebagai akar perpecahan, kita hanya bodoh kawan, itu yang menjadi masalah sebenarnya." 

Aku teringat percakapan kita beberapa hari yang lalu, Basineng. Kita duduk ditempat yang sama, sofa cokelat sepanjang dua meter dengan bantalan empuk yang mampu menopang manja pungung siapapun yang bersandar, disisi depan terdapat meja dimana teh, kue kering dan lembaran surat kabar tertata dengan tidak rapi. 

Kau masih mengunyah kue kering campuran dari jahe, gula merah dan kelapa yang disanggrai, dipadu sedimikian rupa hingga menghasilkan tekstur yang padat namun tidak begitu keras untuk dikunyah. Layar lebar 21 inchi menjadi titik fokus kau dan aku melihat apa yang tergambar disana, suasa riuh ricuh demonstrasi, propaganda, serta berita-berita beracun, tercampur menjadi satu. 

"Apa masyarakat sudah semakin lupa cara menerima perbedaan Basineng? Sehingga agama menjadi sebuah momok, perbedaan etnis menjadi sebuah permasalahan yang kemudian berkaitan atau lebih tepatnya dikait-kaitkan dengan lusinan masalah lainnya yang jika dipikir dengan lebih mendalam sama sekali tidak punya keterkaitan apapun. Perbedaan tidak lagi dilihat sebagai sebuah keniscayaan dalam proses hidup berdampingan" aku bertanya tanpa berpaling melihatmu. 

Kau tersenyum, lalu melanjutkan kunyahanmu. Tidak menggubris pertanyaanku. 

"Kenapa kita tidak bisa saling menerima?" lanjutku, bertanya tanpa peduli apa kau memperhatikan atau tidak. "Mereka dengan mudahnya terpengaruh hasutan-hasutan yang berisi kepentingan beberapa orang, hasutan yang menurutku tidak pernah sedikitpun mewakili kebaikan banyak orang, hasutan yang tidak pernah merekatkan, justru malah meregangkan pertalian sosial masyarakat." 

Kau masih sibuk dengan kunyahanmu. 

"Agama dan etnis menjadi tombak perang dalam memenangkan kepentingan segilintir orang, membuat mereka yang tidak paham apa-apa menjadi terlibat dan menggila, membuat mereka yang tadinya berdampingan menjadi orang-orang yang saling mencaci satu sama lain. Padahal aku tak melihat sedikitpun kebaikan dari apa yang mereka lakukan, hanya kebanggaan yang meroket karena sudah merasa membela apa yang mereka yakini." Lanjutku. 

"Kenapa kita harus terpecah karena perbedaan ras dan agama?" Ucapku kemudian, sebelum kau akhirnya menoleh dan menyelesaikan kunyahanmu. 

"Kita terpecah bukan karena agama atupun ras kawan." Katamu, 

"Kita terpecah karena kita bodoh!" lanjutmu. Kau melihat dahiku sedikit berkernyit, menangkap sebuah sinyal bahwa aku sedikit tidak setuju dengan kalimat terakhirmu. 

"Kita bodoh kawan, sehingga mudah terpecah, bukan karena agama ataupun ras. Kita bodoh karena kita sudah merasa telah mengetahui segala sesuatu hanya dengan membaca sepotong-sepotong artikel di media sosial yang entah oleh siapa diviralkan tanpa tahu benar tidaknya berita tersebut. Kita punya kebiasaan asal kunyah berita, tanpa tahu memilih dan memilah berita mana yang punya kadar valid yang betul-betul terpercaya. 

Kita bodoh karena kita sudah merasa mengenali agama orang lain hanya karena opini-opini yang dilemparkan oleh orang yang belum tentu punya kredibilitas untuk menilai agama, yang jangan-jangan mereka juga sama sekali tak paham dengan agama mereka sendiri, jika mereka punya. Kita bodoh karena dengan mudahnya mengeneralkan perilaku satu orang etnis tertentu sebagai perilaku universal etnis tersebut." kau berbicara panjang menanggapi semua pertanyaan yang tadi kulontarkan. 

"Kau memihak siapa?" tanyaku lagi setelah yakin bahwa kau sudah selesai dengan kalimatmu. 

"Kawan, berbicara tentang memihak, aku tak ingin memihak secara brutal, memihak secara buta. Agamaku dihina, aku tidak terima. Sekecil-kecilnya iman yang ada didiriku, aku tak senang jika ada orang yang tidak paham dengan agamaku, dengan seenaknya menghina. Tapi, aku juga tidak bisa dengan serta merta mengatakan bahwa semua orang dengan etnis yang sama dengan orang yang menghina agamaku adalah sama. Bukankah itu juga sama saja dengan mengatakan bahwa terorisme tertuju pada satu agama tertentu saja.

Aku suka melihat banyak saudara-saudaraku yang bersatu, merapatkan barisan untuk membela apa yang mereka yakini. Tapi segala sesuatu dengan kadar berlebih bukannya tidak baik, kawan? Kembali ke pokok pembicaraan awal kita, kita terpecah bukan karena ras dan agama. Kita terpecah karena kita malas untuk menelaah dan betul-betul memahami secara mendalam isu, kasus, fenomena, yang terpampang dihadapan kita setiap harinya. 

Kita tidak bisa serta merta mengaitkan satu hal buruk dengan semua hal-hal yang muncul kemudian, karena bukankah ketika kita melihat sesuatu dengan kacamata yang berdebu maka apapun yang kita lihat akan selalu kotor?" kau melanjutkan lagi kalimatmu dengan sama panjangnya dengan kalimat sebelumnya. 

"Berhenti menyalahkan agama dan ras sebagai akar perpecahan, kita hanya bodoh kawan, itu yang menjadi masalah sebenarnya." kalimat yang kau lontarkan sebagai penutup perbincangan kita hari itu. Kau kembali sibuk dengan kue jahe, menyeruput teh dan menonton berita yang masih memunculkan polemik-polemik yang terjadi di negara kita.
Share: