Showing posts with label Alegori Simbolik. Show all posts
Showing posts with label Alegori Simbolik. Show all posts

Wednesday, February 13, 2013

Ia akan menepi-Rindumu-

"Sebesar apapun usahamu menuang rindu ke tengah samudra, ia akan tetap menepi pada pantai tempatku sekarang berpijak, cepat atau lambat."
Tak perlu membatasi diri, apalagi menutup ruang untukmu menyinggung rindu, aku tahu kau juga merasakannya, merasakan sensasi aneh dalam dirimu, dalam pikiranmu, dalam hati kecilmu. Tak usah memalingkan wajah, karena aku tahu, pada saat yang bersamaan matamu masih mencari bayang-bayangku dalam cermin dihadapanmu. Kau juga sedang dilanda rindu, iyakan ?

Share:

Wednesday, February 6, 2013

Aku Benci Bintang

"Ia itu simbol masa lalu, yang sudah lama hilang. Namun tetap menyimpan cahayanya dilangit, untuk tiap malamnya dilihat tanpa orang banyak tahu kalau sebenarnya ia sudah lama mati, Bintang."

ialah bintang, yang menjadi penyemarak malam
Hujan sudah beberapa hari beristirahat untuk mengguyur bumi, memberikan sedikit waktu bagi langit untuk berpose menampakkan keindahannya. Seperti malam ini, langit memberikan keindahan terbaiknya, biru gelap bercampur awan yang sedikir kelabu karena temaram malam menjadi sangat menenangkan untuk dipandang. Bulan yang masih tampak setengahnya mengambil posisi kedua sebagai primadona dalam panggung malam.  Ada juga titik-titik sinar berkerlap-kerlip yang bertaburan seperti gula yang tertumpah diatas lantai rumahku, ialah bintang, yang melengkapi keindahan panggung malam. 
Share:

Sunday, February 3, 2013

Gadis Anonim

"Ah, kenapa aku harus peduli, itu hanya mimpi. Aku mempercepat lariku, menutup mata dan berusaha menghilangkan bayang-bayang mimpi yang menurutku terlalu absurd, aneh, membingungkan."

Masih dengan langkah-langkah kecilku, menyusuri jalan yang masih sepi oleh kendaraan. Subuh ini tetap sama dengan sebelumnya, tak juga menyimpan kesan sejuk di kepalaku, aku berjalan dan tak menemukan hijau disisi-sisi jalan, rimbunan pohon yang tergantikan oleh bangunan ruko dan gerbang-gerbang perumahan. Aku berhenti, mendudukkan diriku diatas batu besar di pinggir jalan, rupanya jalan-jalan disubuh buta bukan solusi yang bagus untuk menghilangkan gemuruh yang tiba-tiba muncul bersama dengan mimpi aneh semalam yang muncul tanpa pemberitahuan sedikitpun.

"Kenapa aku harus sakit untuk mendapatkan kasih sayang mu ? kenapa dia tidak ?" kata gadis dalam mimpiku.
Share:

Saturday, February 2, 2013

Keindahan yang mana ?

"Ada banyak keindahan yang lalu lalang disekitarku, lebih dari keindahanmu, mungkin. Dan apa kau tahu, ada banyak keindahan yang singgah dan mengusik mataku, membuatku bahkan berpikir betapa keindahan memang sudah memenuhi sekelilingku, dan keindahan-keindahan itu selalu tertangkap mataku"



"Kau masih disini ?"

"Iya, "

Ia berjalan meninggalkanku yang masih duduk diatas selembar koran yang kugunakan sebagai alas duduk. Aku bangun dan mengejar mengikuti langkahnya, dari belakang aku dapat melihatnya, sesosok keindahan yang menangkap semua perhatianku, mengalihkan semua dunia yang sedang kupijak. Sungguh curang pikirku, ia masih saja berjalan tanpa menoleh sedikitpun kepadaku.
Share:

Friday, February 1, 2013

What is this Afrodit ?

"Bagaimana bisa aku mengalihkan pandanganku darimu, ketika semua keindahan sudah tertanam pada dirimu, pada sebuah keindahan yang ternyata sudah mengurungku pada penjara kecil dalam hatiku sendiri, bagaimana bisa ? Apalagi yang perlu kucari jika semua yang kuinginkan ternyata sudah ada padamu, pada dirimu dan lengkungan kecil dipipi kananmu."

Ia masih duduk bersama cangkir kecilnya, bercengkrama dengan rintik hujan dan daun yang terapung. Ia masih tak habis pikir, Afrodit tak jera menjadikannya tahanan, dalam kekuasaannya, dalam dekapannnya, tak pula jera melepaskan panah-panah kecilnya. Ia tak dapat menahannya, panah itu terus melesat menembus dada kirinya, tepat dimana hatinya sedang berdetak cepat. Ingin menyerah, namun tak ada lagi jalan mundur, panah itu sudah terlalu banyak menancap kuat ditiap bagian dalam hatinya, membuatnya tak mampu bernafas dengan tenang.
Share:

Budaya Literasi dalam Segelas Kopi

"Bersabarlah, segala bentuk kebaikan itu dilingkupi oleh kesulitan, sebaliknya segala rupa keburukan itu diliputi oleh kemudahan. Mudah saja kalian bermalas-malasan, tetapi kesukaran hidup pada masa datang karena kalian enggan berusaha, malas berjuanglah yang akan kalian hadapi. Dan, hanya orang-orang kuat yang sanggup bersabar. Bersabarlah." - Menjadi Guru Inspiratif- A. Fuadi, Dkk.

Sebuah kalimat yang mengawali pagi ku di awal  Februari, awal bulan yang masih menyimpan misteri 28 hari selanjutnya, kalimat yang aku dapatkan dari sebuah buku yang ku baca pagi ini. Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang kini menjadi salah satu hal penting dalam daftar kegiatan rutin keseharian yang harus kulakukan. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, segelas teh akan menjadi teman setia dalam petualanganku dalam lembaran-lembaran buku yang kubaca. Untuk pagi ini, segelas kecil kopi manis dengan sapuan krimer dan sedikit gula yang akan menjadi temanku.
Share:

Wednesday, January 30, 2013

Rindu dibalik Etalase

Membuncah juga akhirnya, letupan-letupan yang sering tertutup dalam bejana besi diatas perapian hati. Lama juga ia tersimpan dan berputar ditempat yang sama selama beberapa waktu pergantian detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke bulan. Pantas ia semakin memanas didalam bejana, sering ia bergesekan dengan dinding-dinding hati yang tak sabar untuk mengecap penawar, rindu.

 "Rindu punya cara sendiri untuk berbicara"
Share:

Monday, January 28, 2013

Kenapa Hambar ?


"Waktu tahu cara paling baik untuk mengeja"
Bagaimana caramu menggenggam yang tidak terlihat ? Aku tak tahu bagaimana cara menjawabnya. Kamu ? Ya... kau mungkin tahu cara yang paling baik dan tepat untuk menjawabnya, paling tidak cara yang paling baik untuk tidak menjawab pertanyaan seperti itu. Aku selalu berpikir, kenapa perasaan seperti ini selalu singkat untuk dirasakan, paling tidak dalam bingkai kita, maksudku, dalam cerita kita, iya, kita. 

Ketika ku tanyakan itu beberapa kali padamu, jawabanmu selalu sama. Aku mengiyakan karena itu memang yang seharusnya, tapi...kenapa hambar ? Aku kembali kelembar awal, mungkin ada yang luput untuk kubaca, dari serangkaian cerita yang pernah kita lakoni, dari serangkaian jalan yang telah kita lewati, mungkin. Iya, aku takut ada satu kalimat, satu paragraf atau mungkin satu
Share:

Friday, January 25, 2013

Lolipop dan sepotong coklat

Aku baru saja duduk di sofa kumal ruang tamu, mengatur nafas yang terpompa cepat dari jantung karena tergesa-gesa, tergopoh berlarian menghindari hujan walaupun pada akhirnya basah tak dapat kuhindari. Sejenak kupejamkan mata dan berusaha mengatur irama pompa jantungku yang masih memburu melebihi detik jam yang seharusnya. Hujan semakin memburu, untungnya aku sudah diruangan ini, duduk dan berusaha mengeringkan bulir-bulir hujan yang masih tersisa di rambut dan mukaku.
Share:

Tuesday, January 22, 2013

Gadis Dibalik Tirai Biru

Bangku dibawah pohon jambu yang tak kunjung berbuah, kembali kusandarkan tubuhku, menatap lurus pada jendela ruangan lantai dua di hadapanku. Melakukan hal aneh yang selalu kulakukan saat duduk dibangku merah ini, menunggu seorang gadis untuk menyikap tirai.  Ia takkan pernah sadar bahwa setiap dia membuka tirainya selalu ku tunggu sebuah garis lengkung pada bibirnya, yang membuat wajahnya indah dalam balutan jilbab berwarna cerah.

Hari ini aku kembali duduk dibangku yang sama, menghabiskan menit-menit kosong untuk duduk dan melihat siluet gadis itu berjalan menyusuri ruangan lantai dua itu, sambil sesekali membuang mata untuk membaca buku yang kubawa. Kali ini aku pulang dengan membungkus rindu pada lengkungan bibirnya, ia tak muncul. Mungkin ia masih sibuk, ia selalu begitu. Fokus pada apa yang ia kerjakan, selalu berusaha melakukan yang terbaik, dan kadang itu yang membuatnya tak sadar ada sosok yang merindukannya. Namun tak apa, aku akan selalu duduk dibangku yang sama untuk menunggu dan menyaksikan tirai tersebut tersikap dan memperlihatkan kembali senyum yang masih terbungkus rapi.

Share:

Memijak Garis Batas

Aku sudah di garis ini, menapak mantap tanpa sesal. Semua yang telah membusuk dan basi di batas garis tak lagi ku hiraukan, nasi sudah menjadi bubur, penyesalan tak akan berarti apa-apa tanpa perubahan. Pastiya. Kegagalan, kesalahan, akan selalu ada dan membayangi tiap usaha yang kita jalani. Tapi, selalu ada pilihan, tinggal kita yang menentukan, terjatuh di lubang yang sama atau mengambil jalan lain yang lebih baik. Sesuatu yang telah terlanjur terjadi "nasi sudah menjadi bubur" bukanlah sebuah kalimat akhir yang menjadi penutup dalam perjuangan yang kita lakoni. Setiap ujian punya level, dan setiap kita dapat melaluinya ada saja hal baru yang dapat kita manfaatkan untuk melalui ujian yang selanjutnya.

Share:

Friday, November 16, 2012

Mercusuar

Tanda itu tak pernah muncul, sebuah kerlipan dari laut lepas yang memberiku harapan bahwa kau masih ada disana, dipertemuan kaki langit dan ujung samudra, didalam garis batas keberadaan yang semakin kabur, nyatakah atau semu. Beberapa kali aku mencoba memberimu pesan, lewat kerlipan lampu  mercusuarku, menyorot  kepada sudut laut yang semakin hitam menelan ombak, namun hasilnya tetap sama dengan beribu hari yang telah berlalu, kosong, tanpa balasan. 

Share:

Thursday, November 15, 2012

Aku jatuh cinta

Aku jatuh cinta. Dengan makna yang berbeda dari apa yang sebelumnya kurasakan, ia lebih besar sekarang, jauh lebih besar. Seperti memasuki dimensi yang baru, yang sangat berbeda dari apa yang kupijak sebelumnya. Layaknya metamorfosis yang mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Setelah menemui beberapa kerikil kecil, mengenal beberapa bunga ditaman yang berbeda, aku akhirnya bisa melihat, suka, duka serta luka yang menempel di tiap skenario yang ku lakoni. 

Share:

Thursday, October 4, 2012

A Paradoks

~o~
Sebulan berhibernasi dari proses tulis menulis blog, engsel jemari sudah agak karatan tak karuan menunggu pelumas untuk sedikit membuat proses menulisku tidak terlalu kaku.

~o~
Feel paradoks-istilah karangan sendiri, plesetan dari Time Paradoks-
 
Kontadiksi perjalanan sebuah rasa menuju sebuah perubahan drastis, dari yakin menjadi tidak yakin, dari sayang menjadi tidak sayang. Mungkin dia telah memasuki black hole, atau terperangkap dalam sebuah feel paradoks dan menemukan sebuah simpangan rasa dan sesuatu hal yang memberinya kesimpulan -kau tak menyayanginya-
 

Share:

Monday, September 3, 2012

Purnama 31

Sudah 2 hari semenjak purnama beringsut meninggalkan langit 31 di akhir Agustus. Laki-laki itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian menarik nafas dalam-dalam dan secara teratur mengeluarkan tiap hembusnya dengan sangat berat. Ia merasakannya, masih sangat nyata. Sebuah degungan suara yang mengiris, menempatkan laki-laki itu pada sebuah kondisi dimana ia harus merasakan sesak yang sangat pada gumpalan daging kecil di rusuk kirinya.
Share:

Wednesday, August 8, 2012

Janji untuk Thaha

Langit masih menampakkan biru beku, cicitan burung-burung kecilpun belum bersahutan terdengar. Hanya sisa-sisa hujan semalam yang menyajikan gemericik di atas genteng. Dingin masih membungkus di pukul 3.45 dini hari di kota Bone, salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan. Berbeda dengan pemuda-pemuda lain yang masih tertidur dibalik selimutnya, Fatih sudah sibuk mengepak dan merapikan barang-barangnya untuk di masukkan kedalam ranselnya, subuh ini dia harus pulang ke Makassar.
Share:

Friday, July 20, 2012

Awan

Dihadapan langit siang yang meneduh, matahari sudah merangkak tegak di garis khatulistiwa. Namun panasnya tak jua menjangkau kulit lenganku yang sedikit terbuka tak tertutupi lengan baju. Awan mendung cukup banyak mengitari Soppeng siang ini, menutupi tiap panas yang ingin ditumpahkan matahari.

Terduduk disofa merah yang sedikit reot, tak dapat ku taksir usianya, 5 tahun, mungkin 10 tahun. Susunan Nyiur yang melambai menjadi tontonanku dalam berpuluh menit kududukkan diriku di "lego-lego" rumah panggung berwarna coklat tua ini. Tetap dengan kesibukanku membaca buku, lebih tepatnya pengalihan kesibukanku yang sibuk tidak mengerjakan apa-apa. Sudah lebih dari sejam aku menunggu gadget kecil di tanganku untuk berdering, bukan notifi untuk twitter ataupun facebook. Ya aku menunggu. Sebuah janji kecil yang kalau diingatpun masih merupakan hal kecil, mungkin sepele. Aku tak ingin menyebutnya disini.

Kualihkan pikiranku, menelusuk masuk kedalam ingatan-ingatan kecil tiga minggu lalu. Aku tersenyum. Sendiri.  Sisi baiknya, siang ini mendung sedikit mengobati gerah yang dua jam lalu menghampiriku.

Masih kupandangi gadget yang sedang kugenggam, beberapa detik. Dengan sedikit hias senyum kuletakkan gadget itu dan melanjutkan kesibukanku.

***

Jampuserenge, Soppeng.

Published with Blogger-droid v2.0.6
Share:

Wednesday, July 18, 2012

Tebing sepanjang jalan

Kembali bersua bersama susunan tebing batu di sepanjang jalan. Menyapa keheningan yang  kembali mengintip perjalanan ku. Camba. Liuk dan gelombang jalan yang tak rata, mengguncang tubuhku yang terduduk dalam sadel tak lebih dari 30 cm berbagi dengan ransel yang menempel di pundakku.
Daun-daun kering, aku kembali menegur mu kita berjumpa lagi dalam kekosongan hati. Ada sedikit yang mengganjal, entah apa itu.
Tebing berbaris dan terpancang gagah mengitari bukit hijau yang mengutus dingin setiap detik yang menghembus. Bantu aku memperbaiki irama hatiku yang mulai karam dengan semua kenormalan yang kulalui. Aku ingin apa yang terjalin bukan sekedar dampak dari sebuah pengungkapan sehari. Layaknya Gelombang yang sejalan namun tak sefase, seperti itukah ?
Tunjukkan pada ku bahwa langit masih bersedia menggantung kerlap kerlip bintang di ujung malamnya.
#Camba, perjalanan.

Published with Blogger-droid v2.0.6
Share:

Sunday, July 15, 2012

Minggu

Minggu. Pagi ini aku berjalan di atas rumput. Terasa lembut. sedikit menusuk dan membuat geli. Kau dengar itu  ? aku tahu kau pura-pura tidak mendengarkan ku, kau tahu kenapa ?? karena ranting mu terus melambai kepadaku, pohon Jati di depan rumah. Aku juga bermain bersama sapu lidi, bersamanya menyusuri kerikil kecil yang terhampar disetiap langkah yang terayun. Seharusnya kau tidak lagi menggugurkan daun mu, supaya aku dan lidi-lidi kecil bisa sejenak beristirahat.

Coba sedikit pandangi hamparan padi yang sedang menguning di belakang rumah, teduh dan rapi. Mereka terus merendah, aku iri. Sedikit. Mereka bisa melambai bersama dalam satu petak panggung. Mereka penari yang baik, dan lihai tiap batangnya menyambut tiap aliran air yang membasahi akar mereka. Aku ingin ikut dalam barisan mereka, bersama merasakan sejuknya air yang mangalir di tiap sela-sela jari yang agak kotor karena berendam lumpur.

Jati depan rumah, kau masih menggugurkan daun mu. Sungguh keras kepala. Kau tetap bergurau bersama angin, aku sudah lelah mengumpulkan daun mu. Aku ingin sejenak bersantai. Dengan sepiring biskuit selai nanas dan segelas teh hangat.

Sungguh minggu yang indah bukan, Jati depan rumah.

Published with Blogger-droid v2.0.6
Share:

Friday, June 8, 2012

CCTV di sudut kelas

Mereka celingukan, seolah olah menatap kedepan kelas. Kamuflase. Mereka sesungguhnya hanya berpura-pura memperhatikan, dosen di depannya sibuk berceloteh menjelaskan tentang teori kuantum dengan persamaan yang berbelit, seperti rantai yang melilit otak kiri mereka, dan mereka sibuk memasang topeng dan bersandiwara, memasang mimik serius dengan mata yang di paksa membelalak. Sungguh munafik. Tangan mereka sibuk dengan hal lain, memainkan keyboard laptop, bukan untuk mencatat apa yang barusan dosen mereka jelaskan, tetapi sibuk mengetik bahasa hambar yang mereka tuangkan dalam status fb ataupun twitternya. Inilah proses akademik yang sedang berlangsung di kelas yang ku amati dari balik lensa kecilku yang diameternya hanya berukuran 6 cm, merekam segala aktivitas mereka, aktivitas kaum “yang katanya” intelek.

Mereka berpura-pura, demi nilai dan pujian sesaat. Mereka menyulam senyum palsu demi simpati dan empati kosong. Sebuah proses penyaluran pengetahuan yang dikontaminasi nafsu dalam memburu nilai, sebagai ukuran sukses tidaknya mereka dalam belajar, tetap masih sekedar menilai ranah kognitif, dimana nilai spritual dan emosional hanya menjadi pajangan dalam aturan yang tertata apik, yang kini melebur menjadi sebuah kebohongan belaka, hanya simbol supaya mereka dikatakan terdidik, dengan ijazah yang dihias nilai A-B-A-B. Rantai karbon adalah aib, itu dipikran mereka ketika C-C-C-C lebih banyak memenuhi goresan diatas selembar kertas keramat yang dinamakan ijazah.

Terdidikkah ?? Bullshit

Apa bedanya mereka dengan kaum gelandangan yang mengais sampah demi menyambung hidup, ketika kepura-puraan dan kecurangan yang menjadi landasan dalam meraih sesuatu yang kita katakan sebagai sebuah “kesuksesan”. Aku bosan melihat mereka, dengan tingkah pongah dan tawa lepas mereka, ketika apatis menjadi sebuah sikap yang lumrah dalam melihat dunia pendidikan yang luas.

Pendidik yang terpaksa jadi pendidik, demi tuntutan ekonomi, mengejar titel demi kelangsungan hidup. Tak ada keinginan membangun, yang ada hanya mengejar kesenangan materi layaknya ABG yang dikuasai pikiran Hedon, saling mempertontonkan mainan baru mereka, baju-baju mahal mereka yang baru saja mereka beli, saling memamerkan pacar, HAHAHAHA. SANGAT LUCU.

Pendidik yang terpaksa jadi pendidik, dengan mental kerupuk. Tertawa membanggakan kesalahan mereka, saling menepuk dada mempetontonkan kehebatan mereka dalam mencurangi diri mereka sendiri. IRONIS

CCTV disudut kelas

****

Sumber gambar:
http://1.bp.blogspot.com/-JfTTC9Q6xuM/T6cuIY25LwI/AAAAAAAAAGc/4gnsHxSaQxA/s1600/sofhygiuv.jpg
Share: